Seorang petani memikul benih padi yang akan di tanam pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5). | Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA FOTO

Opini

Antisipasi Kekeringan

Selama kurang lebih enam bulan dari April sampai Oktober, hujan sangat sedikit atau tidak turun sama sekali.

Oleh IMAM MUSTOFA, Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional 2019-2024

Kabar bagus. Presiden Jokowi lebih dini mengingatkan menterinya untuk mengantisipasi musim kemarau. Terutama terkait dampak kekeringan terhadap produksi dan stok pangan. Tahun lalu, Presiden mengingatkan itu pada rapat terbatas (ratas) pada 15 Juli, tahun ini pada 5 Mei lalu.

Tantangannya, apakah langkah konkret antisipasi itu segera dimulai? Kekeringan itu adalah problem yang slow onset. Datangya perlahan. Sering kali baru disadari setelah benar-benar masalahnya terasakan berat. Itu sebabnya antisipasi sering terlambat dan gagap.

Fakta bahwa setiap tahun menghadapi masalah kekeringan, Indonesia sebenarnya sangat kaya akan air. Salah satu dari lima negara di dunia yang paling berlimpah. Harusnya tak ada kekeringan, tak ada kekurangan.

Menurut Water Environment Partnership in Asia (WEPA), Indonesia merupakan salah satu negara terkaya. Menyimpan enam persen potensi air dunia. Urutan nomor lima terbesar. Kementerian PUPR menyebut volumenya mencapai 3.900 miliar meter kubik per tahun.

Dari jumlah yang berlimpah itu, baru sekitar 690 miliar meter kubik atau 18 persen yang termanfaatkan.  Sayangnya, air tidak terdistribusi secara merata sepanjang tahun.

Selama kurang lebih enam bulan dari April sampai Oktober, hujan sangat sedikit atau tidak turun sama sekali. Itulah kemarau. Jika sumber-sumber air alami, seperti sungai ataupun tampungan buatan tidak lagi cukup memenuhi kebutuhan air, itulah kekeringan.

photo
Warga menyaksikan embung yang mengalami kekeringan di Desa Lambadeuk, Peukan Banda, Aceh Besar, Aceh, Jumat (17/1).- (ANTARA FOTO)

Tantangannya, bagaimana agar kemarau tidak menjadi bencana kekeringan. Selain problem temporal, ada pula problem spasial. Sebagai gambaran, Pulau Jawa hanya memiliki potensi air 164 miliar meter kubik atau empat persen dari keseluruhan potensi.

Padahal, jumlah penduduknya 141 juta, 65 persen dengan aktivitas sosial ekonomi, baik pertanian maupun industri yang sangat tinggi. Juga pengembangan kawasan dan konsentrasi permukiman baru yang tumbuh sangat cepat.  Tentu butuh air dalam jumlah besar.

Karena itu, Jawa sebenarnya mulai mengalami water stress. Sebaliknya, Papua memiliki potensi air 1.082 miliar meter kubik. Dengan jumlah penduduk sekitar 3 juta jiwa, kebutuhan airnya jauh lebih sedikit.

Namun, air di Papua tidak bisa ditransfer ke Jawa. Inilah problem spasial, perkara ruang. Problem spasial dapat terjadi bukan hanya dalam lingkup makro antarpulau, melainkan juga wilayah yang sangat mikro, dalam satu kecamatan bahkan desa.

Dewasa ini, masalah air tidak lagi soal temporal (waktu) dan spasial (ruang), tetapi juga kuantitas dan kualitas. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan dinamika sosial ekonominya, tekanan kebutuhan air semakin hebat.

Tentu dibutuhkan keandalan tata kelola dan kemampuan penyediaan suplai dalam jumlah yang lebih besar. Sayangnya, justru secara berbarengan tekanan kebutuhan tersebut diperberat dengan semakin sedikitnya air bersih. Masalah mutu. Apalagi di Jawa.

photo
Sejumlah petani beraktivitas menanam padi pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5). - (Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA FOTO)

Mata air tersendat, situ-situ mampat, dan tidak ada lagi sungai yang tidak tercemar. Maka itu, tantangan bencana kekeringan semakin urgen untuk ditaklukkan. Menurut BNPB, pada 2019 kerugian mencapai Rp  3 triliun.

Masalah kekeringan memang berat dan penuh kompleksitas. Tapi, musim kemarau itu juga sama dengan Lebaran. Sama-sama rutin terjadi setiap tahun, waktunya dapat diperkirakan, fenomena permasalahan pun selalu berulang.

Dengan ilmu pengetahuan, kekeringan bisa diramalkan waktu dan intensitasnya. Masalahnya pasti seputar kesulitan mendapatkan air untuk keperluan rumah tangga, gagal panen, serta kebakaran hutan dan lahan.

Langkah gegas yang perlu dilakukan adalah pemetaan wilayah rawan kekeringan, identifikasi potensi dan spesifikasi jenis masalah, skenario penanganan, penganggaran, pengadaan sarana-prasarana, hingga rencana taktis ataupun persiapan teknisnya.

Selanjutnya, perlu ada pembagian peran, fungsi, tugas, dan tanggung jawab yang jelas di antara berbagai instansi pemerintah. Masyarakat pun perlu diberi informasi dan pendidikan agar secara mandiri bersiap dengan kondisi yang mungkin terjadi.

Perlu perbaikan mendasar pada praktik mitigasi yang selama ini sudah rutin dikerjakan.  Kuncinya, koordinasi perencanaan, kematangan persiapan, keterpaduan, dan sinergi aksi yang fokus pada penyelesaian masalah. Keterpaduan itulah yang masih minus dari praktik rutin setiap tahun selama ini.

Apalagi, permasalahan dampak kekeringan mencakup berbagai aspek yang multidimensional. Tidak hanya pada pertanian, tetapi juga pada kesejahteraan rakyat (kesulitan air untuk rumah tangga), kesehatan, lingkungan hidup (kebakaran dan lain-lain).

Peringatan Presiden tempo hari akan lebih tajam jika diikuti instruksi yang lebih mantap. Misalnya, dengan memerintahkan pembentukan satgas khusus penanganan masalah kekeringan atau menunjuk kementerian tertentu untuk mengoordinasikannya.

Lazimnya, salah satu menteri koordinator bisa mengambil inisiatif. Pertanyaannya, kementerian koordinator yang mana? Jika Presiden menunjuk salah satunya, akan ada penerima tugas yang jelas. Pasti tidak gamang tampil mengambil tanggung jawab koordinasi itu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat