Peserta mengikuti tes seleksi PPPK (Penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang digelar Pemkab Tulungagung di Tulungagung, Jawa Timur, Senin (13/9/2021). | ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

Kabar Utama

‘Jangan Gegabah Menangani Pengalihan Honorer’

Penghapusan tenaga honorer di instansi pemda tidak bisa dilakukan secepatnya pada 2023 dan diseragamkan waktunya.

JAKARTA – Polemik penghapusan tenaga honorer pada November 2023 terus bergulir. Protes dari Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menunjukkan adanya persoalan yang belum selesai di antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait kebijakan ini.

Pusat dan pemda pun diminta mencari jalan tengah dan menyelesaikannya dengan semangat keberpihakan terhadap honorer. Pakar otonomi daerah (otda), Prof Djohermansyah Djohan, menyarankan agar tenaga honorer di lingkungan pemda dialihkan menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan tetap melalui proses seleksi.

Namun, menurut dia, pemerintah pusat perlu menambah dana alokasi umum (DAU) karena pengalihan ini tentu membuat anggaran belanja pegawai pemda membengkak. “Tapi kalau pemerintah pusat, Kementerian Keuangan misalnya, kaku tidak mau kasih tambahan, maka itu akan membebani APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah),” ujar Djohermansyah saat dihubungi Republika, Senin (13/6).

Mantan dirjen otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini mengatakan, tenaga honorer menjadi jalan tengah bagi pemda untuk merekrut pegawai dengan menyesuaikan kondisi keuangan daerah. Tenaga honorer dibutuhkan pemda untuk mengisi berbagai posisi strategis, seperti guru dan petugas pemadam kebakaran (damkar).

Sementara, apabila tenaga honorer dialihkan menjadi PPPK, maka sistem penggajian pun berbeda. Bahkan, kata Djohermansyah, besaran gaji PPPK bisa saja mencapai dua sampai tiga kali lipat dari upah tenaga honorer.

Dia menegaskan, terkait gaji PPPK ini jangan sampai membebankan APBD dan justru mengorbankan anggaran untuk pelayanan publik di daerah. Menurut dia, pemda dapat melakukan perhitungan dengan cermat dan mengajukan kebutuhan PPPK beserta anggaran untuk gajinya kepada pusat.

Dengan demikian, Djohermansyah mengatakan, penghapusan tenaga honorer di instansi pemda tidak bisa dilakukan secepatnya pada 2023 dan diseragamkan waktunya. Menurut dia, pemda perlu melakukan pencermatan dan pemetaan terhadap kebutuhan pegawai yang tentu akan berbeda waktunya di setiap daerah.

“Jangan gegabah menangani pengalihan honorer ke PPPK, harus diteliti matang-matang,” kata dia.

Dia melanjutkan, apabila penghapusan tenaga honorer dilakukan terburu-buru tanpa pencermatan, maka akan terjadi gap kebutuhan tenaga honorer di daerah. Hal ini bakal berimbas pada pelayanan publik yang tidak optimal dan maksimal di daerah.

photo
Seorang tenaga honorer bekerja di bagian hubungan masyarakat kantor Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, Rabu (24/11/2021). - (ANTARA FOTO/Rahmad)

Ketua  Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto sebelumnya menyatakan, larangan mempekerjakan honorer bagi instansi pemerintah mulai 2023 akan berdampak bagi pemda. Untuk itu, para wali kota se-tanah air memberikan poin-poin masukan kepada pemerintah pusat agar penghapusan tenaga honorer ini dilakukan secara cermat.

“Kami para wali kota sangat memberikan atensi terhadap isu ini. Jangan sampai pelayanan publik lumpuh. Jangan sampai ada pengangguran massal di kota-kota seluruh Indonesia,” ujar dia.

Selama ini, kata Bima Arya, ada banyak persoalan terkait dengan rekrutmen pegawai. Seperti kebutuhan daerah yang tidak sinkron dengan pola rekrutmen dari pusat. “Penganggaran juga masih belum terkoordinasi dengan baik. Karena itu, menurut hemat kami tidak bisa dipaksakan. Apabila ditargetkan oleh pemerintah pusat di 2023 ini semua sudah tidak ada lagi honorer, tidak bisa,” tegasnya.

Apeksi, lanjut Bima, memberikan masukan untuk dilakukan pemetaan secara menyeluruh terkait dengan analisis jabatan dan kebutuhan di semua daerah. “Sehingga bisa diketahui kebutuhan setiap daerah seperti apa. Penganggarannya bagaimana. Dari situ bisa terlihat bagaimana tahapannya. Dan sepertinya kemungkinan besar tidak mungkin di 2023 selesai semua,” kata Wali Kota Bogor ini.

Senada dengan Djohermansyah, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengusulkan agar penghapusan itu dilakukan secara bertahap agar birokrasi dan pelayanan publik di daerah tak lumpuh.

Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan, birokrasi dan pelayanan publik di kantor dinas di daerah-daerah memang masih sangat bergantung pada tenaga honorer. Jika semua honorer dihapuskan secara serentak pada 28 November 2023 sebagaimana instruksi pemerintah pusat, maka birokrasi dan pelayanan di daerah-daerah berpotensi lumpuh.

Karena itu, Armand mengusulkan agar penghapusan dilakukan secara bertahap mulai 28 November 2023. Durasinya, misalkan, selama lima tahun. “Boleh kita mulai (penghapusan) pada tahun 2023, tapi dilakukan bertahap. Katakanlah bertahap selama lima tahun ke depan. Itu yang kami rekomendasikan,” kata Armand.

Armand menjelaskan, pihaknya tetap mengusulkan agar dilakukan penghapusan honorer meski bertahap, karena merupakan perintah undang-undang. Pertama, UU Nomor 5/2014 tentang ASN yang menyatakan bahwa ASN hanya terdiri atas PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

photo
Guru honorer menunjukkan dokumen buku tabungan bank BNI saat pencairan bantuan subsidi upah (BSU) di Lhokseumawe, Aceh, Kamis (26/11/2020). - (RAHMAD/ANTARA FOTO)

Kedua, UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mengamanatkan agar belanja pegawai tak lebih dari 30 persen dari total APBD. “Selama ini kita tahu belanja pegawai (terutama honorer) sangat besar dibanding belanja modal dalam APBD,” ujarnya.

Armand menambahkan, selama masa penghapusan secara bertahap itu berlangsung, pemerintah pusat harus membuka lowongan PNS maupun PPPK untuk mengisi celah yang ditinggalkan para honorer. Artinya, penghapusan dan perekrutan dilakukan secara beriringan selama lima tahun.

Untuk bisa melakukan itu, lanjut dia, tentu dibutuhkan asesmen kebutuhan yang benar-benar menyeluruh. Pemerintah pusat harus mendapatkan data analisis beban kerja di setiap dinas untuk memastikan jumlah formasi ASN yang hendak dibuka. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Antisipasi Ancaman Krisis Pangan Global

Diversifikasi ke pangan lokal menjadi salah satu solusi ancaman krisis pangan bagi Indonesia.

SELENGKAPNYA

Jamaah Haji Bergerak ke Makkah 

Sebanyak 753 jamaah haji RI gelombang satu mulai diberangkatkan ke Makkah.

SELENGKAPNYA

Berburu Raudhah 

Jika tidak diatur, agak ngeri membayangkan padatnya Raudhah pada musim haji ini.

SELENGKAPNYA