Sejumlah orang berzikir agar mengalami jiwa yang tenang atau nafs muthmainnah. | ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Islamia

Menuju Nafs Muthma’innah

Akal adalah inti dari jiwa manusia, nafs insâniyah

ANTON ISMUNANTO, Ketua Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara

 

Kebanyakan mata awam di zaman modern ini tertuju pada dunia keartisan, khususnya dari peradaban Barat yang gegap gempita. Jika diamati secara sekilas, berbagai capaian yang diinginkan oleh manusia, telah mereka dapatkan. Namun ketika membaca lebih detail, cara pandang manusia Barat yang terfokus pada alam materil ternyata menciptakan cul de sac (jalan buntu). 

Banyak artis Hollywood yang dipuja manusia di penjuru dunia, mengakhiri kehidupannya dengan cara yang sangat mengenaskan. Potongan dari judul buku Seyyed Hossein Nasr agaknya cukup mewakili: The Plight of Modern Man. Ada nestapa dalam kehidupan manusia modern, dan Islamlah yang menyediakan jalan keluarnya.

Semua orang mencari kebahagiaan. Tidak ada satupun manusia yang tidak mencarinya. Akan tetapi persepsi mereka mengenai kebahagiaan berbeda-beda. Bahkan pertambahan umur cenderung menggeser persepsi mereka tentang kebahagiaan tersebut. Kala masih muda, kebahagiaan dikonotasikan dengan kesenangan. Ketika usia semakin matang dan pengalaman hidup bertambah, rupanya kebahagiaan lebih berkaitan dengan ketenangan. Alquran mengisyaratkannya dengan istilah an-nafs al-muthma`innah

Manusia memiliki stuktur jiwa yang kompleks dan berlapis-lapis. Para ulama dan falasifah telah menjelaskan kepada kita. Memang tampak old, tapi jelas, itu gold. Kemodernan membawa manusia, bahkan yang muslim, menganggap yang lama itu usang. Namun rupanya kenyataan tidak demikian. Khazanah para cendekia Islam di masa lalu ternyata semakin menunjukkan relevansinya. Ketika kita mengaksesnya, baru terasa betul kegunannya.

Pada hakekatnya manusia adalah manusia yang senantiasa sama. Berbagai kemajuan hanya mengubah jenis-jenis kesenangannya saja. Struktur jiwa yang dijelaskan ulama menggambarkan bahwa ada bentuk dasar dari diri manusia yang akan selalu begitu. Dinamika di luar diri manusia rupanya tidak mengubah apapun, meski berbagai teori kekinian mencoba menjelaskan dengan sedemikian rupa. Dalam kecanggihannya, teori itu telah mengaburkan manusia dari pemahaman yang jernih akan dirinya sendiri.

Manusia memiliki tiga lapisan jiwa. Di lapisan terbawah adalah jiwa nabati atau tumbuhan. Dengannya manusia menyerap nutrisi (ghidza`iyah), bertumbuh (nâmiyah) dan berreproduksi (muwallidah). Di lapisan tengahnya manusia memiliki jiwa hayawaniyah atau hewani. Dengannya manusia mengindera (idrâkiyah) dan bergerak (muharrikah). Adapun penginderaan dan gerakan yang dilakukannya mengikuti dua kecenderungan kebinatangan, bisa binatang ternak yang berorientasi kenikmatan perut dan kemaluan (syahwaniyah bahimiyah) atau binatang buas yang berorientasi melawan dan menindas (ghadhabiyah sabu’iyah). 

Kalau direnungi, berbagai dinamika dan pergolakan dalam kehidupan umat manusia dalam sepanjang sejarahnya di muka bumi sangat berkaitan dengan benturan antar jiwa binatang dengan jiwa binatang lainnya. Orientasi pada kenikmatan pada gilirannya menciptakan berbagai penyimpangan, dan yang sedang marak di antaranya tentang LGBT. Sedangkan orientasi pada kebuasan menciptakan perang yang tidak ada hentinya. Semua itulah yang akan bermuara dengan asfala sâfilîn, kerendahan terendah, di dalam neraka. Hal itu karena manusia memperturutkan kebinatangannya.

Namun manusia yang disifati oleh Alquran dengan berbagai kerugian, fi khusr, rupanya sudah dibekali dengan akal yang akan mengantarkan pada ketenangannya. An-nafs an-nathiqah al-muthma`innah. Akal adalah inti dari jiwa manusia, nafs insâniyah. Dengannya manusia bisa beramal teoritis maupun praktis, dari mengenali kenyataan, kebenaran, kebaikan dan keindahan, hingga menjalani berbagai langkah yang akan menghasilkan kebahagiaan. Akal sebagai pemberian Tuhan yang tertanam dalam diri manusia, fithrah jibiliyah, menjadi sempurna dengan fithrah munazzalah, yaitu Alquran yang akan menuntun pikiran dan perbuatan manusia.

Berangkat dari berbagai informasi penting dari para ulama itu, kita menyadari bahwa jalan kebahagiaan manusia itu jelas. Akal yang menuruti Alquran akan membawanya untuk mengendalikan kebinatangan dalam dirinya, baik binatang ternak, maupun binatang buasnya. Jika manusia konsisten dengan itu semua, maka sampailah jiwa itu pada ketengangannya yang membahagiakan, muthma`innah sa’idah. Namun sebaliknya, jika manusia secara sengaja menghempaskan fungsi akal dan wahyu tersebut, maka ia akan diliputi dengan sengsara dan derita, syaqâwah wa dhank. Wallâhu a’lam wa huwa al-musta’ân.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat