Asma Nadia. | Thoudy Badai_Republika

Resonansi

Covid-19 dan Normal Baru di Indonesia

Beberapa kebiasaan positif harus terus dibangun dan dibangkitkan kesadaran dari masyarakat.

Oleh Asma Nadia

Oleh Asma Nadia

Setelah korona merebak, tampaknya Pemerintah Indonesia sudah dan masih terus harus menetapkan banyak aturan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan.

Begitu juga individu, kepala keluarga, pemimpin, masyarakat, tokoh agama, budayawan, praktisi pendidikan, pebisnis, dan semua pihak, mau tidak mau, suka tidak suka, harus pula menyesuaikan diri dengan situasi pandemi yang belum jelas bagaimana akan berakhir.

Bangsa Indonesia kini  hidup dalam kondisi yang bisa disebut “A New Normal” atau tradisi normal gaya baru. Menjalani hari-hari  dengan keadaan yang dulu dianggap merepotkan, melelahkan, tak sopan, tak berbudaya, bahkan ‘gila’ tapi lambat laun akhirnya terasa sebagai sesuatu yang normal. Ya, yang kemudian menjadi lumrah selama pandemi sejatinya merupakan hal ganjil dan tak terbayangkan pada waktu-waktu sebelumnya.

Menggunakan masker di tempat publik menjadi hal normal yang pertama. Bukan cuma lumrah melainkan kemudian sebagai sesuatu yang wajib. Pemerintah, jika tidak menetapkan lockdown memang tidak memiliki  pilihan, kecuali mengharuskan seluruh masyarakat memakai masker saat berada di ruang publik. Entah ketika mereka berkendaraan umum, berjalan, berjualan, berkendaraan pribadi seperti motor, ke kantor atau ke luar rumah, harus memakai masker tanpa terkecuali.

photo
Petugas gabungan melakukan patroli pengamanan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di salah satu rumah makan di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Jumat (10/4). - (Republika/Thoudy Badai)

Setidaknya masker menjadi amunisi sederhana, tapi menempati prioritas utama, yang paling mungkin disediakan setiap orang, dan diharapkan mampu memutus rantai penyebaran virus. Masker kain khususnya, bisa dibuat siapa saja di rumah dan dikenakan ketika terpaksa berada di luar.  Tidak perlu membeli masker standar medis karena lebih dibutuhkan para dokter dan perawat yang berhadapan langsung dengan pasien terinfeksi korona.

Menganjurkan penggunaan kacamata saat berada di luar penduduk juga bukan ide buruk. Terlepas minus, plus, atau normal, mengenakan kacamata memperkecil risiko tertular penyakit Covid-19 ini.

Mencukur pendek rambut dan tampil klimis buat laki-laki sementara waktu selama wabah bisa menjadi salah satu cara mengurangi lahan bagi virus mendarat.

Mengenakan topi atau peci mungkin juga menjadi tradisi normal yang baru. Dulu topi wajib dibuka di dalam ruangan, tapi kini topi, lebih ideal peci, bisa menghindari virus bersarang di rambut yang jika berkeringat dapat berpotensi mengalir ke mata. Topi juga bisa dilepas sebelum pulang ke rumah sehingga anggota keluarga yang berada di luar, meminimalisasi kemungkinan membawa virus.

Tidak bersalaman ketika berjumpa, kini bukan bentuk ketidaksopanan melainkan sikap yang dianjurkan demi saling menjaga. Jika dulu bakti seorang anak ditunjukkan dengan cara mengunjungi orang tua, saat ini justru sebaliknya. Demi bakti, mereka sementara tidak mengunjungi orang tua--apalagi yang sudah memasuki usia sepuh dan berada pada titik paling riskan untuk terinfeksi.

Bagaimana dengan busana, perlukah kita pikirkan juga apa yang akan menjadi gaya normal baru? Mengenakan kemeja saat berada di luar-- sebagai pengganti kaus, barangkali bisa dipertimbangkan. Alasannya, kemeja yang dikenakan dan mungkin terpapar virus ketika kita berpapasan dengan entah berapa banyak orang saat berada di luar, maka ketika dilepas tidak perlu melalui wajah. Berbeda jika mengenakan kaus yang mungkin saja saat dilepas, bagian luar kaus akan menyentuh wajah dan ini menambah risiko.

Mengapa jadi njelimet? Ya, terpaksa. Meski jika ditimbang-timbang, rasanya masuk akal juga.  Di rumah, pikiran ini muncul saat melihat suami yang punya kebiasaan baru, melepas kausnya tidak menarik dari bawah tetapi memastikan  menarik kaus  dari kerah--tanpa membalikkan kaus bagian luar- -hingga tidak menyentuh wajah atau mengenakan kemeja.

Memakai celana pendek di dalam celana panjang bagi sebagian ayah yang keluar rumah, menjadi tradisi normal. Agar celana panjang yang mungkin terkena virus tidak dibawa masuk, seorang ayah membuka celana panjangnya di luar pintu, dan masuk ke rumah dengan memakai celana pendek yang sebelumnya sudah dikenakan.

Membuka sepatu sebelum masuk rumah juga menjadi sebuah kebiasaan baru. Mencuci tangan atau mandi sebelum bertemu anggota keluarga juga ideal. Handsoap atau sanitizer yang disiapkan di depan pintu rumah sangat dianjurkan. Bahkan, di komplek perumahan, saat ini anjuran mencuci tangan diiringi cairan pembersih yang disediakan di pos-pos tertentu merupakan pemandangan biasa.

Mengurangi pemakaian dasi mungkin bisa dipertimbangkan. Semakin simpel pakaian yang kita kenakan, semakin sedikit wadah bagi  virus menempel. Meski sebagian masyarakat pun saat ini bekerja dari rumah. Ah, rapat melalui video call, atau aplikasi temu muka daring, ternyata mungkin dilakukan di hampir semua profesi. New normal yang lain.

Hal lain, suami saya sekarang ketika terpaksa meninggalkan rumah dan mungkin bertemu waktu shalat di luar, ia rajin membawa sendiri sajadah lipat yang terbuat dari bahan plastik atau karet yang memastikan dapat melindungi bagian kedua tangan dan wajah saat bersujud. Setelahnya, karena bahannya semacam plastik atau karet jadi dengan mudah dilap cairan pembersih. Ikhtiar lain, alternatif yang dirasa paling aman bagi kalangan Muslim yang tak bisa menghindari melaksanakan shalat di ruang publik.

photo
Sejumlah umat Islam menunggu waktu pelaksanaan Shalat Dzuhur berjamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (20/3). - (Putra M. Akbar/Republika)

Idealnya saat ini, setiap kita ketika keluar memang membawa sajadah sendiri. Masalahnya, umumnya sajadah yang ada, bahannya berbulu sehingga sulit atau mustahil dibersihkan setiap usai digunakan. Bagaimana jika shalat di masjid atau mushala yang tanpa karpet? Tetap riskan, kalau mengingat satu kali bersin saja, seseorang menghasilkan 400 ribu droplet. Jika diinjak, virus menyebar ke mana-mana di lantai yang menjadi tempat sujud. Dilema. Ada baiknya membiasakan membawa sajadah lipat yang dipakai khusus diri sendiri, dari bahan yang mudah dibersihkan.

Kerinduan yang harus ditahan untuk shalat berjamaah di masjid, pun menjadi kondisi lain yang harus diterima. Meski untuk ini, semoga kita tidak pernah merasa sebagai sesuatu yang normal. Pun sebentar lagi menjalani hari-hari Ramadhan tanpa buka puasa bersama, tarawih bersama, dan shalat Iedulfitri berjamaah ataupun silaturahim pada hari kemenangan.

Meski begitu, ada tradisi normal baru yang saya syukuri. Keinginan berbagi luar biasa dari berbagai lapisan masyarakat. Rumah ke rumah, komplek demi komplek perumahan, berbagai komunitas. Semoga semangat gotong-royong ini menjadi tradisi yang terus berdenyut di Tanah Air, bahkan setelah wabah selesai.

Banyak hal telah berubah dan akan berubah. Tidak sedikit di antaranya yang sebenarnya baik juga untuk dipertahankan, perhatian terhadap kebersihan, fleksibilitas pertemuan yang dulu mengharuskan keberadaan fisik. Semangat gaya hidup sehat, termasuk berjemur matahari secara rutin, minimal tiga kali sepekan. Juga menghidupkan kebun kecil di setiap rumah serta semangat berbagi dan mengubah cara pikir yang hanya menjadi penonton saat orang lain mendapatkan masalah, sebaliknya segenap rakyat mencoba bergerak, berkontribusi menjadi penyelesai masalah bagi yang lain.

photo
Mahasiswa mengambi mengambil paket sembako untuk dibagikan di Gelanggang Mahasiswa UGM, Yogyakarta, Jumat (10/4). - (Wihdan Hidayat/ Republika)

Demikianlah, selamat datang pada era “New Normal.”

Selama pandemi belum berakhir, setiap kita akan terus memikirkan pertahanan terbaik agar tidak tertular dan menulari.  Semoga seluruh rakyat siap disiplin menjalankan beberapa kebiasaan yang dianjurkan, dipaksa, bahkan diwajibkan dan berkekuatan hukum dari pemerintah. Seperti memakai masker. Menjaga jarak di ruang publik juga masih menjadi persoalan yang membutuhkan kawalan pemerintah. Tidak boleh lagi terlihat khalayak berkumpul di jalan, sopir ojol atau taksi nongkrong yang mengobrol dalam jarak dekat atau menunggu penumpang tanpa masker. Larangan berkumpul ini termasuk dalam aturan yang harus terus diawasi pemerintah.

Beberapa kebiasaan positif harus terus dibangun dan dibangkitkan kesadaran dari masyarakat, dengan  dukungan para ulama, dan  tokoh masyarakat.

Perkuat doa-doa, bertahan sebisa kita melalui masa sulit ini tanpa menutup mata dan hati dari tradisi berbeda yang sebenarnya memang terbaik dilakukan untuk saat ini. Allah mudahkan setiap kita menerima tradisi normal baru di Indonesia. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat