Para perawat di Brasil menggelar aksi solidaritas untuk rekan-rekan seprofesi mereka yang ikut jadi korban pandemi pada Hari Perawat Sedunia beberapa waktu lalu. | AP Photo/Eraldo Peres

Kabar Utama

Nasib Perawat, Kurang THR Sampai Ditembak

Meski disanjung sebagai pahlawan di masa pandemi, sejumlah perawat mengadukan terjadi pemotongan tunjangan.

Oleh RIZKYAN ADIYUDHA, RR LAENY SULISTYAWATI 

Pada masa-masa pagebluk seperti ini, para tenaga medis dijura di mana-mana. Mereka disanjung-sanjung sebagai pahlawan kemanusiaan, berdiri di muka berhadapan dengan bahaya pandemi Covid-19. Namun sebagian perawat belakangan bersaksi, kondang hanya sekadar kondang. Ada persoalan kesejahteraan yang belum pungkas.

Republika berbicara dengan Fadli dan Yuga, dua perawat yang minta disamarkan namanya terkait persoalan ini. Mereka mengklaim, tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR) serta insentif lainnya selama masa pandemi berlangsung. 

Yuga menuturkan, sejak 2016blalu sudah tak pernah lagi mendapatkan insentif hari raya. Pandemi tak mengubah kondisi tersebut. Tenaga kesehatan yang bekerja di salah satu puskesmas di Kabupaten Pati, Jawa Tengah itu menuturkan sempat mengeluhkan masalah yang dialaminya itu bersama kedua rekannya yang lain. 

Jawabannya, THR memang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil dan tenaga Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Insentif serupa memang tidak menghampiri perawat dengan status tenaga harian lepas (THL). "Tapi kalau dimasukkan dalam logika kami kan pekerja yang dipekerjakan oleh pemda jadi nggak mungkin nggak dapat karena aturannya kan tetep harus ada," kata Yuga, Sabtu (23/5).

Disaat yang bersamaan, dia menjelaskan bahwa pemeritah juga tidak memberinya upah berdasarkan jam kerja yang sesuai. Menurutnya, sebagai tenaga medis, dirinya kerap bekerja meskipun diwaktu libur mengingat fasilitas kesehatan miliknya juga menangani pasien Covid-19 dan rawat inap.

Dia menjelaskan, pemerintah hanya menghitung sistem pengupahan berdasarkan kalender atau jadwal kera yang telah ditetapkan. Dia mengatakan, sementara kenyataan dilapangan, para perawat terkadang harus masuk meski berada di jadwal libur. "Jadi kami masuk hari itu tidak dihitung bekerja karena tetap dihitung libur," katanya.

Senada, Fadli juga mengeluhkan hal serupa. Dia mengaku juga tidak mendapatkan THR meski telah disetarakan dengan PNS sejak 2018 lalu. Berstatus sebagai pekerja harian lepas, membuat dirinya beserta ratusan perawat dengan posisi yang sama mengalami nasib serupa.

Tenaga medis yang bekerja di salah satu puskesmas di Kota Tangerang ini mengatakan, dia dan perawat non-PNS lainnya hanya mendapat THR dari tempat mereka bekerja dengan besaran yang berbeda bergantung pada kekuatan finansial masing-masing fasilitas. "Kalau dari puskesmas itu alakadarnya paling sekitar 150 ribu. Nah yang tidak ada itu yang dari pemerintah kota," katanya.

Menurut dia, hal serupa tidak terjadi di DKI dimana perawat di ibu kota tetap mendapatkan THR dari pemerintah provinsi (pemrpov). Padahal, beban kerja perawat THL juga sama dengan perawat lainnya.

photo
Perawat mengantarkan bayi yang memakai pelindung muka atau face shield di RS Ibu dan Anak Asih, Jakarta, Jumat (17/4/). (ilustrasi) - (PUSPA PERWITASARI/ANTARAFOTO)

"Di tengah pandemi ini sudah ada surat keterangan pemotongan gaji di seluruh kedinasan, tapi dokter perawat memang tidak disebutkan hanya saja cuma ada isu bakal kena juga," katanya.

Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif bulanan bagi para tenaga kesehatan selama pandemi. Berdasarkan keputusan ini, dokter spesialis diberi insentif bulanan sebesar Rp 15 juta, dokter umum dan gigi sebesar Rp 10 juta, tenaga keperawatan Rp 7,5 juta, dan tenaga medis lainnya Rp 5 juta.

Baik Fadli maupun Yuga juga tidak terlalu berharap bahwa janji tersebut akan ditepati. "Belum turun juga itu (insentif). Kalau kami malah nggak tahu dapat atau nggak," kata Fadli.

"Yang namanya janji ya kita dengerin saja janjinya. Jangan kan insentif, kami saja untuk honor dan THR saja nggak dipikirkan apalagi itu. Dari pada kena janji palsu si mending kami nggak usah harapkan," timpal Yuga.

Menggejala

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat, memang tak sedikit fasilitas layanan kesehatan sebagai penyedia kerja tidak memberikan THR untuk tenaga kesehatan para perawat. Hampir 60 persen fasilitas kesehatan belum memberikan hak perawat itu.

Sekretaris Badan Bantuan Hukum (BBH) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) H. Maryanto mengungkap instansinya membuka posko pengaduan untuk menampung belum diberikannya THR keagamaan sejak 15 Mei 2020 lalu. Hasilnya, pihaknya mendapatkan sekitar 310 aduan.

"Bahkan ada laporan cukup menyedihkan, ternyata fasilitas kesehatan yang belum membayarkan THR untuk perawatnya hampir 60 persen hingga tadi pagi. Kemudian THR yang tidak dibayar penuh mendekati 30 persen, lain-lain 8,4 persen, dan terlambat membayar 2,3 persen," ujarnya dalam webinar PPNI, di akun youtube PPNI, Sabtu (23/5).

Pihaknya juga mendapatkan laporan ada rumah sakit di salah satu wilayah Tangerang, Banten; kabupaten/kota di Jawa Tengah; hingga wilayah Aceh yang bahkan tidak memberikan THR sejak 2016 dan 2017 lalu. Kemudian bagi RS yang tidak memberikan THR tahun ini, pihaknya mencatat fasilitas kesehatan itu beralasan sedang terjadi pandemi Covid-19. 

Berdasarkan aduan yang dihimpun terdapat 74 persen rumah sakit di DKI Jakarta yang memotong gaji atau THR perawat mereka. Sisanya, sebanyak 38 persen Sulawesi Tenggara, 24 persen Aceh, 22 persen Banten, 12 Persen Daerah Istimewa Yogyakarta, sembilan persen kalimantan Utara, delapan persen Sulawesi Selatan, tujuh persen Sumatra Barat. Sejumlah daerah lain adalah Nusa Tengara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sematra Selatan, Jawa Tengah dan Bali. "Jadi hampir merata persoalan THR ini," katanya.

Kendati demikian, ia menolak mempublikasi nama rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan itu. Sementara itu, ia mengungkap 63 persen perawat yang berstatus karyawan tetap tidak mendapat THR, kemudian perawat kontak mendekati 40 persen. 

Sementara itu, ia menyebutkan jumlah rumah sakit pemerintah yang belum membayar THR mencapai 63 persen dan RS swasta tidak sampai 40 persen. Bahkan jangankan membayar THR, ia menyebut ternyata masih ada 39,7 persen RS yang memotong upah perawat. "Jadi jangankan THR, upah saja dipotong," ujarnya.

Padahal, dia melanjutkan, menurut perspektif Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diperkuat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 06 Tahun 2016, THR wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja termasuk perawat yang telah memiliki sertifikasi untuk menerima THR, entah itu statusnya pegawai negeri sipil, honorer, bahkan sukarelawan sekalipun. 

Karena itu, ia meminta pemberi kerja atau perusahaan jasa layanan kesehatan tersebut tidak lalai memberikan THR. Kalaupun kondisi keuangan RS terkendala akibat pandemi, ia menyebutkan sudah ada surat edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/6/HI/001 yang memberikan kelonggaran yaitu pembayaran tunjangan keagamaan tahunan itu boleh dibayar dengan cara dicil atau dibayar separuh. "Ini belum pernah ada di kondisi sebelumnya, tetapi di surat edaran ini juga menyatakan tidak boleh melanggar aturan lebih tinggi," ujarnya.

Kendati demikian, di surat edaran itu juga meminta setiap penundaan pembayaran THR tentu diiringi dengan dialog antara pemberi kerja dengan penerima kerja. Termasuk berapa cashflow yang masuk dan keluar. Atau apakah benar rumah sakit itu memang tidak punya uang.  "Ini harus dikomunikasikan dengan penerima kerja," katanya.

Artinya, ia menegaskan kondisi kesulitan keuangan akibat pandemi tidak menghilangkan kewajiban membayar THR. Jika lalai, ia menyebut fasilitas kesehatan itu dikenakan denda membayar 5 persen dari total THR keagamaan yang harus dibayarkan. 

Kemudian denda itu akan kembali digunakan untuk pekerja. Selain itu, pemberi kerja tetap harus membayar THR karena pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR. "Laporan ini kami tutup H+7 lebaran karena masih menunggu rekan-rekan yang ada di daerah lain untuk menyuarakan melalui sistem online aduan ini. Kami mengimbau pemberi kerja menghargai melakukan satu langkah nyata karena katanya perawat adalah pahlawan kemanusiaan, tolong direalisasikan (membayar THR) kepada anggota-anggota kami yang ada di Indonesia ini," ujarnya. 

Keamanan

Belum lagi soal upah, para perawat, utamanya di Papua juga belakangan jadi korban konflik. Dua perawat yang tengah mengantarkan obat-obatan ditembak di Intan Jaya, Papua, pada Jumat (22/5). Pihak aparat dan kelompok separatis bersenjata saling tuding soal kejadian yang menggugurkan satu orang tersebut.

photo
Seorang petugas kepolisian memeriksa surat kelengkapan pengendara sepeda motor di Taman Imbi, Jayapura, Papua, Senin (18/5). Petugas gabungan mulai melakukan penyekatan 16 titik di Kota Jayapura, Papua guna membatasi aktivitas masayarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19 - (Gusti Tanati/ANTARA FOTO)

Insiden penyerangan terhadap dua tenaga kesehatan yang tergabung dalam Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Intan Jaya, yakni Almalek Bagau dan Eunico Somou, terjadi pada Jumat (22/5) sekitar pukul 16.30 WIT. keduanya saat itu tengah membawa obat-obatan ke Wandai dengan menggunakan sepeda motor.

Di tengah perjalanan, keduanya ditembak. Menurut kepolisian, korban Alemanek sesaat setelah mengalami penyerangan itu langsung dievakuasi warga ke Kampung Bilai dan dirawat di pastoral. Sedangkan Eunico yang meninggal di tempat langsung diserahkan ke keluarga untuk dimakamkan. 

Soal siapa pelaku penembakan aparat menuding kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang beroperasi di lokasi itu. Meski begitu, dilansir Antara, Kapolres Intan Jaya AKBP Yuli Karre Pongbala menyatakan belum diketahui dari kelompok mana maupun apa motifnya.

Sebaliknya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-OPM menolak tudingan terlibat dalam penembakan. Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom menuturkan, Eunico merupakan warga Kampung Pogapa, Distrik Homeyo, Intan Jaya. Jenazahnya saat ini sudah di rumah duka. Sedangkan Alemanek yang berasal dari Sugapau diantarkan warga untuk dievakuasi ke Nabire.

Versi TPNPB, keduanya sedang naik sepeda motor untuk mengantarkan obat-obatan ke Wandai namun kemudian dicegat di salah satu palang jalan yang didirikan TNI-Polri di Homeyo. "Keduanya korban militer Indonesia," kata Sebby kepada Republika, Sabtu (23/5). Ia mengatakan, pihak TPNPB tengah mengumpulkan laporan dan bukti-bukti dari warga saksi mata penembakan tersebut.

 
Di dunia internasional Palang Merah saja tidak boleh menjadi sasaran peperangan. Makanya kita kutuk keras itu (penembakan).
Harif Fadhillah, Ketua Umum PPNI
 

Penangung Jawab Politik TPNPB-OPM Bomanak Jeffrey sebelumnya menjanjikan, ada sejumlah prosedur yang akan dilakukan pihaknya terkait merebaknya Covid-19 di Papua.  Ia menjanjikan, TPNPB tak akan menyerang fasilitas kesehatan serta menjamin kebebasan pergerakan peralatan dan tenaga medis. “TPNPB-OPM juga akan membantu menegakkan karantina wilayah serta upaya pencegahan lain dari pemerintah daerah Papua,” tulisnya dalam lansiran resmi pada Rabu (8/4).

Menurutnya, Covid-19 saat ini jadi ancaman mengerikan bagi warga Papua karena terbatasnya fasilitas kesehatan di wilayah itu. “Bencana kemanusiaan ini mengkhawatirkan mengingat pengabaian kualitas layanan kesehatan oleh pemerintah Indonesia di Papua selama bertahun-tahun,” kata dia.

Sementara itu, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengutuk keras serangan kepada dua orang tenaga medis. Apalagi saat itu tenaga medis tengah mengantar obat-obatan untuk pasien Covid-19. "Prinsipnya kami mengutuk keras adanya penyerangan itu," kata Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah saat dihubungi, Sabtu (23/5).

Menurut Harif, sudah jadi kesepakatan internasional bahwa tenaga kesehatan tidak boleh menjadi sasaran di dalam konteks peperangan dan kerusuhan. Oleh karena itu, penyerangan yang dialami oleh dua orang yang hendak mengantarkan obat-obatan untuk pasien Covid-19 di Distrik Wandai patut dikecam. "Di dunia internasional Palang Merah saja tidak boleh menjadi sasaran peperangan. Makanya kita kutuk keras itu (penembakan)," ujar Harif.

Selain itu, Harif juga meminta agar aparat keamanan dapat menjamin keselamatan seluruh tenaga kesehatan yang tengah bertugas. "Kami minta aparat keamanan tetap menjamin setiap saat keselamatan dan keamanan para tenaga kesehatan yang bertugas apalagi dalam kondisi Covid-19," kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat