Suasana Masjidil Haram diambil dari atas menara Zamzam, Makkah, Arab Saudi. | ANTARA FOTO

Dunia Islam

Makkah, Wabah, dan Kelangsungan Ibadah

Sejarah mencatat, Makkah pernah dibayang-bayangi ancaman wabah.

Makkah merupakan jantung dunia Islam. Di kota kelahiran Rasulullah Muhammad SAW itu, kaum Muslimin melaksanakan rukun Islam kelima, haji. Di satu sisi, haji menghasilkan banyak rezeki dan keberkahan, khususnya bagi masyarakat negeri setempat. Selain sektor minyak dan gas, haji menjadi sumber pemasukan terbesar bagi Arab Saudi. Bagi kaum Muslimin pada umumnya, haji menjadi sarana “silaturahim akbar” yang mempererat rasa persaudaraan, sejak zaman Nabi SAW hingga kini.

Di sisi lain, haji barangkali menjadi satu-satunya ritual tahunan yang diikuti begitu banyak peserta. Jutaan orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Kota Makkah tiap musim haji. Alhasil, antisipasi terkait keamanan dan kesehatan mesti dipertimbangkan secara masak.

Sebab, ada kalanya wabah mengancam Asia Barat, termasuk Jazirah Arab. Tidak hanya pandemi virus korona baru (Covid-19). Menurut catatan sejarah, sebaran penyakit yang terjadi dalam skala masif juga pernah menyerang kawasan tersebut sebelumnya. Seperti dirangkum oleh George Childs Kohn dalam Encyclopedia of Plague and Pestilence: From Ancient Times to the Present (2007), catatan sejarah terawal mengenai wabah yang pernah melanda Jazirah Arab ialah pada 569-571.

Dalam sirah Nabawiyah, periode itu bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, yakni Tahun Gajah. Dinamakan “gajah” karena untuk mengenang kekuatan militer Abrahah yang dilengkapi pasukan bergajah. Pada pertengahan abad keenam, Abrahah mendirikan kuil Kristen di Sana’a (Yaman). Ia menginginkan situs yang dibangunnya itu menjadi satu-satunya pusat religi terbesar di Jazirah Arab. Oleh karena itu, ambisinya membinasakan Ka’bah di Makkah yang dianggap sebagai saingan. Kekuatan pertahanan Makkah sangat tak sebanding dengan besarnya pasukan Abrahah.

Namun, misi pasukan bergajah itu gagal total. Alquran mengabadikan peristiwa itu dalam surah al-Fiil. Ayat kelima surah tersebut menjelaskan kondisi Abrahah dan pasukannya yang “dijadikan-Nya (Allah) seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” Begitu mendekati Makkah, pasukan Abrahah mendadak sakit sebelum ajal menjemputnya. Beberapa sarjana Muslim klasik mencatat, bintik-bintik dan bisul muncul di sekujur tubuh jenderal itu dan balatentaranya. Menurut Kohn, berdasarkan deskripsi itu, gerombolan penyerang Ka’bah diduga terkena wabah cacar.

Sejarah juga mencatat wabah berikutnya yang menerjang Semenanjung Arab dan sekitarnya. Kali ini, wabah yang dimaksud tak berimbas langsung ke Kota Suci. Peristiwa itu dinamakan Wabah Amawas. Ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Dinamakan demikian, sebab episentrumnya berada di Amawas, suatu kota sebelah barat Yerusalem, Palestina. Kejadian pada 638-639 ini merenggut nyawa 25 ribu orang, termasuk para sahabat Nabi SAW.

Basrah di Mesopotamia (Irak) menjadi kota dengan jumlah korban terbanyak. Hal itu sekaligus menandakan luasnya cakupan wabah Amawas. Untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban, Umar menginstruksikan karantina wilayah. Ini merujuk pada hadis Nabi SAW, “Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk. Kalau kalian sedang ada di dalamnya, janganlah kalian lari keluar.” Selain itu, ia juga meminta penduduk di daerah wabah untuk sementara mengungsi ke bukit-bukit dan menghindari kerumunan.

Memasuki abad ke-14, Makkah sebagaimana kota-kota di Asia Barat juga menghadapi bayang-bayang ancaman wabah Maut Hitam (The Black Death). Hingga kini, para sejarawan masih memperdebatkan muasal wabah yang terjadi dalam rentang tahun 1346-1353 itu. Narasi umumnya, wabah tersebut dibawa bakteri Yersinia pestis yang menginfeksi kutu. Kutu itu lantas hidup pada kulit tikus habitat padang rumput Asia Tengah. Pada abad ke-14, Jalur Sutra ramai menghubungkan perniagaan antara Asia dan Eropa. Kuat dugaan, tikus-tikus pembawa kutu tersebut ikut terbawa dalam barang-barang dagangan dari Asia ke Eropa.

Orang yang terinfeksi Yersinia pestis biasanya mengalami demam, sakit kepala, hingga tubuh lemas. Dalam lima hari, sang korban dapat kehilangan nyawa bila tidak diobati secara benar. The Black Death menghancurkan sebagian besar Eropa dan Laut Tengah. Lebih dari 50 juta orang meninggal. Angka tersebut setara 60 persen dari seluruh populasi Eropa saat itu.

 

Wabah Black Death juga memporak-porandakan beberapa negeri di Asia Barat. Menurut dia, wabah itu pertama kali memasuki kawasan tersebut dari selatan Rusia.

 

George Childs Kohn
 

 

Pada 1347, balatentara di bawah pimpinan Malik Ashraf, seorang pemimpin dari Dinasti Jalayirid, hendak mengepung Baghdad. Mereka berarak dari Tabriz—salah satu kota dengan persebaran wabah terparah. Sesampainya di pinggiran Kota Baghdad, Malik akan mempersiapkan pengepungan, tetapi kemudian membatalkannya. Sebab, pasukannya sudah terjangkit wabah. Tak menunggu waktu lama, wabah yang sama menyebar ke Baghdad. Di musim gugur tahun yang sama, sebaran wabah sudah mencapai Iskandariah (Mesir) dan Istanbul (Turki), lalu Gaza (Palestina).

Dalam periode 1348-1349, lanjut Kohn, wabah itu sampai di Makkah. Kemungkinan, beberapa jamaah haji yang datang dari luar Tanah Suci menjadi carrier-nya. Namun, orang-orang juga percaya, kaum non-mukmin yang membawa wabah itu. Betapapun demikian, ribuan orang, termasuk jamaah haji dan penduduk setempat, meninggal dunia setelah terinfeksi wabah tersebut.

Kawasan Asia Barat mulai “aman” dari wabah setelah melewati abad ke-14. Barulah sejak abad ke-19, ancaman penyakit skala masif kembali merundung. Makkah didera epidemi sebagai imbas dari pandemi kolera Asia 1826-1837. Pada musim haji tahun 1831, jamah dari Mesopotamia (Irak) tiba di Makkah. Tanpa disadari, beberapa dari mereka adalah carrier kolera.

photo
Suasana Terminal Bus Syib Amir di Kompleks Masjidil Haram - (Syahruddin El-Fikri/Republika)

Setelah itu, beberapa kasus kolera mulai terjadi di Makkah. Selain Irak, India menjadi daerah lain yang diduga sebagai muasal penyakit itu di Kota Suci. Kohn mengatakan, kuat dugaan setengah jamaah haji di Makkah terinfeksi kolera saat itu. Jumlahnya mencapai ribuan orang, termasuk gubernur Makkah dan Jeddah. Adapun korban wafat mencapai tiga ribu orang, yakni dari jamaah haji. Jumlah jenazah begitu banyak, sedangkan tenaga untuk memakamkannya tak sebanding di Hijaz. Maka, pemakaman massal pun jadi pilihan.

Makkah masih didera wabah kolera tiap musim haji hingga tahun 1912. Dalam periode itu, tahun 1865 menjadi yang terparah. Kohn menjelaskan, waktu itu, wilayah-wilayah seperti India dan pesisir Laut Merah diduga kuat menjadi muasal wabah kolera. Alhasil, jamaah haji yang berasal dari sana secara tak sadar menjadi carrier. Belakangan, kalangan sejarawan menunjuk rute Pulau Temasek (Singapura)-Bombay (India).

Hal ini berdasarkan pengakuan nakhoda kapal Persia and North Wind saat itu di hadapan konsulat Inggris di Jeddah. Kolera tak merebak sampai kapal itu meninggalkan Pelabuhan Malaka. Lepas dari perdebatan ihwal daerah asal wabah, epidemi itu pada faktanya berimbas besar di Kota Suci. Sekitar 30 ribu orang—atau setara sepertiga dari total jamaah haji waktu itu—wafat karena terinfeksi kolera.

 

Ancaman wabah pada era milenium baru

Menapaki milenium baru, wabah tetap menjadi ancaman bagi umat manusia. Sejak tahun 2000, menurut catatan WHO, wabah Ebola dan Kolera menjangkiti beberapa negara di Benua Afrika. Kira-kira satu dasawarsa kemudian, bayang-bayang wabah mulai menghantui Asia Barat, termasuk Hijaz. Pada 2014, virus korona Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) mewabah di Arab Saudi. Alhasil, tiap calon jamaah haji dari semua negara diimbau berhati-hati. Hingga April tahun itu, virus yang ditemukan ilmuwan sejak 2012 tersebut telah merenggut lebih dari 100 nyawa di Arab Saudi.

Lantaran wabah ini, sempat mencuat wacana dari Kerajaan untuk menutup sementara Makkah. Namun, penutupan tidak terjadi karena wabah bisa terkendali. Sedikitnya 15 negara telah melaporkan terjadinya infeksi MERS-CoV waktu itu, yakni Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Di luar kawasan Asia Barat, negara-negara di benua Eropa pun telah melaporkan infeksi MERS-CoV. Mereka antara lain adalah Prancis, Jerman, Yunani, Italia, dan Inggris.

 

 

Di antara gejala MERS-CoV ialah adanya demam tinggi, batuk dan bersin, sesak nafas, gagal ginjal, diare serta muntah-muntah.

 

 

Lanjut usia (lansia), anak kecil, atau orang yang sedang kelelahan (daya tahan tubuh lemah), dalam perjalanan, serta memiliki pola makan yang tidak teratur—mereka semua rentan terjangkit virus tersebut. Begitu pula dengan orang yang memang memiliki penyakit bawaan. Walau bersifat mematikan, MERS-CoV sulit berpindah antarmanusia. Bagaimanapun, sikap waspada tetap mesti ada.

Untuk mencegah penularannya, WHO menyarankan agar orang-orang sering mencuci tangan dengan sabun dan atau cairan disinfektan. Tangan harus terus dijaga kebersihannya, apalagi ketika seseorang batuk, bersin, atau sehabis menggunakan toilet. Saran lainnya, sebisa mungkin hindari menyeka mata atau hidung dengan tangan. Gunakan masker di area publik, khususnya saat berhaji atau berumrah di Tanah Suci.

Adapun kini, virus korona baru (Covid-19) menjadi momok bagi warga sejagat. Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini pun masih dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Hingga kini, Kerajaan Arab Saudi masih terus berjuang untuk mengendalikan atau menghentikan penyebaran virus yang mematikan itu. Harapannya, pelaksanaan rukun Islam kelima tak sampai terganggu.

Sejak Maret lalu, pemerintah setempat telah menjalankan kebijakan lockdown di tiga kota utama, yakni Makkah, Madinah, dan Riyadh. Kebijakan itu dilakukan seiring meluasnya wabah Covid-19. Merujuk data per 1 April 2020, Kerajaan Saudi melaporkan kematian sebanyak 10 orang akibat terinfeksi Covid-19. Kementerian Kesehatan setempat mengumumkan, total kasus infeksi virus korona baru sudah mencapai 1.563 orang.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dikabarkan telah menerapkan dua skenario terkait penyelenggaraan ibadah haji 2020. Kedua skenario itu untuk mempersiapkan antara dua opsi: haji tetap diselenggarakan atau dibatalkan. Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah RI tetap mempersiapkan penyediaan layanan akomodasi, transportasi darat, dan catering haji. Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan layanan penerbangan.

Artinya, jika Saudi memutuskan penyelenggaraan haji tetap dilaksanakan, pemerintah Indonesia sudah memiliki kesiapan yang matang. Oleh karena itu, calon jamaah yang masuk porsi haji tahun ini diminta pemerintah untuk tak ragu. Mereka tetap dapat melunasi sisa biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) ke bank-bank syariah yang telah ditentukan.

Dalam rangka mengantisipasi Covid-19 pula, Kementerian Agama (Kemenag) menunda pelaksanaan bimbingan manasik haji secara konvensional, yakni yang melibatkan kerumunan massa. Kemenag terus mematangkan skenario manasik, semisal distribusi buku manasik ke jamaah agar bisa dijadikan bahan bacaan, memanfaatkan media untuk proses pembelajaran, serta sarana pembelajaran daring via media sosial.

Calon jamaah tentu berharap materi bimbingan manasik haji yang sedang disiapkan itu benar-benar bisa dipahami dengan mudah. Materi bimbingan manasik bisa menggunakan multimedia yang mudah dimengerti calon jamaah. Patut diketahui bahwa tingkat pendidikan calon jamaah haji di Tanah Air sangat bervariasi. Bahkan, tak sedikit yang buta huruf atau terbata-bata dalam berbahasa Indonesia. Inilah salah satu tantangan bagi pemerintah dalam menyediakan aspek pelayanan ibadah haji tahun ini.

Tentu saja, pandemi Covid-19 menjadikan aspek kesiapan fisik calon jamaah haji amat penting. Setiap tahun, mayoritas jamaah haji RI tingkat kesehatannya didominasi mereka yang masuk kategori risiko tinggi (risti). Maka dari itu, perlu ada persiapan yang matang agar kondisi jamaah haji benar-benar prima saat akan berangkat ke Tanah Suci.

 
Bagaimana bila Saudi akhirnya membatalkan pelaksaan haji tahun ini? Bila demikian, pemerintah RI mesti menjamin pengembalian dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji kepada tiap calon jamaah. Pengembalian dana itu hendaknya tuntas sehingga tak menimbulkan kegamangan di tengah warga. Yang jelas, mereka semoga diberi ketabahan dalam situasi pandemi ini.
 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat