Anggota TNI memberikan imbauan pendisiplinan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 kepada penumpang KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (28/5). | Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO

Opini

Memasuki New Normal

New normal sejatinya upaya mempertahankan kebiasaan baik.

 

Oleh ASEP SUMARYANA, Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

New Normal sejatinya merupakan upaya mempertahankan kebiasaan baik yang menjadi protokoler Covid-19.

Untuk itu, kebiasaan bermasker, menghindari kerumunan, jaga jarak, serta sering mencuci tangan memakai sabun menjadi kebiasaan baru dalam kehidupan di masyarakat. Namun, tidak seluruhnya dapat melakukan hal seperti itu.

Bertambahnya korban pandemi Covid-19, berkaitan dengan sulitnya membiasakan hidup bersih dan tertib seperti protokoler tersebut. Ketidakmampuan hidup dengan gaya yang baru juga dipicu oleh sejumlah hal.

Pertama, ketidaksiapan masyarakat mengubah perilaku dengan suasana baru. Kedua, dorongan kebutuhan ekonomi, serta ketidaktahuan yang disebabkan faktor pendidikan yang dimiliki sejumlah anggota masyarakat.

Tidak mengherankan jika dalam menghadapi korona, beragam sikap dan persepsi berkembang yang satu dengan lainnya beragam pemahaman. Kondisi inilah yang mempersulit penanggulangan pandemi yang belum ada vaksinnya ini.

photo
Manajemen Super Market Asia Plaza memasang penyekat transparan di seluruh layanan pembayaran (kasir) sebagai protokol kesehatan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (28/5). Pemerintah Provinsi Jabar mempersiapkan adaptasi normal baru yang mengacu pada sejumlah indikator dan persiapan matang. - (ADENG BUSTOMI/ANTARA FOTO)

Channel

Dalam masyarakat prismatic-nya Riggs (1961), kepanutanan menjadi penting. Kepatuhan menjadi luntur tatkala terjadi perbedaan sikap dan perilaku antara umara dan ulama. Bila umara eksekutif, legislatif, juga yudikatif seperti Montesquieu sebutkan berbeda sikap dan tindakan, wibawa pemerintah bisa anjlok.

Dalam tubuh eksekutif, presiden menjadi panglima tertinggi yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat didelegasikan kepada para pembantunya. Karena itu, menteri sebagai pembantu presiden tidak boleh bersilang pendapat dengan atasannya.

Hal yang juga harus tercipta adalah kekompakan dalam dua pilar lainnya. Legislatif harus mampu mengarahkan para anggotanya tidak pindah ke lain channel dalam masa pandemi. Demikian juga, dengan yudikatif yang konsisten menegakkan aturan agar kewibawaan hukum dapat terjaga.  

Tatkala ketiganya berbeda channel, bisa jadi membuat kebingungan baru di masyarakat. Kebingungan serupa pun terjadi tatkala di kalangan ulama terjadi silang pendapat dalam melakukan peribadatan, termasuk shalat Idul Fitri beberapa waktu lalu.

Menurut Edward III (1980), perbedaan di atas berkaitan dengan komunikasi yang tidak efektif. Dampaknya, implementasi kebijakan untuk mengubah perilaku di tengah masyarakat menjadi lamban atau gagal.

Untuk itu, pemilihan transmiter yang tepat dengan ketepatan aliran pesan dari atasan ke sasaran membuat semua berjalan lurus. Dengan isi pesan dalam kebijakan yang tegas, lugas, dan jelas maka aspek clarity dapat dipenuhi agar mudah dipahami dan diteruskan kepada sasaran.

Hal penting lainnya adalah konsistensi antarpihak, antarwaktu, serta antara ucapan dan perilaku pelaksana kebijakan itu sendiri. Bila ketiga hal di atas tidak dapat dijalankan, perbedaan channel akan terus berkembang.

photo
Petugas kepolisian membagikan masker kepada pengunjung restoran saat persiapan penerapan normal baru di salah satu mal, Tegal, Jawa Tengah, Kamis (28/5). Kegiatan tersebut guna mengetahui kesiapan penerapan normal baru sekaligus mengantisipasi lonjakan penyebaran kasus Covid-19. - (Oky Lukmansyah/ANTARA FOTO)

Dalam hal ini, ketegasan yudikatif untuk menegakkan aturan menjadi penting agar seluruh pihak menyadari dan memahami pentingnya kebersamaan dalam masa genting. Karena itu, seluruh komponen ulama dan umara harus menetapkan sasaran yang disepakati bersama secara cepat ketika bencana ini melanda.

Selanjutnya, seperti Sutor (1991) tuliskan, menghitung kepemilikan modal dalam masing-masing pihak dilihat dari sisi akuntabilitas, transparansi, serta netralitas. Ketersediaan kedua aspek di atas harus disesuaikan dengan integritas publik.

Dengan aspek ini, penyimpangan serta pemanfaatan situasi darurat tidak akan terjadi karena seluruh elemennya memiliki aspek tersebut.

Terjadinya kesimpangsiuran sikap dan perilaku, harus dipastikan bukan karena aspek penting ini. Jika terjadi akibat integritasnya rendah, petinggi negeri dapat menganulir untuk digantikan figur lain yang berintegritas agar channel dapat dibangun secara solid.

Berani tegas

Dengan soliditas seluruh komponen ulama dengan umara di atas maka nilai yang dipertahankan akan berada pada persepsi yang sama. Untuk itu, seluruh elite negeri harus seragam dalam menentukan visi.

Tujuannya, agar apa yang akan dicapai dalam waktu tertentu didukung secara selaras dan serasi oleh seluruh komponennya. Menurut Snyder (1996), keduanya harus diikat oleh courage para pemimpin.

Bila demikian adanya, elite di umara ataupun ulama harus tegas dan jelas dalam memberikan komando kepada bawahannya. Keberanian untuk tegas menjadi modal agar seluruh sikap dan perilaku elemen birokrasi  serta agamawan tidak simpang siur.

Kekompakan seperti ini menjadi modal penting untuk memasuki kehidupan new normal agar tidak dipersepsikan sebagai abnormal oleh warganet. Kemampuan membangun kebiasaan baru menjadi titik awal untuk membangun kehidupan sosial-ekonomi baru.

Melalui kekompakan seluruh elite dan panutannya, perilaku masyarakat dapat dipandu dengan baik untuk menghindari Indonesia suka-suka seperti berkembang di media sosial. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat