Pegawai melayani peserta BPJS Kesehatan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (22/4/). | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Tarif Baru BPJSK Dinilai Pembangkangan

Pemerintah menyatakan akan merelaksasi tunggakan BPJSK

 

JAKARTA-- Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menilai, kenaikan iuran BPJS dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan mengangkangi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan penerbitan Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan. 

“Langkah Presiden Jokowi adalah bentuk pembangkangan hukum,” kata Arif Maulana, dalam keterangan resmi LBH Jakarta, Kamis (14/5). Arif menerangkan, pembatalan Perpres 75/2019 dalam putusan MA 7P/HUM/2020 menegaskan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang melanggar hukum. 

Dalam pertimbangan Hakim Agung, Februari 2020, kenaikan BPJS Kesehatan tak didasari atas pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis, pun membebani rakyat. “Oleh karena itu, tindakan mereplikasi kebijakan serupa atas dasar yang sama menunjukkan bahwa Presiden Jokowi bermain-main dengan putusan MA yang menunjukkan tidak adanya penghormatan Presiden terhadap hukum,” ujar Arif. 

Ia menjelaskan, sikap pembangkangan Presiden Jokowi atas putusan MA tersebut, melanggar Pasal 31 UU MA. Presiden dianggap mengacuhkan asas-asas pembentukan peraturan perundangan dalam UU 12/2011 yang mengharamkan mereplikasi aturan yang telah dinyatakan tidak sah.  “Presiden kembali membebankan kelalaian negara dalam tata kelola BPJS kepada rakyat,” ujar Arif. 

Sebelumnya, Presiden sempat menaikkan iuran BPJS pada Oktober 2019 melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Kendati demikian, perpres itu digugat ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan gugatan itu pada Maret 2020 dan memerintahkan pembatalan kenaikan.

 
Presiden kembali membebankan kelalaian negara dalam tata kelola BPJS kepada rakyat.
Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta 
 

Terkait hal itu, perpres terbaru mengatur bahwa iuran BPJS Kesehatan untuk periode Januari, Februari, dan Maret 2020 sesuai Perpres 75/2019. Perinciannya, kelas I Rp 160 ribu per orang per bulan, kelas II Rp 110 ribu per orang per bulan, dan kelas III Rp 42 ribu per orang per bulan. 

Sedangkan, iuran untuk April, Mei, dan Juni 2020 sesuai eksekusi pembatalan kenaikan seperti yang diputuskan MA. Perinciannya, kelas I Rp 80 ribu per orang per bulan, kelas II Rp 51 ribu per orang per bulan, dan kelas III Rp 25.500 per orang per bulan. Setelah itu, Perpres 64/2020 yang diterbitkan kemarin akan berlaku.

Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah, salah satu pertimbangan MA mengabulkan gugatan adalah kenaikan BPJS Kesehatan tak semestinya dilakukan saat kemampuan ekonomi masyarakat tidak meningkat. MA menilai bahwa alasan kenaikan iuran untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 15 triliun tahun lalu tak relevan. Alasan selanjutnya, kenaikan iuran itu tak diimbangi upaya "perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS kesehatan". 

Saat ini, argumen bahwa kenaikan bisa membebani rakyat relatif menguat seiring kondisi perekonomian yang memburuk disebabkan maraknya PHK di masa pandemi. Namun, di sisi lain, pandemi juga mendorong pemerintah untuk mengubah postur APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Perincian APBN 2020.

Dalam postur yang baru, belanja kesehatan mendapatkan penambahan Rp 75 triliun dari dana penanganan Covid-19. Dana itu untuk perlindungan dan insentif tenaga medis, belanja alat kesehatan prioritas, serta peningkatan kualitas 132 rumah sakit rujukan Covid-19.

Di lain pihak, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah sudah mengikuti putusan MA atas Perpres 75/2019. Menurutnya, pemerintah mengikuti putusan tersebut dengan mengubah struktur tarif kenaikan iuran BPJS dengan jumlah yang berbeda.

"Di bagian mana saya bilang pemerintah takkan menaikkan iuran BPJS? Yang saya bilang pemerintah mengikuti putusan MA karena sudah final dan mengikat. Pemerintah sudah ikut vonis MA dengan mengubah keputusan dan struktur tarif kenaikan baru," kata Mahfud melalui akun Twitter-nya, Kamis (14/5).

Pihak MA sebelumnya menyatakan tak bisa mencampuri penerbitan regulasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang baru. Mereka hanya bisa kembali menguji materi beleid itu bila ada yang kembali melayangkan gugatan.

Plt Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan menyampaikan, setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk menggugat kebijakan pemerintah. "Pemerintah harus bisa menjelaskan situasinya kenapa angka-angka ini muncul waktu itu. Saya tidak mau berandai-andai ya tapi kalau nanti misalnya ada warga yang mau menggugat ya itu hak setiap warga negara untuk menggunakan hak gugatnya," kata Abet, Kamis (14/5).

Relaksasi

Pemerintah memberikan relaksasi pembayaran bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran atau harus menanggung denda. Kebijakan itu dilansir seiring kenaikan iuran melalui perpres yang berbarengan dengan terjadinya pandemi Covid-19.

Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Kunta Wibawa Dasa menyatakan, relaksasi diberikan tahun ini untuk membantu masyarakat menghadapi tekanan ekonomi.

Kunta Wibawa Dasa menjelaskan, sebelumnya peserta yang tidak membayar iuran biasanya dikenakan penghentian sementara penjaminan. Artinya, status kepesertaan mereka dinonaktifkan. Selanjutnya, agar dapat aktif kembali sebagai peserta, mereka harus melunasi iuran tertunggak untuk maksimal 24 bulan. 

Pada masa pandemi, status peserta bisa didapatkan kembali dengan melunasi iuran maksimal enam bulan pada tahun ini. "Jadi, biasanya mereka harus bayar 24 bulan untuk aktif lagi. Khusus 2020, pemerintah relaksasi menjadi cukup membayar enam bulan, untuk aktif kembali," ujar Kunta dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).

Menurutnya, kelonggaran pelunasan diberikan hingga 2021, agar status kepesertaannnya tetap aktif. Misalnya, seorang peserta tidak membayar iuran selama 20 bulan hingga status kepesertaannya dinonaktifkan. Pada 2020, ia cukup membayar iuran tertunggak enam bulan. Sisanya, tungakan selama 14 bulan dilunasi pada 2021. 

"Ini termasuk dukungan kita untuk Covid-19, relaksasi ke peserta yang memiliki tunggakan," tutur Kunta. Relaksasi juga diberikan terhadap pembayaran denda atas pelayanan. 

Kunta menjelaskan, mereka yang menunggak dan harus masuk Rumah Sakit (RS) biasanya dikenakan denda lima persen dari perkiraan paket Indonesian Case Base Groups (INA CBG’s). INA CBG’s merupakan sistem pembayaran dengan sistem 'paket' berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Di masa pandemi Covid-19, Kunta menjelaskan, pemerintah menurunkan besaran denda itu. "Untuk tahun 2020, hanya dikenakan denda 2,5 persen," katanya.

photo
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/5). - (Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO)

Ketentuan relaksasi ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Melalui regulasi ini, pemerintah juga akan mereview besaran iuran tiap segmen kepesertaan paling lama dua tahun sekali dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum.

Selain itu, Kunta menambahkan, peninjauan juga mempertimbangkan tingkat inflasi di bidang kesehatan, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan dan kemampuan membayar iuran. "Ini diusulkan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) kepada Presiden," ujarnya.

Kemenkeu juga menganggarkan Rp 3,1 triliun untuk memenuhi tanggungan iuran BPJS Kesehatan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III sepanjang 2020.

Ini juga sebagai konsekuensi penerapan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam regulasi tersebut, PBPU dan BP kelas tiga seharusnya dikenakan iuran Rp 42 ribu per Juli 2020. Tapi, pemerintah akan menanggung Rp 16.500 di antaranya sebagia bantuan iuran, sehingga peserta hanya membayar Rp 25.500.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, subsidi ini sebagai komitmen pemerintah untuk membantu masyarakat golongan menengah ke bawah. "Pemerintnah telah commit dan memasukkan ke anggaran 2020 sebesar Rp 3,1 triliun," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).

photo
Pegawai BPJS melayani sejumlah warga di kantor Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Cabang Medan, Sumatra Utara, Kamis (14/5). - (SEPTIANDA PERDANA/ANTARA FOTO)

Pemerintah juga tetap memberikan subsidi pada tahun depan, namun dengan jumlah lebih kecil. Merujuk pada Perpres 64/2020, pemerintah akan membantu Rp 7 ribu, sehingga peserta hanya membayar Rp 35 ribu. Subsidi diberikan pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah.

Bahkan, mungkin saja masyarakat tidak perlu membayar sepenuhnya. Sebab, pemerintah daerah dapat membayarkan sisa iuran yang harus dibayarkan peserta, yakni Rp 35 ribu. Askolani menekankan, subsidi yang diberikan merupakan bentuk bantuan pemerintah untuk dua aspek sekaligus, yakni peserta maupun  instansi BPJS Kesehatan itu sendiri. "Ini dukungan membantu golongan kelas tiga PBPU dan BP agar tetap bayar Rp 25 ribu dan membantu kelangsungan BPJS agar lebih sustainable," katanya.

Kemenkeu menghitung, keputusan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan itu akan membuat kondisi keuangan mereka tidak lagi defisit. Kebijakan tersebut justru membuat keuangan intansi menjadi surplus mencapai Rp 1,76 triliun pada 2020. "Total surplusnya Rp 17,26 triliun, karena ada carry over Rp 15,5 triliun (dari tahun lalu)," ujar Kunta Wibawa Dasa.

Kunta mengatakan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang diprediksi surplus juga sudah memperhitungkan hasil optimalisasi bauran kebijakan sebesar Rp 5,2 triliun. Sebanyak Rp 1,84 triliun di antaranya berasal dari perbaikan kolektibilitas dan Rp 3,8 triliun dari efisiensi klaim layanan.

Utang klaim

Sejauh ini, Kemenkeu mencatat, BPJS Kesehatan memiliki utang klaim yang jatuh tempo kepada rumah sakit (RS) sekitar Rp 4,4 triliun per Rabu (14/5). Klaim ini belum dibayar setelah lebih dari 15 hari sejak dokumen diterima dan berpotensi dikenakan penalti.

 
Sebagai dampak Putusan MA, kondisi keuangan BPJS Kesehatan tahun ini diperkirakan mengalami defisit hingga Rp 6,9 triliun.
 
 

Kunta Wibawa Dasa mengatakan, salah satu yang memengaruhi kondisi BPJS Kesehatan saat ini adalah putusan MA. Dengan kondisi tersebut, Kunta menilai, kondisi BPJS Kesehatan menunjukkan masih perlu adanya banyak perbaikan. Khususnya, untuk membayar klaim jatuh tempo yang berpotensi memperlebar defisit. "Perlu ada upaya-upaya untuk mengurangi defisit BPJS tadi," katanya.

Di sisi lain, outstanding klaim BPJS Kesehatan tercatat sebesar Rp 6,21 triliun dengan utang klaim belum jatuh tempo senilai Rp 1,03 triliun. Sementara itu, yang sudah dibayar sejak 2018, senilai Rp 192,54 triliun.

Sebagai dampak Putusan MA, Kunta menyebutkan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan tahun ini diperkirakan mengalami defisit hingga Rp 6,9 triliun. Ini termasuk menampung carry over defisit tahun lalu yang mencapai Rp 15,5 triliun.

Mulai tahun depan, defisit tersebut berpotensi semakin melebar apabila tidak dilakukan langkah signifikan untuk menjaga kesinambungan program. Bahkan, putusan MA tersebut mempercepat terjadinya defisit Jaminan Kesehatan Nasional yang semula diperkirakan mulai tahun 2024, menjadi 2022.

Kunta menjelaskan, salah satu upaya yang dilakukan adalah menyesuaikan iuran melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor82Tahun2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam regulasi tersebut, pemerintah membagi tiga segmentasi peserta untuk kebijakan iuran. Pertama, penerima bantuan iuran (PBI) yang seluruhnya akan dibayarkan pemerintah dengan besaran Rp 42 ribu. "Untuk menjamin keberlangsungan, pemerintah daerah dapat berkontribusi dengan membayar iuran," ujar Kunta.

Nantinya, Kunta menambahkan, PBI hanya akan didata dari satu sumber, yakni Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang mencakup 40 persen penduduk Indonesia terbawah.

Segmen kedua, peserta penerima upah (PPU) pemerintahataubadan usaha. Sesuai Perpres  No 64Tahun2020, porsi pembayaran iuran untuk pemberi kerja adalah empat persen, sedangkan pekerja satu persen. Batasan paling tinggi adalah gaji dan tunjangan (take home pay) Rp 12 juta dengan batas bawah sesuai UMR kabupaten/kota.

Terakhir, peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (PB) yang terbagi menjadi dua, yakni mandiri dan pendaftaran oleh pemerintah daerah. "Pendaftaran pemda masuk klaster ini, tapi khusus untuk kelas tiga," ucap Kunta.

 
Bahwa negara juga dalam situasi yang sulit. Artinya, penerimaan negara juga turun drastis.
Abetnego Tarigan, Plt Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP)
 

Untuk peserta mandiri kelas satu, besaran iurannya adalah Rp 150 ribu, sementara kelas dua mencapai Rp 100 ribu. Keduanya lebih rendah Rp 10 ribu dibandingkan iuran dalam Perpres No 75Tahun2019, regulasi yang semula ditujukan untuk mengubah Perpres No 82Tahun2018.

Sementara itu, bagi peserta kelas tiga, iuran yang dibayar adalah Rp 42 ribu. Tapi, Kunta menyebutkan, pemerintah akan menanggung Rp 16.500 pada tahun ini dan Rp 7.000 pada tahun depan sebagai bantuan iuran. Tapi, Kunta menekankan, bantuan hanya akan diberikan ke peserta aktif.

Plt Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Tarigan menjelaskan, ada dua alasan utama di balik keputusan pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No 64 Tahun 2020.

Pertama, adanya kekosongan hukum yang mengatur tentang iuran BPJS Kesehatan pascaputusan MA, dengan dikabulkannya permohonan uji materi terhadap Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. 

Sementara itu, alasan kedua, menurut Abet, adalah upaya menjaga kemampuan operasional BPJS Kesehatan untuk tetap melayani para peserta jaminan kesehatan. Selain itu, kebijakan ini diambil demi memastikan kemampuan BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan mitra.

Kendati begitu, Abet juga meminta masyarakat memahami bahwa negara dalam situasi yang serbasulit di tengah pandemi Covid-19 ini. "Bahwa negara juga dalam situasi yang sulit. Artinya, penerimaan negara juga turun drastis. Jadi justru semangat solidaritas kita di dalam situasi ini yang menjadi penting itu perlu dimonitor oleh masyarakat," ujar Abet, Kamis (14/5).

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat