Petugas medis bersiap di ruang perawatan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran. | Heru Sri Kumoro/Antara

Dialektika

Menanggulangi Pandemi Covid-19

Fokus kebijakan pemerintah adalah mengatasi pandemi Covid-19 secepatnya agar perekonomian dapat dipulihkan segera.

OLEH Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS

Fajri Azhari, Peneliti IDEAS

Askar Muhammad, Peneliti IDEAS

Siti Nur Rosifah, Peneliti IDEAS

 

Indonesia kini memasuki fase kritis dalam menghadapi pandemi Covid-19, sejak pertama kali secara resmi mengumumkan kasus infeksi Covid-19 pada 2 Maret 2020. Kini, per 7 April 2020 atau hari ke-37, terdapat 2.738 kasus positif terinfeksi Covid-19 di Indonesia dengan 221 orang meninggal dunia.

Dengan ini, Indonesia me rupakan salah satu negara dengan tingkat kematian dari kasus infeksi (case fatality rate/CFR) tertinggi di dunia, yaitu 8,1 persen. Negara lain dengan jumlah kasus setara Indonesia, memiliki CFR jauh lebih rendah.

photo
Darurat Covid-19 - (IDEAS, Dialektika Republika)

CFR Indonesia yang kini 8,1 persen menunjukkan dua kemungkinan yang keduanya merupakan situasi darurat: sistem kesehatan nasional telah mencapai batas kapasitasnya atau ketidaksiapan pemerintah menghadapi dan mendeteksi penyebaran wabah Covid-19. Jika CFR di kisaran "normal", dengan asumsi konservatif 3,5 persen, kasus Covid-19 yang sesungguhnya kini telah mencapai kisaran 6.314 kasus. Lebih jauh, jika tingkat kematian PDP dan ODP ini ikut diperhitungkan dengan asumsi jumlah kematian PDP dan ODP 2,5 kali lipat dari pasien positif, maka kasus Covid-19 di Indonesia kini telah mencapai 15.786 kasus!

 

Waktu kritis menahan ledakan

Per 7 April 2020, sebaran kasus positif Covid-19 di Indonesia telah meluas hingga 32 provinsi. Dengan kini penyebaran Covid-19 nyaris telah menjangkau seluruh negeri, Indonesia kini memasuki masa kritis untuk menahan ledakan infeksi. Terkini, meski telah menetapkan status darurat kesehatan berdasarkan Keppres No 11/2020, tapi pemerintah hanya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui PP No 21/2020. Restriksi moderat tapi diimplementasikan secara terbatas dan lambat, berdasarkan inisiatif pemerintah daerah, kami memproyeksikan ke depan jumlah kasus infeksi Covid-19 Indonesia masih akan terus meningkat, menembus 10 ribu kasus pada hari ke-51, menjelang bulan Ramadhan 24 April 2020, dan menembus 100 ribu kasus pada hari ke-73.

Urgensi kebijakan yang lebih tegas dari PSBB adalah mendesak, yaitu datangnya Ramadhan (24 April 2020) dan Hari Raya Idul Fitri (25 Mei 2020). Budaya silaturahmi dan ziarah kubur jelang Ramadhan, tradisi buka puasa bersama dan shalat Tarawih berjamaah di sepanjang Ramadhan, serta ritual mudik tahunan jelang Idul Fitri, adalah tantangan besar untuk menahan ledakan Covid-19 di negeri Muslim terbesar di dunia ini.

Dalam situasi normal, kami mengestimasi jumlah pemudik dari Jabodetabek berada di kisaran 10 juta orang. Jalur utama dari pergerakan puluhan juta pemudik Jabodetabek ini adalah menuju Jawa Tengah (4,7 juta), Jawa Barat (2,8 juta), dan Jawa Timur (1,3 juta). Tanpa kesadaran dan restriksi yang ketat, potensi penyebaran Covid-19 dari episentrum wabah ke penjuru Jawa adalah keniscayaan.

Jika potensi ledakan wabah dari tradisi di bulan Suci ini tidak dicegah secara optimal, kita terancam memasuki Idul Fitri dengan lonjakan kasus menembus 300 ribu kasus.

Penetapan status darurat kesehatan masyarakat melalui Keppres No 11/2020 dan penerapan PSBB sebagaimana PP No 21/2020 patut diapresiasi. Namun sayangnya tidak lagi memadai. Dengan kecepatan dan cakupan penyebaran Covid-19 saat ini, pemerintah harus secepatnya menetapkan karantina wilayah secara total di daerah episentrum wabah terutama Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan kota-kota besar lainnya serta menerapkan PSBB secara serentak di wilayah lainnya, terutama Jawa. Hanya tindakan tegas dalam waktu dekat yang akan mencegah ledakan kasus infeksi Covid-19 secara signifikan (flattening the curve).

 

Covid-19 dan perekonomian

Covid-19 meski memiliki CFR yang rendah, tapi sangat menular. Dengan besarnya populasi yang terinfeksi secara eksponensial dalam waktu singkat, sistem kesehatan dipastikan akan tumbang sehingga CFR akan meningkat.

Korban jiwa bisa menjadi sangat besar. Tak terkontrolnya pandemi akan dibayar sangat mahal, tidak hanya krisis kemanusiaan, tapi juga sosial dan ekonomi. Dalam jangka pendek, perekonomian tidak hanya akan kehilangan tenaga kerja produktif, tapi juga tenaga medis yang sangat sulit diakumulasi. Dalam situasi pandemi maka respons kebijakan harus cepat dan tegas, dengan tujuan utama menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin. Dengan menyelamatkan manusia, kita akan menyelamatkan semua aspek kehidupan, termasuk sosial dan ekonomi.

Prospek ekonomi maka akan ditentukan oleh respons kebijakan menghadapi pandemi. Ketika respons kebijakan tidak cepat dan tegas, hal ini akan dibaca pelaku pasar sebagai ketidakmampuan pemerintah mengatasi pandemi. Pelaku pasar mulai menunjukkan ketidakpercayaan pada pemerintah sejak Februari 2020 ketika kukuh mengklaim Indonesia bebas Covid-19.

Sejak awal Maret 2020, ketika akhirnya pemerintah mengakui paparan Covid-19 telah masuk ke Indonesia, tekanan pasar menguat seiring membesarnya kasus Covid-19. Nilai tukar rupiah melemah tajam dan indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok drastis hanya dalam hitungan pekan.

Dengan keterbatasan sistem kesehatan, satu-satunya cara mengatasi Covid-19 dalam jangka pendek adalah menurunkan tingkat penularan, dengan cara menurunkan interaksi dan mobilitas sosial. Dengan demikian, menurunnya kinerja ekonomi dalam pandemi adalah tidak terhindarkan.

Fokus kebijakan adalah mengatasi pandemi secepatnya agar perekonomian dapat dipulihkan segera. Semakin lambat upaya mencegah eskalasi pandemi, semakin suram prospek perekonomian. Turunnya kinerja ekonomi secara drastis dalam jangka pendek adalah pil pahit yang harus dijalani untuk mengatasi pandemi.

photo
Kota Jawa membara - (IDEAS, Dialektika Republika)

Respons kebijakan jangka pendek yang sangat mendesak dilakukan adalah melokalisasi Covid-19 di episentrum wabah. Lebih dari setengah kasus Covid-19 yang terdeteksi terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya. Kota-kota besar Jawa lainnya juga menjadi zona merah pandemi. Eskalasi pandemi akan membesar dan menjadi tak terkendali di Jawa jika respons kebijakan masih berfokus pada ekonomi.

Stimulus fiskal secara jelas meningkatkan aktivitas ekonomi, sedangkan penanggulangan pandemi mengharuskan penurunan interaksi sosial. Maka, dalam situasi pandemi, mempromosikan ekonomi sama dengan membunuh nyawa lebih banyak.

Sebagai pusat ekonomi nasional, mengkarantina Jabodetabek dipastikan akan menurunkan perekonomian nasional secara signifikan. Namun menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin adalah prioritas kebijakan tertinggi yang tidak dapat ditawar. Dengan sistem kesehatan semakin menuju batas kapasitasnya, maka menurunkan interaksi sosial secara drastis di episentrum wabah secepatnya menjadi keharusan.

 

Menanggulangi bencana

Respons pemerintah sejak awal terhadap penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) adalah pendekatan "stabilitas dan pemulihan ekonomi". Indonesia yang pada Januari 2020 masih belum memperhitungkan wabah ini, akhirnya mulai merespons pada Februari 2020, tapi bukan mitigasi kesehatan melainkan stimulus ekonomi. Program penguatan perekonomian domestik senilai Rp 10,3 triliun diluncurkan pada 25 Februari, termasuk insentif sektor pariwisata. Pasca Indonesia secara resmi terpapar Covid-19 pada 2 Maret, pemerintah kembali menambah stimulus ekonomi yang diluncurkan pada 13 Maret senilai Rp 22,9 triliun dan pelebaran defisit anggaran hingga Rp 125 triliun dengan fokus pada menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor-impor.

photo
Menghadapi pandemi Covid-19 - (IDEAS, Dialektika Republika)

Setelah Covid-19 menyebar cepat ke penjuru negeri dan kapasitas sistem kesehatan menyusut drastis, pemerintah baru memberi perhatian pada sektor kesehatan, tapi tetap bukan sebagai fokus utama. Pada 1 April, pemerintah meluncurkan stimulus ekonomi ketiga senilai Rp 405 triliun. Namun hanya Rp 75 triliun di antaranya yang ditujukan bagi intervensi kesehatan. Fokus stimulus ketiga ini adalah menjaga pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan dengan program senilai Rp 220,1 triliun.

Stimulus besar di tengah pelemahan ekonomi ini telah melonjakkan defisit anggaran pemerintah secara drastis dari Rp 307 triliun (1,76 persen dari PDB) menjadi Rp 853 triliun (5,07 persen dari PDB). Melampaui batas atas defisit, 3 persen dari PDB, stimulus ini dibiayai secara masif dari utang hingga menembus Rp 1.000 triliun. Lebih jauh lagi, pelanggaran cita-cita reformasi pasca krisis 1998 ini dilegalkan Perppu No 1/2020 hingga tiga tahun anggaran ke depan.

Respons kebijakan menghadapi Covid-19 harus secepatnya beralih dari berbasis "stabilitas dan pemulihan ekonomi" menjadi berbasis "penanggulangan bencana". Dengan berfokus pada menanggulangi bencana secepatnya, kita akan menciptakan landasan yang kokoh untuk pemulihan ekonomi di masa depan. Semakin tidak tegas tindakan yang diambil dalam menghadapi pandemi, semakin suram prospek ekonomi ke depan. Seluruh kebijakan pemerintah saat ini semestinya hanya memiliki tujuan tunggal: menanggulangi pandemi.

photo
Menghadapi pandemi Covid-19 paradigma bencana - (IDEAS, Dialektika Republika)

Dengan secepatnya berfokus pada penanggulangan bencana, kita akan menyelamatkan banyak nyawa, memulihkan prospek ekonomi jangka panjang, yang akan membuat biaya krisis menjadi jauh lebih kecil. Tindakan tegas menghadapi pandemi seperti pembatasan sosial berskala besar dan karantina wilayah, membutuhkan dukungan anggaran yang memadai.

Dengan mencegah eskalasi pandemi, sistem kesehatan memiliki waktu untuk memulihkan populasi yang terinfeksi. Mencegah eskalasi pandemi secara efektif akan mencegah krisis sosial dan ekonomi, biaya pemulihan ekonomi akan menurun drastis.

Dengan menanggulangi pandemi secara cepat, kebutuhan terhadap jaring pengaman sosial akan menurun, dunia usaha dapat pulih dengan segera, dan stabilitas sistem keuangan akan terjaga. Pada gilirannya, hal ini akan memulihkan prospek pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara. Dengan tindakan tegas dan cepat menghadapi pandemi, kita akan banyak menghilangkan kebutuhan terhadap stimulus ekonomi. Simulasi kami menunjukkan, meski biaya menanggulangi pandemi secara tegas adalah mahal, tapi bisa menjadi jauh lebih rendah dibandingkan biaya kerusakan ekonomi akibat pandemi.

Dalam skenario "penanggulangan bencana", defisit anggaran pemerintah dapat ditekan di kisaran tiga persen dari PDB. Jika pemulihan berjalan lebih cepat, bukan tidak mungkin pemerintah tidak perlu melanggar batas defisit tiga persen dari PDB. Hal ini akan menurunkan kebutuhan berutang secara drastis, yang pada gilirannya akan meniadakan kebutuhan terhadap quantitative easing dengan meminta bank sentral secara langsung membeli surat utang pemerintah di pasar primer.

Semakin cepat tindakan tegas dilakukan, semakin rendah biaya menanggulangi pandemi. Sebagai misal, dalam jangka pendek, 1-2 pekan ke depan, kami merekomendasikan karantina wilayah untuk daerah yang menjadi episentrum wabah. Biaya karantina wilayah adalah mahal tapi masih terjangkau dan lebih rendah dari biaya jika pandemi menjadi tak terkontrol.

Alternatif karantina wilayah (lockdown) juga membutuhkan biaya yang mahal, yaitu massive testing, diikuti karantina ketat terhadap kasus terdeteksi dan tracing yang cepat terhadap suspect, seperti pola Korea Selatan. Dengan jumlah penduduk sangat besar dan wilayah yang sangat luas, alternatif karantina menjadi jauh lebih mahal dan tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.

Semakin banyak waktu berlalu, dan wabah semakin menyebar, semakin mahal biaya karantina. Untuk karantina wilayah Jabodetabek, kami melakukan estimasi, untuk biaya kebutuhan pangan warga per hari dibutuhkan setidaknya Rp 1,3 triliun. Jika karantina dilakukan dua pekan, maka dibutuhkan Rp 17,8 triliun untuk kebutuhan pangan 34 juta penduduk Jabodetabek.

Jika subsidi pangan berfokus pada penduduk miskin dan hampir miskin saja, maka biaya kebutuhan pangan untuk karantina dua pekan adalah Rp 6,3 triliun. Semakin lambat karantina dilakukan, semakin panjang waktu yang dibutuhkan dan semakin besar biaya karantina.

photo
Skenario subsidi pangan - (IDEAS, Dialektika Republika)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat