Ilustrasi tisu toilet | REPUBLIKA

Narasi

Covid-19 dan Panik Kehabisan Tisu Toilet

Kepanikan berburu tisu toilet bukan pertama kalinya terjadi.

Jonny Blue merasa kesal dengan rak-rak yang kosong di toko-toko. Banyak warga juga melaporkan ada orang yang menimbun kebutuhan pokok selama krisis virus korona yang dikenal Covid-19. Salah satu barang yang kerap diburu dan kehabisan pasokan adalah tisu toilet.

Blue akhirnya berinisiatif berbagi. Ia berdiri di sudut Jalan Southern California sambil memegang sebuah papan pengumuman buatannya yang bertuliskan "Berbagilah tisu toilet Anda".

Kepada surat kabar San Diego Union-Tribune, Blue mengatakan, respons atas inisiatif berbagi tisu toilet di Encinitas itu sangat cepat dan positif. Para pengemudi mobil menekan klakson mereka sebagai tanda mendukung upaya Blue tersebut. Mereka lalu menaruh gulungan tisu toilet. Tanpa menunda waktu, Blue segera menyerahkan tisu itu kepada mereka yang membutuhkan.

Blue yang bekerja sebagai terapis fisik mengatakan, ia berencana untuk kembali ke sudut itu lagi. Ia mengaku ingin "mendorong orang-orang berbuat baik" di tengah pandemi global.

Blue menceritakan pengalamannya memberikan beberapa gulungan tisu toilet kepada pengendara yang menghampirinya. Mereka mengatakan tidak mendapatkan tisu setelah mendatangi beberapa toko.

"Dia bilang, 'Apa saya perlu membayar Anda?' Saya katakan, 'Tidak, ada orang yang memberikannya. Ambil saja,'," kata Blue, Rabu (18/3).

Laki-laki berusia 33 tahun itu mengatakan, ia berinisiatif membuat papan tulisan itu setelah ada temannya yang kesulitan mendapatkan popok dan kebutuhan anak pada masa yang sulit ini. Blue yakin masyarakat memiliki rasa kebersamaan.

"Ketika segalanya dihadapkan pada kesulitan, masyarakat ingin bersama-sama dan bersatu," kata Blue.

Gara-gara lelucon

Ahli ekonomi dari Boston University, Jay L Zagorsky, mengatakan, kepanikan berburu tisu toilet bukan pertama kalinya terjadi. Dalam ulasannya yang dimuat the Conversation, ia mengatakan, hal serupa pernah terjadi pada 1973 dan ini berlangsung selama satu bulan. Penyebab kepanikan itu apalagi kalau bukan dipicu gosip, ketakutan, dan lelucon.

Saat itu, warga Amerika sudah merasa khawatir akan terbatasnya pasokan bensin, listrik, dan bawang. Keterangan tertulis pemerintah memperingatkan juga kemungkinan pasokan tisu toilet yang langka. Hal itu diliput oleh media massa, tapi belum menyebabkan kepanikan berbelanja.

Hingga suatu saat, seorang pemandu acara terkenal di televisi, Johnny Carson, melontarkan lelucon saat membuka acaranya. Namun, penonton tidak menanggapinya dengan tawa. Mereka malah panik dan memburu tisu toilet.

Kepanikan membeli tisu toilet juga pernah terjadi di Venezuela pada 2013. Hal ini membuat pemerintah memutuskan menyita pabrik tisu toilet untuk memastikan bahwa produksi akan cukup menjamin kebutuhan warga. Sayangnya, upaya itu gagal.

Rata-rata warga AS menggunakan 100 gulung tisu toilet per tahun. Sebagian besar produksi tisu toilet dilakukan di dalam negeri. Hanya kurang dari 10 persen saja diimpor pada 2017, itu pun berasal dari Kanada dan Meksiko.

AS memang memproduksi secara massal tisu toilet sejak 1800-an. Kini ada hampir 150 perusahaan AS yang memproduksi tisu toilet. Lantas, mengapa warga AS masih memburu barang yang produksinya berlimpah?

Belanja panik dengan memburu tisu toilet juga terjadi di Australia. Padahal, pasokan terbilang aman. "Menumpuk tisu toilet adalah tindakan yang relatif terjangkau dan orang suka berpikir bahwa mereka 'melakukan sesuatu' saat mereka berasa menghadapi risiko," kata seorang ahli di Australia.

Jadi, tulis Zagorsky, memburu tisu toilet adalah "bias dari risiko titik nol". Orang memilih untuk berupaya mengurangi salah satu risiko kecil daripada melakukan hal besar yang mengurangi risiko secara total. Menumpuk suatu barang juga membuat orang merasa aman. Ini terutama terjadi saat dunia menghadapi penyakit menular yang sulit dikendalikan.

Setidaknya ada alasan bahwa kita bisa mengendalikan hal-hal lain seperti memiliki tisu toilet dalam jumlah cukup seandainya kita dikarantina. Bukan tidak mungkin juga secara biologis, kita memang diprogram untuk menumpuk barang. Burung, berang-berang, dan binatang lain memiliki kebiasaan menumpuk persediaan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat