Warga melintas di depan spanduk bertuliskan | ANTARAFOTO

Opini

Otda, PSBB, dan Mudik  

 

Oleh Jose Rizal, Pengajar IPDN Kampus Jakarta

Data korona per 7 April 2020 menyebutkan, ada 2.738 kasus positif Covid-19 di Indonesia dengan 2.313 pasien dirawat, sembuh 204 orang, dan 221 meninggal dunia. Grafik korban Covid-19 yang terus menanjak tak membuat surut nyali pemudik kembali ke daerah asal.

Akhir Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, dalam delapan hari terakhir, 14 ribu orang dari wilayah Jabodetabek mudik menggunakan bus. Diprediksi, mendekati Ramadhan dan Lebaran tahun ini, bakal banyak lagi masyarakat yang menyusul mudik.

Pendapatan yang kian seret di kota-kota besar, terutama di seputaran Jabodetabek adalah motivasi utama para perantau mudik. Kendati diperkirakan berkurang dari tahun sebelumnya, besarnya gelombang mudik 2020 tetap tak bisa dipandang sebelah mata.

Kesigapan pemda dituntut agar Covid-19 tak makin meluas. Otonomi daerah (otda) yang berjalan sejak 1999 sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,  kini benar-benar diuji ketangguhannya.

Otda memberikan keleluasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk menggali potensi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam kurun 20 tahun, otda membuat daerah kian kuat dan tangkas, termasuk menghadapi bencana alam dan nonalam.

Birokrasi berliku PSBB

Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai turunan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, mengatur mekanisme pemda menangani wabah Covid-19.

Selain mengajukan surat resmi pengusulan penetapan PSBB, pemda diharuskan merumuskan rencana aksi penanganan pandemi korona.

Guna menghindari tumpang tindih kewenangan antardaerah, serta sinkronisasi kebijakan terhadap pemerintah provinsi hingga pusat, rencana aksi tersebut harus mendapatkan persetujuan pusat terlebih dahulu.

Rencana aksi yang diajukan pemda provinsi/kabupaten/kota secara berjenjang disyaratkan memuat data peningkatan jumlah kasus menurut waktu disertai kurva epidemiologi, data penyebaran kasus menurut waktu, dan data penularan generasi kedua dan ketiga.

Selain itu, pemda pengusul juga menyampaikan informasi kesiapan mengenai kesediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasional jaring pengaman sosial hingga kesiapan sektor keamanan.

Dalam penetapan PSBB, menteri kesehatan membentuk tim yang bertugas mengkaji epidemiologis terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan. Tim ini juga berkoordinasi dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Lantas, berdasarkan hasil kajian, tim memberikan rekomendasi penetapan PSBB ke menteri kesehatan. Hingga 6 April 2020, baru DKI Jakarta yang disetujui memberlakukan PSBB mulai Jumat, 10 April 2020. Genderang perang lawan Covid-19 ditabuh dari Jakarta.

Daerah yang melaksanakan PSBB berwenang memutuskan masa libur sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya, moda transportasi, tempat atau fasilitas umum hingga pembatasan khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Sayangnya, pedoman PSBB tersebut belum menegaskan pelarangan mudik. Pemerintah hanya menyeru agar sedapat mungkin masyarakat tak mudik, tetapi tidak melarangnya.

Antisipasi pemda

Berlikunya birokrasi penetapan PSBB bagi daerah pengusul, hendaknya tak membuat pemda ragu bersikap. Prinsip pemberian otda dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah.

Apalagi, dalam masa darurat bencana, aksi cepat pemda mengatasi pandemi sangat diharapkan. Atas nama perlindungan masyarakat, pemda bisa mengalihkan pola edukasi anak sekolah, WFH bagi pegawai, bahkan menyuruh umat beragama beribadah di rumah.

Demikian pula, demi mengantisipasi keselamatan kepulangan ribuan warganya pada masa mudik. Mudik yang pada praktiknya melintasi sejumlah daerah provinsi, kabupaten, dan kota tentu menjadi kewenangan pemerintah pusat mengurusnya.

Agar efektif pelaksanaannya, dituntut koordinasi dan komunikasi intens antarlapis pemda hingga pusat.

Keterbatasan APBD dalam membangun pusat-pusat pemeriksaan dan karantina pemudik di titik-titik perbatasan, dapat dilakukan melalui pola kerja sama antardaerah atau melibatkan peran swasta dan masyarakat.

Tindakan preventif tak kalah penting seiring tindakan kuratif. Keterbukaan informasi mesti terjalin baik antara pemerintah, warga setempat, dan pemudik. Tumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat dengan informasi yang jelas, akurat, serta tidak saling bertentangan.

Pemerintah harus memberikan informasi menyeluruh mengenai hal yang wajib dilakukan pemudik selama perjalanan hingga tiba di daerahnya, serta tentu saja pemahaman cukup pada warga setempat agar menerima kepulangan pemudik.

Ini untuk menghindari miskomunikasi antara warga setempat dan pemudik. Pemudik yang ditolak warga, akan jadi masalah baru. Karena itu, harus dijembatani sejak awal sehingga pemudik dapat difasilitasi sebagaimana protokol yang berlaku.

Bukan lantas telantar dengan tidur di terminal, masjid, atau pasar karena terkatung-katung ditolak warga. Masuk kampung dilarang warga, untuk kembali lagi ke kota sudah kehabisan ongkos.

Di lain pihak, pemudik tidak perlu takut dan malu melaporkan diri di pos-pos pemeriksaan, mendapat status ODP dengan kewajiban harus mengisolasi diri selama 14 hari.

Pemda setempat juga perlu menunjukkan keseriusan dalam menegakkan kedisiplinan para pemudik, yakni dengan memastikan keberadaan petugas lapangan hingga ketersediaan perlengkapan pendukung.

Pada akhirnya, pandemi Covid-19 menjadi pelajaran berharga dalam mengoreksi kembali akselerasi roda birokrasi pemerintahan. Agar ke depan, pemerintah dapat bergerak semakin tangkas guna menyikapi situasi dunia yang penuh ketidakpastian dan cepat berubah. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat