Kemiskinan | Republika

Teraju

Merapuhkan Rantai Kemiskinan

Banyak negara yang kesulitan keluar dari jerat kemiskinan sehingga problem mereka makin berat dalam membangun ekonomi.

Kata yang satu ini selalu tak enak didengar oleh siapapun. Semua orang pasti ingin menjauhinya.

Kemiskinan! Ya, itulah kata yang selalu men jadi perhatian banyak pihak. Negara mana pun jelas tak ingin terbelit masalah ini. Kemiskinan yang tinggi pasti membawa masa lah. Mengapa? Kemiskinan selalu erat dengan penderitaan, ketidakbahagiaan, kemuraman, ketidakmakmuran, ketidaksejahteraan, dan ketidakstabilan.

Itulah yang menyebabkan semua pemimpin pemerintahan berjuang keras mengurangi angka kemiskinan. Harapan mereka, dengan tingkat kemiskinan rendah, target mencapai perekonomian yang lebih baik bisa makin mudah.

Bank Dunia juga terus bertekad membantu negara-negara anggotanya untuk keluar dari belitan kemiskinan. Bank Dunia telah menuliskan misi tegasnya di sebuah prasasti di markas pusatnya di Washington DC, Amerika Serikat: Impian Kami adalah Dunia yang Bebas dari Kemiskinan.

Tercatat 145 negara dengan melibatkan banyak ahli bersama-sama ingin mengakhiri kemiskinan ekstrem dalam satu generasi dan mempromosikan kesejahteraan bersama secara berkelanjutan di seluruh dunia. Kerja keras mereka memang telah membuahkan hasil. Ada kemajuan nyata dalam mengurangi kemiskinan selama beberapa dekade terakhir.

Sebagai ilustrasi, pada 2010 kemiskinan global berkurang hingga setengahnya dari kondisi 1990. Pada 1990, jumlah penduduk miskin 36 persen dari total penduduk global. Lalu, pada 2010 jumlahnya berkurang menjadi 18 persen. Target tersebut bahkan tercapai lebih cepat, lima tahun lebih awal, karena target pengurangan angka kemiskinan sampai separuhnya sebenarnya pada 2015.

Meskipun ada kemajuan dalam mengurangi kemiskinan, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem secara global tetap sangat tinggi. Dengan kondisi saat ini, mengingat perkiraan pertumbuhan global yang melambat, pengentasan kemiskinan mungkin akan menghadapi kendala cukup berat. Targetnya bisa saja meleset untuk meng akhiri kemiskinan ekstrem pada 2030 mendatang.

Pada 2015, menurut perkiraan terbaru, 10 persen populasi dunia hidup dengan kurang dari 1,90 dolar AS sehari, sementara pada 2013 populasi kelompok ini mencapai 11 persen. Hampir mencapai 1,1 miliar orang hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 1990. Pada 2015, tercatat 736 juta orang hidup dengan kurang dari 1,90 dolar AS per hari, turun dari 1,85 miliar orang pada 1990.



Tidak merata

Tingkat kemiskinan juga menurun di semua wilayah, tetapi kemajuannya tidak merata. Sebagai contoh, dua wilayah, yaitu Asia Timur dan Pasifik, menampung 47 juta orang hidup dengan kondisi sangat miskin. Di Eropa dan Asia Tengah jumlahnya mencapai 7,0 juta orang, telah mengurangi kemiskinan ekstrem hingga di bawah 3,0 persen.

Lebih dari setengah penduduk miskin ekstrem dunia terkonsentrasi di Afrika SubSahara. Faktanya, jumlah orang miskin di wilayah ini meningkat 9,0 juta, dengan 413 juta orang hidup kurang dari 1,90 dolar AS per hari pada 2015, lebih banyak daripada semua wilayah lainnya. Jika tren ini berlanjut, pada 2030 hampir sembilan dari 10 orang miskin ekstrem akan berada di Afrika SubSahara.

Mayoritas kaum miskin global hidup di daerah pedesaan, berpendidikan rendah, bekerja di sektor pertanian, dan berusia di bawah 18 tahun. Karena itulah, pekerjaan untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem masih jauh dari selesai dan tetap menghadapi banyak tantangan.

Sebagian besar wilayah dunia menghadapi tingkat pertumbuhan ekonomi terlalu lam bat. Investasi yang mengalir ke mereka juga terlalu lemah untuk meningkatkan pendapatan rata-rata masyarakat. Bagi banyak negara, pengentasan kemiskinan telah melam bat atau bahkan berbalik. Artinya, orang yang sempat keluar dari lingkaran kemiskinan, terjerembap lagi ke lingkaran hitam itu.

Jim Yong Kim, presiden World Bank Group 2012-2019, pernah menyatakan bahwa jika kebanyakan negara menjalankan ekonomi dengan cara yang biasa, sulit bagi mereka mengurangi penduduk miskin. Jika kita melanjutkan jalan bisnis seperti biasa, dunia tidak akan mampu memberantas kemiskinan ekstrem pada 2030, ungkap Kim. Itu karena semakin sulit menjangkau mereka yang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang sering hidup dalam kemiskinan di negara-negara yang rapuh dan daerah-daerah terpencil.

Menurut Kim, akses sekolah yang baik, perawatan kesehatan, listrik, air bersih, dan layanan penting lainnya tetap sulit bagi banyak orang. Akses tersebut sering ditentukan oleh status sosial ekonomi, gender, etnis, dan geografi.

photo
Rakhmat Hadi Sucipto



Fakta yang terjadi, banyak orang bisa keluar dari jerat kemiskinan. Namun, sifatnya sementara. Mereka kerap kembali terlilit masalah tersebut. Guncangan ekonomi, kerawanan pangan, dan perubahan iklim jelas mengancam mereka yang sudah bersusah payah keluar dari kemiskinan, memaksa mereka kembali ke dalam kemiskinan. Sangat penting menemukan cara untuk mengatasi masalah ini, jelas Kim.



Ancaman meningkat

Banyak negara yang kesulitan mengatasi kemiskinan. Mesir, misalnya, juga tengah menghadapi masalah ini. Wakil Presiden Senior Kelompok Bank Dunia untuk Agenda Pembangunan 2030, Mahmoud Mohieldin, menyatakan tingkat kemiskinan di negara ini meningkat menjadi lima persen pada 2019 dibandingkan dengan 2,6 persen pada 2015 lalu. Menurut dia, pembangunan tidak mungkin berhasil selama tingkat kemiskinan terus meningkat.

Mohieldin menuturkan, kemiskinan adalah tantangan pertama yang dihadapi negara-negara Arab. Padahal, mereka ingin mencapai pembangunan berkelanjutan.

Mesir memang sedang berusaha meningkat kan sumber daya manusia dan infrastrukturnya. Negara ini juga sedang bergerak menuju transformasi digital dan bidang inteligensi buatan (artificial intelligent/AI).

Badan Pusat Mobilisasi dan Statistik Publik (CAPMAS) Mesir mengumumkan, persentase orang Mesir yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat selama tahun fiskal 2017/2018 menjadi 32,5 persen dibandingkan dengan 27,8 persen pada 2015. Artinya, terjadi kenaikan jumlah orang miskin dan bahkan hidup di bawah garis kemiskinan hingga 4,7 persen di Mesir.

Menurut survei CAPMAS, rata-rata total pengeluaran keluarga di Mesir meningkat menjadi 51 ribu pound Mesir per tahun, dibandingkan dengan 36 ribu pound Mesir pada 2015. Dalam survei 2015, sekitar 27,8 persen populasi Mesir hidup di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan didefinisikan sebagai pendapatan minimum yang dianggap memadai bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Garis kemiskinan di Mesir bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, tergantung pada biaya hidup di setiap daerah.

Mohieldin mencontohkan Cina sebagai negara yang berhasil mengatasi masalah kemiskinan. Dia tampaknya tak salah mengangkat Cina sebagai contoh. Laman Project Syndicate melaporkan, selama empat dekade terakhir, lebih dari 850 juta orang di Cina telah keluar dari kemiskinan. Namun, Yao Yang, pakar dari Universitas Peking, menga takan keberhasilan Cina tidak ada hubungannya dengan model perhitungan kemiskinan berdasarkan randomized controlled trials (RCT).

Penurunan angka kemiskinan ini juga tidak melibatkan pemberian bantuan kepada orang miskin, ungkap Yang. Ini (penurunan kemiskinan) adalah hasil dari pembangunan nasional yang cepat.

Sejak Deng Xiaoping meluncurkan "refor- masi dan keterbukaan" pada 1978, Cina mampu mengejar industrialisasi yang didorong ekspor. Cina juga meliberalisasi sektor swasta, menyambut investasi asing, dan merangkul perdagangan global. Ketika jutaan petani berpindah dari ladang ke pabrik, mereka mendapat upah, menabung, dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Pada saat yang sama, Cina juga mampu meningkatkan jumlah warga negaranya untuk bergerak di bidang wirausaha. Ternyata cara ini berhasil membantu menciptakan kelas menengah terbesar di dunia.

"Cina telah banyak bereksperimen untuk menemukan cara meningkatkan pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan,ungkap Michael Kremer, seorang profesor Harvard yang meneliti pendidikan dan kesehatan di negara-negara berkembang, imigrasi dan globalisasi, seperti dilaporkan Xinhua, beberapa waktu lalu. Dalam proses itu, Cina sangat sukses."

Pendekatan desentralisasi dikombinasikan dengan insentif yang sesuai telah menjadi unsur kuat di balik keberhasilan Cina dalam memerangi kemiskinan," lanjut Kremer, yang menerima Hadiah Nobel Ekonomi 2019, bersama dengan profesor MIT Esther Duflo dan Abhijit Banerjee yang meneliti pendekatan eksperimental untuk mengurangi kemiskinan global.

Menurut Kremer, elemen lain di balik keberhasilan Tiongkok dalam pengentasan kemiskinan adalah proses eksperimen. Kebijakan baru sering diperkenalkan di wilayah tertentu sebelum disebarkan secara lebih luas ke tempat lain.

Cina telah membuat prestasi bersejarah dalam memerangi kemiskinan, menjadikan negara itu kontributor utama upaya pengu- rangan kemiskinan dunia. Sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada 1949, Cina telah mengangkat lebih dari 800 juta orang keluar dari kemiskinan, yang mewakili lebih dari 70 persen pengurangan kemiskinan global.

Tampaknya, metode yang diperkenalkan Cina patut dicontoh oleh negara-negara lain. Perlu percepatan dalam menangani kemiskin an. Jika tidak, masalah-masalah lain akan bermunculan dan memperkeruh problem nasional lainnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat