Mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya seusai menjalani sidang dakwaan secara virtual dalam kasus dugaan korupsi penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/ | Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Nasional

Mantan Staf Hasto Divonis 20 Bulan Penjara

Mantan komisioner KPU didakwa menerima suap setara Rp 600 juta

JAKARTA -- Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan (20 bulan) penjara kepada kader PDIP Saeful Bahri. Mantan staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tersebut juga dijatuhi denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan.

"Menyatakan, terdakwa Saeful Bahri telah terbukti secara sah yang meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Hakim Ketua Panji Surono di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/5).

Dalam putusannya, Saeful Bahri selaku kader PDIP terbukti menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui mantan anggota Bawaslu yang juga kader PDIP Agustiani Tio Fridelina. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Diketahui, Saeful dituntut 2 tahun 6 bulan penjara denda Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa.

Hal yang memberatkan putusan karena Saeful Bahri dianggap tidak membantu program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, terdakwa sebagai kader partai tidak mencontohkan yang baik. Sedangkan, hal yang meringankan, Saeful dianggap berlaku sopan dalam persidangan, memiliki keluarga, dan belum pernah dihukum.

 Jaksa Penuntut pada KPK juga mendakwa Mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan menerima suap sebesar  57.350 dollar Singapura atau setara Rp 600 juta. Dalam dakwaan disebutkan suap diterima Wahyu melalui Saeful Bahri dan mantan calon anggota legislatif (caleg) PDIP Harun Masiku.

photo
Terdakwa kasus dugaan korupsi penetapan pergantian antar waktu anggota DPR periode 2019-2024 Saeful Bahri (kanan) mengikuti sidang putusan secara virtual di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/5). - (Aprillio Akbar/ANTARA FOTO)

Sidang perdana pembacaan dakwaan terhadap Wahyu digelar pada Kamis (28/5) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembacaan dakwaan Wahyu bersamaan dengan pembacaan dakwaan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. Jaksa KPK Takdir Suhan menyebut, Wahyu Setiawan menerima suap dari Saeful dan Harun melalui mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. 

"Terdakwa I (Wahyu Setiawan) melalui perantaraan terdakwa II (Agustiani) secara bertahap menerima uang senilai 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura atau seluruhnya setara dengan jumlah Rp 600 juta dari Saeful Bahri bersama-sama dengan Harun Masiku," ujar Jaksa Takdir dalam dakwaannya, Kamis (28/5).

Dalam dakwaan, diduga kuat suap diberikan  agar Wahyu menyetujui permohonan pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP periode 2019-2024 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Adapun, perkara ini bermula ketika caleg PDIP Nazarudin Kiemas meninggal dunia pada 26 Maret 2019 sebelum pemilu diselenggarakan. 

DPP PDIP pun menyampaikan kepada KPU perihal meninggalnya Nazaruddin Kiemas dan meminta agar nama Nazarudin Keimas dicoret dari daftar calon tetap. Namun namanya tetap tercantum dalam surat suara.

Sekitar bulan Juli 2019 PDIP menggelar pleno yang memutuskan Harun Masiku ditetapkan sebagai calon pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin Kiemas. Nazarudin memperoleh suara 34.276. 

Atas dasar rapat pleno itu Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memerintahkan kuasa hukum PDIP, Donny Tri Istoqomah berkirim surat ke KPU. Mengetahui hal tersebut, Harun Masiku langsung menemui Saeful Bahri meminta tolong agar Harun bisa menggantikan Riezky Aprilia dengan cara apapun dan Saeful pun menyanggupi permintaan itu.

Usai itu, PDIP mengirim surat kepada KPU berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.57P/HUM/2019 yang pada pokoknya meminta suara sah Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku. Namun KPU tidak mengakomodir permohonan DPP PDIP karena dinilai tidak sesuai dengan perundang-undangan.

photo
Petugas menyaksikan sidang dakwaan kasus dugaan korupsi penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 secara virtual dengan terdakwa mantan komisioner Bawaslu Wahyu Setiawan (kedua kiri) dan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina (ketiga kiri) di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/5). - (Aprillio Akbar/ANTARA FOTO)

Karena tidak diakomodir, Harun pun langsung menemui Ketua KPU Arief Budiman agar mengabulkan permohonan MA terkait PAW tersebut. Namun, Arief memutuskan tidak mengakomodir permohonan itu.

Karena tidak diakomodir, Saeful Bahri menghubungi Wahyu dan meminta agar Harun bisa dibantu menjadi anggota legislatif. Permintaan tersebut disampaikan Agustiani Tio, dan Wahyu pun menyanggupi permintaan itu.

Setelah caleg DPR dilantik pada 1 Oktober 2019, Agustiani Tio menghubungi Saeful dan menanyakan perihal uang operasional terkait PAW DPR. Saeful lantas menawarkan uang Rp 750 juta ke Wahyu melalui Agustiani asal KPU menyetujui permohonan PAW tersebut. "Namun Wahyu meminta besaran lebih, yakni Rp 1 miliar. Uang itu kemudian disanggupi Saeful Bahri," kata jaksa.

Saeful pun menemui Harun Masiku dan membicarakan permintaan Wahyu. Saeful mengatakan Wahyu meminta uang Rp 1,5 miliar dan Harun menyetujui itu dengan syarat Wahyu bisa membuat Harun duduk di kursi DPR.

Setelah adanya kesepakatan, Harun terlebih dahulu memberikan uang kepada Saeful Rp 400 juta untuk diserahkan kepada Wahyu sebagai DP yang dititipkan melalui Kusnadi dan Donny Tri Istiqomah.

Selanjutnya Agustiani melalui Moh Ilham Yulianto menukarkan uang Rp 200 juta ke dalam pecahan mata uang dolar Singapura, yakni 20 ribu dollar Singapura untuk diberikan kepada Wahyu Setiawan sebagai uang panjar terlebih dahulu yang diserahkan di Plaza Senayan.

Disebutkan dalam dakwaan, Saeful juga melakukan pertemuan dengan Wahyu dan Agustina di sebuah restoran di Mal Pejaten Village. Dalam Pertemuan itu, jaksa mengungkapkan Agustiani menyerahkan 19 ribu dollar Singapura kepada Wahyu atas permintaan Saeful. Namun, hanya diambil 15 ribu dollar Singapura oleh Wahyu, sementara 4 ribu dollar Singapura diserahkan Wahyu ke Agustiani.

Tak hanya itu, pada 26 Desember 2019, Harun Masiku kembali menghubungi Saeful dan memberikan uang Rp 850 juta. Dari uang itu, Saeful akan memberi Wahyu Rp 400 juta dalam bentuk dolar Singapura sebesar 38.350 dollar Singapura.

Masih dalam dakwaan juga diungkapkan Agustiani meminta uang ke Saeful untuk keperluan pribadinya sebesar Rp 50 juta yang kemudian diserahkan Saeful secara tunai di Apartemen Mediterania, Jakarta. Kemudian, pada  8 Januari 2020, Wahyu menghubungi Agustiani agar mentransfer sebagian uang yang telah diterima dari Saeful sebesar Rp 50 juta ke rekening Wahyu. 

Namun sebelum mentransfer uang tersebut, Wahyu dan Agustiani Tio diamankan petugas KPK berikut bukti uang sejumlah 38.350 dollar Singapura dari Agustiani. Atas perbuatannya,  Wahyu dan Agustiani Tio melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat