Seorang pengunjung saat snorkeling di taman laut Olele, Kabupaten Bonebolango, Gorontalo, Selasa (1/9). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin | ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

Opini

Efek Korona dan Kebijakan Pariwisata

 

Isnawati Hidayah, Asisten Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Sudah Jatuh, tertimpa tangga. Itulah yang sedang dihadapi Pemerintah Indonesia saat ini dalam menyikapi penurunan pendapatan dari industri pariwisata akibat corona effect. Saat perekonomian domestik sedang lesu, badai korona datang. 

Terkait virus korona, pada Senin (2/3), Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama, dua WNI positif terjangkit virus korona. 

Sebenarnya, industri pariwisata Indonesia pernah pada posisi yang patut diacungi jempol. Misalnya, pada 2018 lalu, pendapatan devisa dari sektor pariwisata mencapai 19,29 miliar dolar AS. Target pemerintah adalah 20 miliar per tahun.  

Namun, kondisi berubah cukup drastis, terutama ketika isu virus korona semakin meluas dan merebak di masyarakat. Kekhawatiran yang muncul di tengah masyarakat secara global karena virus korona, tidak dapat dimungkiri berdampak terhadap penurunan pendapatan sektor pariwisata Indonesia. 

Sebagai contoh, Menteri Pariwisata Wishnutama memperkirakan, dampak adanya travel warning akan secara signifikan menurunkan jumlah wisatawan asing Cina ke Indonesia. Hal ini cukup dirasakan pelaku usaha di tempat wisata populer Indonesia.

Seperti halnya tempat-tempat wisata di Bali dan kawasan Lombok. Berdasarkan data Kementerian Pariwisata (Kemenpar), porsi kunjungan wisatawan asing dari Cina menempati posisi teratas di Indonesia setelah Malaysia. 

Diperkirakan dua juta wisatawan Cina setiap tahunnya datang ke Indonesia, dengan total belanja 1.400 dolar AS per kunjungan.  

Kemenpar memperkirakan kerugian devisa secara akumulasi mencapai empat miliar dolar AS hanya dari berkurangnya kunjungan wisatawan asing dari Cina. Hingga bulan Februari, sudah ada 20 ribu pembatalan kedatangan wisatawan asing ke Bali. 

Belum lagi, di tempat wisata lainnya, seperti Manado, Lombok, Nusa Tenggara, bahkan ke Yogyakata. Pembatalan ini berdampak pada penurunan pendapatan dari sektor transportasi, akomodasi, hingga logistik para wisatawan asing di Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah dengan terburu-buru menerapkan kebijakan untuk mengoptimalkan wisatawan domestik, bahkan memberi diskon tiket pesawat hingga 50 persen. 

Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah dikucurkannya dana untuk melibatkan influencer dalam upaya menggenjot pendapatan dari sektor pariwisata di Indonesia.

Namun, per tanggal 2 Maret 2020, dengan munculnya kabar dua WNI yang positif terjangkit virus korona, menjadi hantaman bagi Pemerintah Indonesia. Juga muncul pertanyaan mengenai urgensi kebijakan pariwisata tersebut. 

Di satu sisi, pemerintah berupaya melakukan upaya pencegahan penyebaran virus korona di Indonesia. Namun, di sisi lain, pemerintah menggenjot pendapatan dari wisatawan domestik dengan memberi diskon tiket pesawat besar-besaran. 

Dengan kata lain, mobilitas wisatawan domestik (baik yang sudah terjangkit virus korona maupun belum) akan semakin fleksibel dengan adanya tiket-tiket pesawat murah yang terus dipromosikan oleh pemerintah. Peluang tersebarnya virus korona dari satu pulau ke pulau lain di Indonesia akan semakin tinggi. 

Kebijakan itu ada ketika negara-negara lain mengimbau masyarakatnya menghindari lokasi dengan kerumunan orang hingga waktu yang dianggap aman oleh para ahli kesehatan.

Seperti halnya penutupan sementara Disney Land di Jepang, pembatalan MotoGP di Qatar, dan dibatalkannya kegiatan konferensi di beberapa negara.

Pertanyaan yang cukup menggelitik penulis adalah masihkah kebijakan pemerintah relevan dengan situasi yang dialami Indonesia saat ini? Perlukah ada evaluasi terhadap kebijakan itu? Apakah ada agenda yang lebih utama daripada kebijakan pariwisata tersebut?

Jika memang pemerintah bersikeras mengimplementasikan kebijakan untuk menggenjot wisatawan domestik guna menstimulus roda ekonomi di kawasan pariwisata, ada pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan pemerintah, yaitu siap siaga. 

Pertama, situasi saat ini mengharuskan pemerintah untuk lebih siap siaga dalam menekan persebaran virus korona. Salah satunya, kesiapsiagaan di jalur transportasi lintas kota, lintas provinsi, bahkan lintas pulau. 

Harus ada pemeriksaan lebih tepercaya dan lebih ketat, akses informasi pencegahan terjangkitnya virus korona harus lebih terjangkau masyarakat dan kebersihan moda transportasi ditingkatkan. Itu berlaku untuk transportasi bus, kereta, pesawat.

Kedua, kesiapsiagaan dengan fasilitas dan pelayanan kesehatan berkualitas yang bisa diakses calon wisatawan. Mereka pun bisa terus waspada terhadap persebaran virus korona dan memiliki akses untuk penanganan awal bila terindikasi terjangkit virus korona.

Hal-hal tersebut harus dua kali lipat lebih ketat daripada situasi normal. Mengingat kebijakan pariwisata yang ada, secara langsung pemerintah mengajak masyarakat bepergian, mengunjungi tempat wisata, dan mobilisasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Namun, juga tak dapat dimungkiri, hingga saat ini banyak pihak meragukan kesiapan dan keseriusan pemerintah menangani kasus korona ini. Bahkan hingga akhir Februari, pemerintah bersikeras dan terkesan tutup telinga dengan menyatakan Indonesia bebas korona. 

Padahal, negara tetangga sudah memasukkan Indonesia sebagai negara yang potensial menyebarkan virus korona. Contohnya, Austalia dan Singapura.

Jadi, pemerintah memang harus lebih serius dan secara tepat menentukan kebijakan di tengah situasi seperti saat ini, tanpa terkesan mengabaikan kesehatan seluruh masyarakat Indonesia.

Ataukah jangan-jangan kebijakan pariwisata ini menunjukkan kepanikan pemerintah dalam menghadapi terjangan badai korona sehingga implementasinya terkesan dipaksakan. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat