Warga membawa lambang burung garuda Pancasila saat mengikuti Kirab Budaya warga di Banyuanyar, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (7/10) | Mohammad Ayudha/Antara

Islamia

Setengah Nasib Pancasila di Tangan Akademisi

Tidak semua warga negara memiliki kemampuan epistemologis dan metodologis dalam menafsirkan pancasila.

Oleh Wisnu Al Amin
Alumnus Sosiologi FISIPOL UGM & Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor


 
“Jangan mempersatukan yang tidak dapat disatukan, jangan mempersatukan yang tidak perlu dipersatukan, satukanlah yang memang dapat dan perlu, yaitu persatuan di dalam dasar-dasarnya.” (Ki Hadjar).



Pemerintah Indonesia kembali mendapat sorotan dari masyarakatnya. Sorotan masyarakat ditujukan kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) karena ketuanya membuat pernyataan yang kontroversial di mata publik, yaitu menganggap bahwa musuh Pancasila adalah agama. Jika pandangan tersebut dianggap benar, hal ini tak ubahnya seperti virus yang akan mewabahi manusia Indonesia. Secara nalar sehat tidak mungkin ada orang yang diam atau rela mengorbankan dirinya hancur dalam cengkeraman virus, dapat dipastikan setiap orang akan melawannya atau mencegahnya agar tidak merajalela.

Ketua BPIP, Yudian Wahyudi, telah membuat klarifikasi bahwa yang bersangkutan tidak bermaksud untuk mendiskreditkan agama tertentu. Namun, penting bagi publik untuk mengetahui motif pernyataan agama sebagai musuh agama. Karena itu, salah satu tanggung jawab yang perlu dilakukan oleh BPIP adalah memahamkan kepada masyarakat, bagaimana sebenarnya hubungan Pancasila dan agama secara ilmiah? Terutama Pancasila dengan Islam sebagai agama yang paling banyak pengikutnya di Tanah Air.   

Menengok cikal bakal Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bersifat final dan mengikat bagi setiap warga negaranya untuk dapat diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara. Merealisasikan ini bukan soal yang mudah, karena setiap warga negara punya rasionalisasi dan nilai sebagai individu. Oleh sebab itu, sebelum masuk ke dimensi aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat perlu dipastikan mengetahui dan sadar akan hakikat Pancasila.

Ketika masyarakat Indonesia meyakini bahwa Pancasila itu benar dan pantas untuk diikuti, konsekuensi logisnya adalah Pancasila itu perlu ditinjau epistemologinya. Ini perlu dilakukan agar Pancasila itu secara objektif dan sadar dapat dijadikan basis pengetahuan dalam kehidupan berbangsa. Implikasinya, kesadaran masyarakat Indonesia bahwa mereka mengetahui Pancasila, karenanya proses epistemologi Pancasila perlu dipahami.

Notonegoro (1996) berpandangan bahwa kesepakatan atas Pancasila oleh //founding fathers// Indonesia dilakukan melalui metode kritis selektif dialektif eksperimental. Maksudnya adalah adanya kesadaran pendiri bangsa terhadap pluralitas dan kompleksitas Indonesia. Aspirasi yang majemuk, pilihan pendekatan yang bervariasi, keinginan arah bangsa yang bermacam-macam, dan perbedaan etnis. Cara terbaik untuk memecahkan semua itu adalah membangun persatuan satu sama lain. Atas dasar itulah muncul konsepsi Bhinneka Tunggal Ika, konsep ini menjadi ontologi sekaligus proses epistemologi Pancasila untuk dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.

Keutuhan dan keberlanjutan bangsa Indonesia ditentukan oleh tingkat persatuan warganya. Artinya, pemahaman setiap warga negara terhadap Pancasila akan menentukan nasib masa depan bangsa. Namun, Pancasila hanya berisi lima butir pernyataan yang sifatnya terbatas. Lantas siapa yang berhak menentukan tafsir Pancasila? Kita bisa saja menjawab pemerintah, tapi ada potensi risiko yang akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia. Alasannya adalah di dalam tubuh pemerintah juga berpotensi adanya kepentingan pada saat yang sama dapat menguntungkan dan merugikan kelompok masyarakat tertentu.

Melihat kondisi di atas, dalam proses penafsiran Pancasila maka perlu dibuat jaring kontrol sosial. Tujuannya adalah meletakkan Pancasila secara objektif sesuai dengan ontologisnya dan proses epistemologisnya sehingga setiap warga negara tidak skeptis terhadap Pancasila. Proses penerjemahan Pancasila seharusnya dilakukan oleh dua pihak, yaitu kelompok akademisi/ilmuwan dan pemerintah. Keduanya memiliki peran yang saling berkaitan demi menjaga Pancasila agar objektif. Harapannya adalah Pancasila yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia yang jumlahnya hampir 300 juta jiwa juga objektif, tidak berpotensi memunculkan kegaduhan satu sama lain.

Sinergi kelompok akademisi dengan pemerintah

Berdiri di atas kebenaran dan kejujuran, menyandarkan pada proses pengetahuan yang dapat dipercaya serta mengarahkan hasil buah pikir dan tindakannya untuk kepentingan dan kemanfaatan masyarakat. Ini adalah prinsip kelompok akademisi atau ilmuwan. Berbeda dengan pemerintah yang prinsipnya adalah memobilisasi masyarakat untuk menegakkan aturan yang berlaku, menjaga keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta melindungi dan melayani setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya. Kelompok akademisi dan pemerintah memiliki corak karakternya sendiri, tapi orientasinya sama-sama untuk kebaikan masyarakat. Dua karakter ini perlu ditarik ke arah peran yang lebih spesifik mengenai fondasi negara.

Bangsa Indonesia sudah punya pengalaman, bagaimana Pancasila di dalam pusaran politik pada Sidang Konstituante 1957. Salah satu persoalan utamanya adalah mengenai tafsir Pancasila. Kelompok religius berkepentingan agar Pancasila tidak menyimpang dari nilai-nilai agama. Kelompok nasionalis berkepentingan agar Pancasila mengakomodasi semua kepentingan elemen bangsa. Belum lagi kelompok lainnya.

Siapa yang benar dan siapa yang salah, ini bukan inti persoalannya. Harjosatoto (1996) menerangkan, Pancasila perlu diletakkan sebagai objek kajian yang harus dipahami secara teoretis akademik. Artinya adalah Pancasila perlu dilepaskan dari belenggu-belenggu kepentingan tertentu selain kepentingan persatuan bangsa. Maka dari itu, konsekuensinya adalah setiap warga negara memiliki hak untuk menafsirkan Pancasila karena Indonesia meyakini dan mengadopsi demokrasi. Sayangnya, tidak semua warga negara memiliki kemampuan epistemologis dan metodologis dalam melakukan penafsiran.

Kemudian dari pandangan kenegaraan, pemerintah ditunjuk oleh rakyat untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Jika pemerintah menjadi institusi tunggal yang menafsirkan Pancasila, kita dapat melihat bagian dari sejarah bangsa, bagaimana Pemerintahan Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai alat untuk kepentingan status quo. Lagipula, pilihan ini juga tidak berarti akan tidak adanya penafsiran Pancasila yang bebas dari intrik.

Melalui sistem demokrasi, pemerintah itu berbicara soal rasa. Akibatnya, Pancasila juga akan menjadi soal rasa. Persis seperti pernyataan yang akhir-akhir ini dilontarkan oleh ketua BPIP, agama musuh Pancasila. Jika pandangan ini dibiarkan, secara tidak langsung rasa dari Pancasila di bawah pemerintahan saat ini berpotensi untuk melunturkan legitimasi agama dalam kehidupan berbangsa.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya fokus untuk memastikan bahwa Pancasila telah diaktualisasikan oleh seluruh warga negaranya di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tafsir Pancasila diamanahkan kepada kelompok akademisi atau ilmuwan. Dengan begitu, diharapkan aktualisasi Pancasila tidak seperti kacamata kuda yang hanya punya satu sisi. Nilai-nilai Pancasila harus mampu bersinggungan dengan agama, sains, teknologi, ekonomi, dan sosial budaya yang telah hadir ribuan tahun lalu, berbeda dengan Pancasila yang kemunculannya sebagai produk buah pikir anak bangsa pada awal abad ke-19.

Langkah strategis akademisi dalam menjaga Pancasila

Persoalan yang sering kali muncul dalam eksistensi Pancasila adalah eksistensi agama. Kemudian, kalau dispesifikkan lagi, Islam yang sering kali dihadap-hadapkan dengan Pancasila. Menariknya adalah pihak-pihak yang mempertentangkan itu tidak jarang dari lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, di masyarakat sipil juga ada kelompok yang mempertanyakan eksistensi Pancasila sebagai dasar negara yang perlu diyakini. Kedua kasus tersebut rasanya tidak tepat dalam konteks berbangsa dan bernegara. Mempertentangkan Pancasila dan Islam adalah sikap yang arogan. Islam melalui nilai-nilai religius dan Pancasila melalui nilai-nilai kebangsaan saling menguatkan satu sama lain demi terciptanya masyarakat Indonesia yang bermoral.

Sikap mengonfrontasi Pancasila dan Islam, jika dibiarkan lambat laun akan menjadi bom waktu bagi eksistensi bangsa Indonesia. Pasalnya, Pancasila adalah cita-cita tertinggi masyarakat Indonesia, sementara Islam adalah tujuan akhir bagi pemeluknya. Sebab itu, agar hal demikian tidak terjadi maka peran penting terhadap Pancasila tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Perlunya pelibatan elemen masyarakat khususnya kalangan cendekiawan yang mampu untuk mengedepankan objektivitas dan kepentingan publik. 

Universitas yang notabenenya lembaga independen diisi oleh orang-orang yang berilmu. Benar dan salah ditentukan melalui proses-proses yang sistematis, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tahapan inilah yang sekiranya dapat diadopsi untuk menerjemahkan Pancasila kepada publik sehingga Pancasila tidak bebas nilai, juga tidak berpihak kepada kelompok tertentu yang berpotensi merugikan bangsa. Bahkan, Pancasila ini dapat diarahkan ke yang lebih strategis, yaitu penurunan Pancasila pada operasionalisasi pembangunan nasional dengan multiperspektif yang berorientasi pada produktivitas.

Pancasila dikaji dan ditafsirkan dengan pendekatan interdisipliner. Bukan hanya kajian filsafat yang digunakan, melainkan juga kajian agama, kajian sains dan teknologi, kajian ekonomi, dan kajian sosial budaya. Kajian agama dibutuhkan untuk memastikan, Pancasila dan tafsir-tafsirnya tidak bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Kajian sains dan teknologi untuk merefleksikan Pancasila agar perkembangan teknologi di Indonesia tidak menyabut moral bangsa. Kajian ekonomi sampai dengan kajian sosial budaya agar Pancasila menjadi spirit dalam pengembangan ekonomi bangsa, sehingga Indonesia tidak terjebak pada arus utama ekonomi liberal.

Dalam rangka untuk merealisasikan itu, maka tidak tepat jika pengkajian dan penafsiran diserahkan kepada satu atau dua universitas saja. Pendekatannya adalah perkumpulan akademisi yang mewakili perguruan tinggi yang dinilai kredibel dalam bidangnya. Misalnya, dalam urusan agama dilibatkan universitas yang bercorak agama dari kampus negeri dan kampus swasta. Dalam urusan ekonomi dilibatkan universitas yang memiliki fakultas ekonomi terbaik, sampai dengan universitas yang andal dalam urusan teknologi. Dari sini, Pancasila akan benar-benar dipandang secara objektif dengan keterlibatan akademisi yang latar belakangnya bervariasi.

Implikasi dalam kehidupan berbangsa

Pancasila yang ditafsirkan secara ilmiah dari interdisiplin keilmuan diharapkan mampu menghilangkan stigma bahwa Pancasila dijadikan alat oleh pemerintah. Lebih dari itu, hal ini juga untuk meminimalisasi para oknum yang menjadikan Pancasila untuk menyerang sesama anak bangsa. Hasil rumusan Pancasila dari kumpulan akademisi dari banyak universitas dapat diadopsi menjadi cetak biru (//blueprint//) oleh pemerintah untuk disebarluaskan kepada masyarakat agar menjadi aktualisasi diri dalam konteks keindonesiaan. Implikasinya adalah siapa pun pemerintah yang memegang tampuk kekuasaan, maka mereka terikat dengan Pancasila yang telah diterjemahkan secara ilmiah.

Jika langkah ini benar-benar dapat direalisasikan, ini menjadi angin segar untuk membawa Pancasila ke arah kemajuan. Dengan begitu, adu domba antara Pancasila dan agama harapannya dapat terkikis. Pancasila bukan menjadi alasan bagi masyarakat untuk dapat hidup secara merdeka sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa musuh Pancasila adalah nilai-nilai yang dapat merusak persatuan bangsa. Persatuan itu adalah ontologi Pancasila.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat