Jamaah berdoa sendirian di Masjid Syyekh Abdul Wadir Jailani di Baghdad, Irak, pada masa pandemi. | REUTERS / Thaier al-Sudani

Opini

Fitri dari Korupsi dan Pandemi

Hari Raya Idul Fitri kali ini, semestinya memberi momentum untuk memfitrikan bangsa ini dari praktik korupsi dan wabah pandemi.

Oleh MAKSUN, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Idul Fitri kali ini menimbulkan banyak renungan dan tanda. Antara lain, Idul Fitri kali ini kita rayakan saat bangsa ini dihadapkan pada persoalan korupsi dan wabah pandemi. Virus korona menjadi musibah terbesar abad ini, tak terkecuali di Indonesia.

Namun, bagi sebagian koruptor atau calon koruptor di Indonesia, Covid-19 tampaknya bak “angin segar”. Ketika kini perhatian orang terpusat ke wabah korona, disadari atau tidak, publik mulai lupa dengan kasus-kasus terkait korupsi di negeri ini.

Menyebut sekadar contoh, kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, kasus dugaan penyuapan Harun Masiku terhadap anggota KPU Wahyu Setiawan.

Di sisi lain, lahirnya Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, membuat para pegiat antikorupsi menjadi waswas.

Meski demikian, kemunculan perppu ini amat wajar dan penting sebagai strategi keuangan negara untuk menangani pandemi Covid-19, tetapi ada satu pasal yang mengkhawatirkan, yaitu Pasal 27 (angka 1, 2, dan 3).

Pasal itu menyebutkan, segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara, semua pejabat keuangan memiliki kekebalan hukum (baik secara pidana maupun perdata), dan semua kebijakan keuangan yang dikeluarkan berdasarkan Perppu No 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan di PTUN.

Wajarlah jika ada beberapa kelompok masyarakat mengajukan uji materi terhadap perppu ini ke MK. Sementara itu, wabah yang ditimbulkan virus korona dalam waktu singkat “mengacaukan’ berbagai sisi kehidupan manusia di wilayah terdampak.

Tidak saja dalam bidang sosial ekonomi yang mengakibatkan pengangguran merajalela akibat PHK dan jumlah warga miskin kian melonjak, dalam bidang kesehatan pun dampaknya mengerikan. Jumlah pasien positif naik dan sulit diprediksi kapan berakhirnya.

Perubahan lain yang sangat mencolok adalah dalam kehidupan beragama di masyarakat. Segera setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan mulai dari physical distancing hingga PSBB, masjid dan mushala kosong.

photo
Jamaah berdoa sendirian di Masjid Syyekh Abdul Wadir Jailani di Baghdad, Irak, pada masa pandemi.. - (REUTERS / Thaier al-Sudani)

Sebab, pertemuan yang mengumpulkan banyak orang, termasuk shalat Jumat, Tarawih, pengajian atau kajian agama untuk sementara waktu ditiadakan. Respons masyarakat terbelah, ada yang mendukung, ada yang  “membandel”. Termasuk, rencana menjalankan shalat Idul Fitri di masjid atau lapangan.

Nah, sebagai bangsa yang religius sepatutnya bertanya dan merenung, ada apa sebenarnya dengan kehidupan beragama kita selama ini? Apa yang salah dengan cara beragama kita selama ini?

Hari Raya Idul Fitri kali ini, semestinya memberi momentum untuk memfitrikan bangsa ini dari praktik korupsi dan wabah pandemi.

Misi agama

Secara substansial, misi utama setiap agama dengan kitab sucinya adalah untuk mempertemukan kehendak dan kasih Tuhan dengan kehendak dan perjalanan manusia. 

Demikian juga, agama Islam dan syariat yang dibawa Nabi SAW, termasuk ibadah puasa yang bersifat sangat pribadi itu, sejatinya untuk menyadarkan umat manusia agar mampu melihat realitas lain yang lebih tinggi dan hakiki, yaitu “realitas Ilahi” yang Mahahadir.

Benar, sains dan teknologi memperpendek jarak suatu negara dengan negara lain, planet satu dengan planet lain, tetapi itu tidak menjamin eratnya persahabatan di antara sesama manusia dan tidak pula berarti perjalanan spiritualnya semakin mendalam.

Artinya, sejauh-jauh pengembaraan manusia dengan sains dan teknologinya, bila tanpa visi keilahian mereka akan tetap terkungkung dan melingkar-lingkar dalam orbit bumi yang selalu dihadapkan pada jalan buntu dalam upayanya meraih pengetahuan.

Pada saat yang sama, karena terlalu mengagungkan sains dan teknologi, mereka menjadi manusia yang teralienasi dari nilai spiritualitas-religius dan positivist.

Pandangan dunia yang dibangun di atas premis positivis-empiris ini, pada gilirannya, membawa implikasi pada penolakan realitas yang berada di luar jangkauan indra dan rasio.

Dalam konteks inilah, visi dan kesadaran spiritualitas yang dibangun melalui ibadah puasa menjadi sangat urgen dan diyakini mampu menembus kabut kegelapan yang menghalangi pandangan nurani, karena inti spiritualitas terletak pada wilayah batin.

Maka itu, sangat relevan jika dimensi spiritualitas itu hadir dalam proses transformasi sosial, yang wilayah operasionalnya terletak pada dataran struktural atau titik beratnya pada dimensi praksis dari perilaku seseorang dalam jaringan institusi masyarakat.

photo
Mamadou, seorang jurnalis Guinea, membaca Al-Quran dari telepon genggamnya pada malam Lailatul Qadar di kamarnya di Paris, Perancis, Ahad (17/5). Sebagian besar ibadah diadakan di dalam ruangan karena masjid ditutup imbas dari pemberlakuan lockdown di Perancis - (EPA-EFE/MOHAMMED BADRA)

Dalam perspektif Islam, kesadaran spiritualitas berimpit erat dengan kesadaran manusia. Artinya, semakin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, semestinya kian tinggi pula kualitas kemanusiaannya dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun.

Ini berarti, nilai kemanusiaan hanya bisa dipahami ketika semua perilaku lahir-batinnya diorientasikan kepada Tuhan dan dalam waktu bersamaan, juga membawa implikasi konkret terhadap upaya meningkatkan nilai kemanusiaan.

Pendeknya, manusia tidak bisa dipahami tanpa keterkaitannya dengan Tuhan dan dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial.

Korupsi dan pandemi

Kiranya benar yang dikatakan Imam al-Ghazali dalam karya “magnum opus”-nya, Ihya’ Ulumuddin, “Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya Ilahi bagaikan orang berjalan di atas lorong setan yang gelap. Dan orang yang sekadar percaya kepada Tuhan, tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat atau nilai-nilai spiritual-religius di dalam dirinya, ia bagaikan iblis yang gentayangan.”

Dari sini bisa dipahami, korupsi yang merajalela di republik ini bersumber dari tumpulnya hati nurani dan hilangnya nilai spiritual-religius elite politik. Mereka memahami politik sebagai cara untuk merampok uang rakyat, bukan melayani rakyat. Dalam konteks ini, mereka mencederai fungsi politik yang hakikatnya mewujudkan kemaslahatan publik.

 Nah, selama Ramadhan, jasmani dan rohani kita digodok untuk beribadah dan bermuamalah secara proaktif agar menjadi manusia bermoral dan bertakwa. Yakni, manusia yang lebih mengenali jati dirinya sebagai manusia lemah. Manusia awam yang gampang dikotori debu duniawi. Ini berarti, setelah ber-Idul Fitri, setiap orang semestinya mengalami reaktualisasi diri sebagai sosok manusia baru yang suci.

Sinyal ketuhanan dan kemanusiaannya pun tak meredup, bahkan kian menguat meski Ramadhan telah lewat. Tak ada lagi korupsi dan selingkuh kekuasaan serta dusta atas janji-janji politik, karena syahwat korupsi dan nafsu liar kekuasaan telah tertundukkan.

Tak ada lagi lontaran kalimat agitatif dan provokatif melalui media sosial yang bisa memantik pro dan kontra tak berujung. Dalam konteks penanganan dampak pandemi Covid-19, bantuan bagi yang terdampak harus terus mengalir seiring selesainya Ramadhan.

Jiwa filantropis manusia suci pasca-Ramadhan harus tetap menyala dan bersifat kontinu, tidak hanya bersifat insidental sewaktu ada wabah. Era pandemi mengharuskan manusia yang tersucikan melakukan perubahan total dalam kehidupan.

photo
Panitia penerimaan dan penyaluran zakat fitrah menerima pembayaran zakat fitrah di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Senin (18/5). - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Tak ada lagi pelanggaran PSBB, penolakan janazah Covid-19, misalnya. Sebaliknya, berperilaku hidup bersih dan sehat sesuai protokol kesehatan dengan selalu bermasker saat beraktivitas di luar rumah atau rutinitas cuci tangan, misalnya, harus menjadi bagian dari new normal/pasca-Ramadhan.

Bila semua dilakukan, saat itulah berlaku makna simbolis Idul Fitri. Yakni, kembalinya manusia kepada fitrah kemanusiaan yang sejati.

Sosok manusia yang secara mental telah terevolusi: dekat dengan Tuhan dan sesamanya, memiliki integritas moral dan kepekaan sosial yang tinggi, tidak teralienasi dari nilai spiritual-religius, dan fitri dari korupsi dan pandemi. Selamat Idul Fitri 1441 H. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat