Pekerja memanen padi di Desa Tambak Baya, Lebak, Banten, Rabu (8/4/2020). | MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Menjaga Reforma Agraria

GuGuna menjawab realitas ketimpangan dan konflik agraria, dibutuhkan terobosan menjalankan reforma agraria.

 

Oleh: Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden

 

Tanggal 11 Maret 2020, Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas membahas percepatan penyelesaian masalah pertanahan di Sumatra Utara. Presiden mengingatkan menteri dan kepala lembaga, konflik agraria yang terjadi di seluruh provinsi di Tanah Air harus diselesaikan.

 

Melalui rapat terbatas (ratas) ini, Presiden seperti hendak mengingatkan perlunya unsur “gairah”, kehangatan hasrat untuk melakukan sesuatu. Ketika gairah memudar karena berbagai situasi pada ekosistem pelaksanaannya, maka bisa melandai lalu memudar dan terancam hilang punah.

 

Reforma agraria sebagai agenda bangsa yang butuh momentum, kini tengah di persimpangan jalan, cenderung bergerak ke arah melandai. Semoga saja tak pudar dan hilang musnah.

 

Momentum untuk melaksanakan reforma agraria lahir ketika negara membuka pintu untuk mendiskusikan lalu melahirkan kebijakan sebagai acuan untuk menyiapkan dan menjalankannya.

 

Di samping itu, momentum juga lahir ketika partisipasi rakyat yang mendorong pelaksanaan reforma agraria sudah sedemikian menggebu untuk bergandengan tangan dengan birokrasi pemerintah guna bersama menjalankannya.

 

Salah satu tujuan reforma agraria, seperti dalam Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria ialah “Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan”. Tanah, pekerjaan, dan tingkat kesejahteraan warga terkait erat satu sama lainnya.

 

Sudah lama diketahui, Indonesia sebagai negeri agraris menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian atau pekerjaan utama warganya.

 

Sedangkan sempitnya atau tiadanya pemilikan tanah pertanian bagi petani berkorelasi positif terhadap minimnya lapangan pekerjaan bagi petani di pedesaan.

 

Dampak lebih lanjut dari minimnya pekerjaan di desa adalah berkurangnya pendapatan warga desa dari sektor pertanian. Berkurangnya pendapatan warga menjadi penyebab meruyaknya kemiskinan di kawasan perdesaan.

 

Berbagai penelitian tentang kemiskinan di desa menunjukkan korelasi antara kemiskinan dan faktor kepemilikan tanah. Sementara itu, reforma agraria bermakna membuka lapangan kerja bagi warga desa guna mengurangi kemiskinan di pedesaan.

 

Redistribusi tanah sebagai kegiatan pokok reforma agraria ditempatkan sebagai cara Indonesia menyediakan tanah sebagai alat produksi yang utama dalam sistem mata pencaharian petani.

 

Dengan tersedianya tanah, petani menjadi punya lahan miliknya sendiri yang dapat diusahakan --untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, pariwisata, dan lain-lain, yang  akan menghadirkan dan meningkatkan pendapatan ekonominya.

 

Demikian halnya dengan perhutanan sosial, makna ekonominya adalah membuka pekerjaan melalui pembukaan akses pemanfaatan tanah di dalam kawasan hutan untuk menjadi sumber kehidupan warga. Misalnya, hutan adat sebagai bagian dari skema perhutanan sosial bagi masyarakat adat untuk memiliki dan memanfaatkan tanah dan hutannya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

 

Sementara itu, kegiatan legalisasi hak milik atas tanah dan izin pengelolaan kawasan hutan menjadi instrumen legal untuk kepastian hukum dan perlindungan atas hak-hak konstitusional warga. Hal ini menjadi landasan bagi pembukaan lapangan kerja di lapangan agraria.

photo
Buruh tani memanen tanaman padi di areal persawahan Dusun Gondang, Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang, Jombang, Jawa Timur, Kamis (26/3/2020). - (ANTARA FOTO)

 

Terobosan kolaborasi

 

Pemerintah sudah menetapkan RPJMN 2020-2024 dan RKP 2020. Dalam RPJMN ataupun RKP, reforma agraria ditempatkan sebagai kegiatan prioritas.

 

RPJMN menjadikan kegiatan prioritas reforma agraria sebagai bagian dari prioritas penanggulangan kemiskinan yang direalisasikan, melalui percepatan redistribusi tanah dan perhutanan sosial, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan melanjutkan legalisasi tanah rakyat.

 

Penanganan dan penyelesaian konflik agraria juga menjadi kegiatan penting dalam perencanaan pembangunan ke depan. Selain mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/lembaga yang ada, pemerintah tengah menimbang untuk mengembangkan kelembagaan khusus untuk konflik agraria.

 

Kegiatan strategis lain ialah pembentukan kelembagaan pelaksana reforma agraria di seluruh kabupaten/kota. Setelah 2019, seluruh gubernur membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi, kini giliran bupati/wali kota untuk membentuk GTRA kabupaten/kota dengan dana dalam APBN 2020 untuk operasionalisasinya.

 

Guna menjawab realitas ketimpangan dan konflik agraria, dibutuhkan terobosan untuk serius berkolaborasi menjalankan reforma agraria. Tantangannya ialah menderasnya arus kapitalisme dan liberalisme di atas panggung ekonomi-politik nasional.

 

Belantara regulasi pun tak selalu kondusif untuk implementasi reforma agraria. Posisi presiden sebagai pemimpin sekaligus penanggung jawab dari pelaksanaan reforma agraria dapat diteguhkan melalui penyempurnaan Perpres 86/2018, juga bisa dicerminkan dari kepemimpinan presiden dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis.

 

Misalnya, rapat kabinet terbatas dapat difokuskan untuk menetapkan desain besar, rencana strategis, monitoring perkembangan redistribusi dan penyelesaian konflik agraria. Presiden secara konsisten perlu memantau eksekusi keputusan strategis dalam reforma agraria.

 

Gairah untuk mempercepat redistribusi tanah dalam menciptakan pekerjaan untuk mengurangi kemiskinan, tak boleh pudar. n

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat