Realitas Virtual | EPA

Opini

Kekerasan, Media, dan Simulakra

Oleh Rahma Sugihartati, Dosen Departemen IIP FISIP Universitas Airlangga

 

Kelakuan remaja satu ini sungguh di luar nalar. Seorang remaja perempuan berinisial NF (15 tahun), tega membunuh bocah perempuan APA (5 tahun) dengan sadis. Korban dibunuh ketika diajak bermain di rumah pelaku.

Korban yang masih anak-anak ditenggelamkan ke dalam bak kamar mandi, dicekik lehernya hingga tewas dan jasadnya kemudian disembunyikan di lemari.

Peristiwa yang terjadi di Jalan B2 Dalam Karang Anyar, RT 04 RW 06, Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat ini segera saja menjadi perbincangan publik.

Kasus ini cepat terungkap karena pelaku yang notabene anak di bawah umur datang ke kantor polisi dan melaporkan sendiri tindakan kejamnya membunuh bocah tetangganya itu.

NF sebagai pelaku, menurut keterangan polisi ketika melaporkan tindakannya membunuh seorang bocah tampak tenang, tidak menyesali apa yang dilakukan.

Bahkan, ketika ditanya aparat pelaku menyatakan puas dengan apa yang dilakukan. Jangankan menyesali apa yang dilakukan, justru pelaku tanpa perasaan mengakui dan bersedia menyerahkan diri karena telah membunuh tetangganya sendiri tanpa sebab.

Simulakra

Kasus pembunuhan bocah di kawasan Jakarta Pusat ini, membetot perhatian publik bukan sekadar karena tindakan sadis pelaku yang sebetulnya masih di bawah umur, tetapi juga berkaitan dengan latar belakang dan faktor yang memicu tindakan pelaku.

Berdasarkan keterangan sementara, pelaku diduga melakukan perbuatan sadis itu karena terinspirasi dari film. Menurut keterangan yang berhasil dikorek polisi, pelaku selama ini adalah penggemar berat film Chucky dan The Slender Man.

Kedua film kegemaran pelaku adalah film yang sarat adegan kekerasan dan pembunuhan. Film The Slender Man, misalnya menceritakan kisah seorang laki-laki yang gemar menghipnotis, menculik, kemudian melukai korban.

Sedangkan film Chucky bercerita tentang boneka yang bisa hidup, yang suka melakukan pembunuhan. Apakah benar, film horor bertema kekerasan mampu memengaruhi pelaku sampai membunuh korban hingga kini masih dalam proses penyelidikan polisi?

Namun, kalau melihat penampilan yang tenang dan gambar serta tulisan pelaku yang berhasil dikumpulkan polisi dari kamar pelaku, sedikit banyak pasti ada pengaruhnya.

Meminjam istilah Jean Baudrillard (2002), apa yang terjadi dan dialami pelaku tampaknya adalah pengaruh dari dunia simulacra--sebuah dunia impian yang tidak nyata, tetapi dianggap riil.

Dalam pandangan Baudrillard (2002), realitas pada era postmodernisme tidak lagi memiliki referensi, karena di sana yang hadir adalah dunia simulakra--sebuah simulasi kehidupan yang sulit dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu, yang melahirkan cara berpikir masyarakat yang 'hiperrealitas'.

Seseorang yang kecanduan menonton film horor dan bertema kekerasan, bagaimanapun pasti berisiko terpengaruh cerita dan tokoh dalam film itu.

Seorang penggemar yang kecanduan dengan film-film tertentu dan mengidolakan tokoh dalam film itu, menurut Joli Jensen (2001) sering kali muncul sebagai akibat dari selebritas: penggemar didefinisikan sebagai respons terhadap sistem bintang.

Ini artinya, pasivitas melekat pada penggemar dilihat sebagai larutnya sikap imitatif penggemar ke dalam karakteristik tokoh idolanya. Kegemaran dalam praktik acapkali meliputi askripsi yang berlebihan dan tampilan emosional--bahkan perilaku keranjingan yang tak tertahankan.

Berbeda dengan gaya biasa (fad), keranjingan dapat dan sering kali justru menjadi obsesi bagi para pelakunya (Horton & Hunt, 2004). Pelaku yang disebut-sebut mengidolakan The Slender Man, bisa saja tanpa sadar meniru apa yang dilakukan tokoh idolanya.

Jika tokoh idola dalam film itu dikenal suka menculik dan membunuh anak-anak, siapa pun yang menjadi penggemar beratnya bisa saja akan terdorong melakukan hal yang sama.

Seorang remaja yang secara psikologis belum matang, dan mungkin juga psikopat, tentu berpeluang melakukan hal di luar nalar akal sehat, termasuk membunuh anak lain hanya untuk menggenapkan imajinasinya pada sosok tokoh idolanya.

Pelajaran penting

Untuk memastikan apa sebetulnya yang mendorong remaja berusia 15 tahun tega membunuh bocah secara keji dan tanpa perasaan, tentu dibutuhkan penyelidikan yang benar-benar mendalam.

Melibatkan psikolog dan ahli-ahli lain untuk meneliti latar belakang pelaku, kepribadian, dan bagaimana habitus yang melatarbelakangi proses tumbuh-kembang anak sangat dibutuhkan agar dapat dipetik kesimpulan final yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dari segi hukum, benar pelaku adalah terdakwa yang bersalah telah menghilangkan nyawa orang lain. Membunuh seorang bocah, jelas adalah tindak kejahatan yang harus mendapatkan hukuman yang setimpal.

Namun, masalahnya sekarang, ketika pelaku adalah seorang remaja yang secara psikologis masih termasuk anak di bawah umur, apakah adil menimpakan semua kesalahan hanya kepada pelaku?

Tajuk Republika, 9 Maret 2020 menganjurkan ajakan yang bijak bahwa menyikapi kasus ini sebaiknya kita tidak serta-merta menimpakan stigma dan seluruh kesalahan hanya kepada pelaku.

Sebagai anak-anak, pelaku berhak memperoleh masa depan yang lebih baik meskipun secara hukum ia bersalah.

Seorang remaja yang mengaku tidak menyesali perbuatan jahatnya, dan bahkan dengan suka rela melaporkan dirinya sebagai pembunuh kepada polisi, tentu memiliki karakteristik psikologis yang perlu dikaji lebih mendalam.

Kasus pembunuhan bocah yang dilakukan seorang remaja putri sebagaimana terjadi di Jakarta ini adalah sebuah pelajaran penting bagi kita bersama.

Pada era disrupsi revolusi informasi yang melanda masyarakat, dan pengaruh booming informasi yang tanpa batas, risiko anak-anak terpapar hal-hal negatif memang sangat terbuka. Mereka bukan saja rawan terkontaminasi hal berbau kekerasan, melainkan juga terjerumus dalam perilaku imitatif yang keliru.

Menjadi tugas orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk ikut menjaga perkembangan psikologis anak-anak kita agar tidak rentan terpapar tindak kekerasan. Semoga kasus pembunuhan bocah ini menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih berhati-hati ke depannya. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat