Jamaah melaksanakan ibadah shalat jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (13/3). | Republika/Thoudy Badai

Opini

Shaf Korona

Oleh: Arif Ramdan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Hari-hari ke depan kondisi semakin tidak menentu, jagat informasi digital dikuasai oleh berita tentang pandemik korona (Covid-19) yang terus bertengger di puncak mesin pencari, misal Google dan lainnya.

Tak mau kalah, tagar berita pun dibuat sedemikian rupa agar korona tampil di layar paling muka. Kita juga mencari berita terkini terkait virus ini. Lockdown menjadi kata kunci yang populer dalam pekan-pekan ini.

Beberapa negara sudah menerapkan itu, sejumlah kota di Indonesia juga ada yang telah meliburkan semua aktivitas sekolah dan menutup tempat keramaian, terutama lokasi manusia biasa berkumpul. Demikian yang sedang terjadi saat ini di tanah negeri kita tercinta.

Mengejutkan, Indonesia yang tadinya adem dan kalem tiba-tiba bermunculan kasus positif korona yang memakan korban meninggal dunia. Hingga Ahad (15/3), sudah terdapat 117 kasus korona di Indonesia.

Virus korona tak memandang bulu, siapa saja dapat dijangkitinya. Virus ini tidak melihat agama, etnik, dan bahasa seseorang. Tiga bulan lalu, kita masih memandang etnik Cina sebagai biang keladi pertama virus itu menyebar.

Hari ini, negeri Islam seperti Iran pun juga terkena dampaknya. Virus itu menyasar Muslim di Iran. Pun demikian dengan Arab Saudi, tak ada aba-aba sebelumnya tiba-tiba semua penerbangan ke Saudi ditutup.

Ujian bagi jamaah umrah cukup berat, lebih berat lagi para agen perjalanan yang bermasalah dalam memberangkatkan jamaah. Saat ini, semua serba-tidak jelas kapan akan dibuka kembali jalan menuju Makkah.

Masjidil Haram pun dalam proses sterilisasi, jamaah shalat dan thawaf masih ada meski tak berjubel layaknya hari biasa. Di Kuwait, muazin mengumandangkan azan dengan menambah kalimat ajakan shalat di rumah (shallu fie buyutikum).

Model azan ini pun menjadi heboh karena suatu amalan yang jarang dilakukan. Meski dalam salah satu riwayat disebutkan, boleh dilakukan tatkala hujan lebat dan jamaah boleh shalat di rumah dan mengqasar rakaatnya.

Mengikuti jagat media sosial, asbab korona juga telah membelah wacana diskusi dan silang pendapat dari setiap berita yang muncul.

Bagi para pengikut setia 'kecebong' (julukan pendukung salah satu kandidat pada pemilu presiden lalu), titah dan diamnya sang idola menjadi sikap politik yang wajib dibela agar tidak cemaskan rakyat semua.

Meski begitu, hari ini kita kelabakan dengan data sebaran yang terus melonjak. 'Kampreter' juga tak tinggal diam menanti celah agar hujatan bisa segera dialamatkan kepada pemimpin negeri ini yang dianggap lalai menghadapi bencana yang sudah di depan mata.

Sikap Indonesia juga sempat membingungkan sejumlah negara. Mengapa negeri sebesar ini dengan tingkat mobilitas yang tinggi aman-aman saja?

Sejak dinyatakan sebagai negeri terpapar virus dan Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi, kita bisa melihat kepanikan mulai terasa.

Apalagi, salah satu menteri yang sempat berkelakar Indonesia aman dari korona karena rakyatnya biasa makan ?nasi kucing? ini tergolek dalam perawatan intensif di salah satu rumah sakit di Jakarta.

Para menteri pun sejak beberapa hari terakhir ?dipaksa? melakukan medical chek up untuk memastikan perangkat negara tidak lumpuh akibat serangan korona.

Kebijakan Arab pun dinilai salah kaprah, penguasa "wahabi" terlalu gegabah dalam menutup Ka?bah. Meski dalam catatan sejarah pernah terjadi penutupan Ka?bah, seperti saat peristiwa Qaranithah mencuri Hajar Aswad.

Abu Thahir Al Qaramithi, pimpinan Qaranithah (salah satu aliran syiah Ismailiyah) yang mencuri bongkahan hajar aswad.

Wabah tha'un pada 1814 yang mengakibatkan sekitar 8.000 jiwa meninggal dunia akibat wabah thaun di wilayah Hijaz juga memaksa penguasa Makkah saat itu menutup Ka?bah, juga pada saat wabah kolera merajalela pada 1846.

Korona itu ada di sekitar kita, siapa dan kapan terjangkit itu bergantung kondisi kesigapan kita. Jika semua aksi preventif saksama kita lakukan secara bersama, virus ini akan berhenti menular.

Jika di Aceh secara sadar kita sukarela menjalankan misi bersama mengamankan Tanoh Indatu ini, wabah itu akan lari tak menghampiri. Saatnya seluruh anak negeri bersatu melawan virus korona.

Perang melawan virus ini tak bisa sendiri dilakukan oleh pemerintah saja, tapi semua komponen anak bangsa bergerak. Kiranya, untuk sementara waktu ke depan, narasi yang sering membuat keruh suasana negeri dapat dihentikan sementara.

Pernyataan pejabat yang tak produktif bisa dihindari. Kita sudah harus mengerahkan semua daya dan upaya untuk melumpuhkan musuh bersama Indonesia, yaitu korona. Semua harus dilakukan secara berjamaah, bershaf yang terkomando dengan tertib.

 
Seperti shalat yang selalu kita tunaikan, kita perlu berada di dalam shaf untuk mengadang korona. Tidak dapat sendiri. Kita membutuhkan banyak shaf dari berbagai latar belakang orang yang menegakkannya.
   

Seperti shalat yang selalu kita tunaikan, kita perlu berada di dalam shaf untuk mengadang korona. Tidak dapat sendiri. Kita membutuhkan banyak shaf dari berbagai latar belakang orang yang menegakkannya.

Dengan shaf yang berjamaah itu, kita memiliki daya pukul 27 derajat lebih kuat daripada melakukannya seorang diri. Nah!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat