Sejumlah warga dan alim ulama melakukan aksi penolakan keberadaan LGBT di depan Masjid Al Ishlah, Depok, Jawa Barat, Rabu (15/1/2020). | ASPRILLA DWI ADHA/ANTARA FOTO

Opini

Mengapa RUU-KK Ditolak?

Oleh Euis Sunarti, Guru Besar IPB University, Ketua Penggiat Keluarga Indonesia

 

Secepat kilat beberapa pihak menolak RUU Ketahanan Keluarga (RUU-KK) karena dituduh mendiskriminasi perempuan, melanggengkan patriarki, bias gender, memperlemah otonomi tubuh perempuan, dan dianggap sebagai kemunduran dari bentuk keluarga yang sedang berubah. Memangnya keluarga Indonesia akan diubah seperti apa?

Muatan RUU-KK memiliki landasan filosofis dan yuridis yang kokoh serta secara sosiologis mengakar di keluarga Indonesia. Norma bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, dikuatkan UU Perkawinan Nomor 1/1974.

UU ini mengatur pembagian peran suami dengan istri, tapi kedudukannya seimbang dalam keluarga. Istri dilindungi hak ekonomi dan harta pribadinya, dan tidak dilarang mengaktualisasikan diri dan berpartisipasi di sektor publik.

Muatan tersebut tercantum dalam draf RUU Ketahanan Keluarga. Lantas mengapa segelintir elite begitu alergi dengan struktur hierarkis keluarga dan membenci patriarki? Struktur hierarkis dan konsekuensinya terhadap pembagian peran di keluarga diterima masyarakat Indonesia.

Pembagian peran adalah hal alamiah dan dibutuhkan dalam sebuah sistem, termasuk keluarga. Pembagian peran suami dan istri bukan berarti menutup kesempatan bagi masing-masing pihak melaksanakan peran lainnya.

Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah utama, tidak berarti berlepas dari peran pengasuhan anak, justru memikul tanggung jawab besar dalam mengawal pembinaan anak supaya berkualitas, berkarakter, dan beradab.

Ketika istri berperan sebagai ibu mengelola fungsi ekspresif (pendidikan, pengasuhan, reproduksi), bukan berarti tak boleh berpartisipasi di masyarakat dan bekerja di sektor publik. Pembagian peran antara suami istri tak otomatis menjadikan salah satu pihak lebih mulia.

Multidimensi sendi kehidupan keluarga membutuhkan pengaturan. Dalam ilmu keluarga, mekanisme ini diturunkan dari teori struktural fungsional, yang mempercayai tidak mungkin ada individu atau sistem berfungsi independen melainkan saling memengaruhi dan dipengaruhi.

Antipatriarki

Jika merujuk sejarah, antipatriarki didengungkan para feminis yang melakukan gerakan penyadaran bahwa perempuan terdiskriminasi, termarginalkan, tersubordinasi, mendapat pelabelan negatif, mengalami kekerasan, dan menanggung beban ganda.

Feminisme dapat dibedakan menjadi liberal, marxis, radikal, sosialis, teologis, dan ekofeminisme. Hampir seluruh aliran feminisme memandang keluarga sebagai lembaga yang melanggengkan patriarki serta sumber diskriminasi dan ketidaksetaraan gender.

Karena itu, solusi yang ditawarkan adalah runtuhkan institusi keluarga, atau defungsionalisasi keluarga dengan membebaskan perempuan dari peran yang menghambat partisipasinya di sektor publik.

Salah satu caranya, menghilangkan sifat alami feminin perempuan. Simone de Beauvoir menyatakan, ?Lingkunganlah yang menciptakan wanita?. Pandangan ini sesuai filsafat ekstensialisme Jean Paul Satre, yang menyatakan, ?Tidak ada perbedaan alami pria dan wanita.??

Kebijakan antikeluarga patriarki dipromosikan dan diadvokasi UNDP. Allan Carlson (1999) dalam The Natural Family Under Siege menguraikan mengapa UNDP begitu gencarnya menyebarkan agenda pengarusutamaan gender ke seluruh dunia.

Antikeluarga patriarki yang disosialisasikan UNDP dibalut program ?penghilangan diskriminasi terhadap perempuan? (CEDAW, convention on elimination discrimination against women).

Indonesia menandatangani CEDAW dan meratifikasinya melalui UU RI No 7 Tahun 1984. Ini legally binding, yang merupakan dasar pengarusutamaan gender, yakni ketidaksetaraan merupakan bentuk diskriminasi.

Sejak itulah bentuk keluarga Indonesia yang dibangun dengan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 ingin diubah menjadi keluarga berbasis kesetaraan gender. Sementara Amerika, sampai kini masih belum meratifikasi CEDAW karena menolak intervensi PBB.

Bahkan, organisasi civil society yang pro keluarga menolak CEDAW karena membahayakan bagi anak, perkawinan, dan kepercayaan agama. Lebih membawa masalah daripada manfaat, akan mengancam dan merusak peran sehat antara suami dan istri.

Hal yang sering ter(di)lupakan, kesetaran gender UNDP menggunakan indikator kuantitatif Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM), yakni kesetaraan antarlaki-laki dan perempuan terwujud jika data terpilah menunjukkan 50/50.

Semangat dalam advokasi pengarusutamaan gender adalah perempuan berkualitas hanya yang masuk ke sektor publik, memperoleh posisi setara, dan menyumbangkan ekonomi yang nilainya sama seperti laki-laki.

Di sisi lain, peran domestik, seperti mengurus keluarga dan mengasuh anak itu tidak berharga. Bahkan, dalam naskah akademis rancangan undang-undang keadilan dan kesetaraan gender dinyatakan, kedekatan ibu dengan anak merupakan penyebab perempuan tidak maju.

Padahal, ratusan penelitian membuktikan, kelekatan orang tua dengan anak merupakan basis terbentuknya trust di antara mereka. Karena itu, muncul penolakan dari masyarakat sehingga terjadi penundaan pembahasan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender.

Penolakan berlanjut ketika merebak fenomena penyimpangan homoseksual di Indonesia, yakni konsep orientasi seksual dilekatkan dengan identitas dan ekspresi gender dalam konsep sexual orientation, gender identity, and expression (SOGIE).

Ternyata SOGIE tercantum dalam naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-P-KS), sebagai subjek yang perlu dilindungi.

Tirani minoritas?

Jika keluarga hierarkis struktural fungsional memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang kokoh dan diterima masyarakat Indonesia, lantas mengapa ada segelintir elite yang menyalahkan dan memaksakan untuk mengubahnya dengan intervensi nilai yang berseberangan?

Dapatkah kondisi ini disebut tirani minoritas? Lantas bagaimana dengan hak keluarga Indonesia untuk menjalankan bentuk kehidupan keluarga yang dipilihnya? n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat