Warga melintas di dekat portal karantina wilayah di Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (31/3/2020). | ANTARA FOTO
Langkah social distancing | Republika

Opini

Pil Pahit Karantina Wilayah Jadi Pilihan?

Karantina wilayah dilakukan ketika penyakit telah menyebar antarmasyarakat.

Oleh M ATIATUL MUQTADIR, Presiden Mahasiswa BEM KM UGM 2019, Penerima Baktinusa Dompet Dhuafa

 

Hingga hari ini, kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Ini kondisi yang memprihatinkan, kurva kasus Covid-19 meningkat dibarengi kemampuan tenaga medis dan ketersediaan alat untuk melindungi mereka kian menurun. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Ketika akhir Februari lalu Covid-19 semakin menyebar, desakan lockdown muncul. Namun, pemerintah mengambil opsi lain, yakni social distancing.

Sejatinya, lockdown dan social distancing bukanlah istilah yang dipakai di peraturan kita, yakni UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Berdasarkan UU tersebut, istilah lockdown lebih mirip dengan karantina, sedangkan social distancing serupa dengan bagian kelima undang-undang ini, yakni pembatasan sosial berskala besar.

Sayangnya, social distancing sebagai langkah penanggulangan pandemi Covid-19 lebih mirip dengan kampanye daripada sebuah kebijakan. Pasalnya, tak ada peraturan pemerintah yang diterbitkan dengan terminologi yang mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2018.

Pemerintah justru bekerja mirip dengan lembaga masyarakat: mengumumkan informasi dan membagikan bantuan. Tak salah dengan dua hal tersebut, pemerintah memang perlu melakukan itu, tapi lebih dari itu pemerintah adalah penghasil kebijakan.

Seharusnya, jika memang pemerintah mengambil opsi social distancing, perlu diterbitkan peraturan mengenai pembatasan sosial berskala besar mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2018 lengkap dengan segala teknis pelaksanaan, cakupan kebijakan, dan sanksinya.

Sebagai contoh, dalam Pasal 59 ayat (3) dijelaskan, pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Lantas, dalam pelaksanaannya, masih ada daerah yang menyelenggarakan kegiatan keagamaan, berkumpul di kafe, masih ada kantor yang meminta pegawainya bekerja, masih ada guru yang harus masuk sekolah.

Ini menimbulkan pertanyaan mendasar, kebijakan apa yang sebenarnya diambil pemerintah? Benarkah pemerintah sedang mengambil kebijakan pembatasan sosial berskala besar? Apakah mereka yang saya contohkan di atas dapat disebut melanggar? Atau apakah mereka dapat dikenai sanksi?

Selama tak ada peraturan yang jelas, penanganan Covid-19 ini menjadi buram. Baik bagi aparat yang bertugas maupun bagi masyarakat. Selain itu, social distancing pada wilayah masyarakat Indonesia sulit dilakukan.

Devie Rahmawati, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, mengatakan, masyarakat Indonesia memiliki karakter yang komunal dan secara kultural merupakan short term society atau masyarakat jangka pendek.

Ketergantungan terhadap orang lain sangat tinggi dan memegang prinsip 'kita hidup untuk hari ini'. Ini menjadi salah satu alasan seharusnya social distancing bukan sekadar 'kampanye', melainkan kebijakan yang mencakup sanksi ataupun insentif.

 
Seharusnya, social distancing bukan sekadar 'kampanye', melainkan kebijakan yang mencakup sanksi ataupun insentif.
M Atiatul Muqtadir
 

 

Seharusnya sejak awal
Jauh sebelum Covid-19 menyebar antar wilayah, seharusnya pemerintah secara tegas mengambil opsi karantina wilayah. Sebagai mana tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2018, "Karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masya rakat di suatu wilayah apabila dari hasil kon firmasi laboratorium sudah terjadi penye baran penyakit antaranggota masyarakat".

Dari pasal ini kita mengetahui, karantina wilayah dilakukan ketika penyakit telah menyebar antarmasyarakat. Tujuannya, pe nyakit ini tak menyebar ke wilayah lain. Ber be da dengan karantina rumah yang dila ku kan ketika penyakit hanya terjadi dalam satu rumah (Pasal 50).

Sebagai contoh, ketika kasus ini telah terkonfirmasi di Jakarta, dengan kasus yang terjadi tidak hanya dalam satu rumah, se harusnya akses keluar-masuk Jakarta ditutup sehingga tak menyebar ke wilayah lain.

Kita tahu, kasus Covid-19 di berbagai daerah rata-rata berasal dari orang yang memiliki riwayat perjalanan ke daerah yang telah terjadi penularan antarmasyarakat. Melihat social distancing tak berjalan efektif serta angka kematian dan penyebaran Covid-19 terus meningkat, karantina wilayah harus segera diberlakukan.

Pemerintah pusat harus segera menyiap kan aturan yang memuat skema karantina wilayah, terutama wilayah yang telah terjadi penyebaran Covid-19 antarmasyarakat.

Belajar dari kampanye social distancing, efektivitas karantina wilayah bergantung pada peraturan pemerintah yang dibentuk. Ji ka masih bersifat umum, tidak perinci, dan ti dak tegas, karantina wilayah justru dapat me nimbulkan kekacauan di tengah masya rakat.

Pemerintah perlu menyiapkan aturan yang memuat skema karantina wilayah leng kap dengan teknis pelaksanaan serta pem berian insentif ataupun bantuan kebutuhan hidup dasar bagi orang di wilayah karantina sebagaimana UU Nomor 6 Tahun 2018.

Mau tak mau, karantina wilayah perlu dilaksanakan untuk menyelamatkan bangsa kita. Saat ini, kesehatan masyarakat bergan tung pada ketegasan pemerintah. Sejak awal Covid-19 masuk Indonesia, kebijakan yang diambil cenderung lamban dan tak tegas.

Pada awal kasus ini terjadi, alih-alih mem berikan peringatan kepada masyarakat, pemerintah justru menganggap enteng kasus ini bahkan hingga menjadikannya bahan ber candaan. Kini, virus yang sempat kita terta wakan, telah memakan banyak korban.

Cukup belajar dari kesalahan, sebelum terlalu jauh terlambat, karantina wilayah perlu segera diberlakukan.

 
';