Anak-anak berada di Masjid Al-Majid Dompet Dhuafa di Jalan Baturaja (Lintas Sumatera), Bukit Kemuning, Lampung Utara, Kamis (14/10/2021). Masjid yang berdiri di tanah wakaf seluas lebih dari satu hektare ini nantinya jadi pusat kegiatan warga. | Prayogi/Republika.

Opini

Optimasi Wakaf Produktif

Aset-aset strategis bisa diupayakan menjadi milik umat melalui skema wakaf produktif.

MUHAMMAD SYAFI'IE EL-BANTANI, Praktisi Wakaf dan Pendiri Ekselensia Tahfizh School Dompet Dhuafa

Wakaf semestinya mampu menjadi solusi permasalahan ketimpangan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Aset-aset strategis bisa diupayakan menjadi milik umat melalui skema wakaf produktif.

Dari sini, distribusi kesejahteraan bisa direalisasikan secara berkelanjutan. Mengapa wakaf belum terlihat mampu menghadirkan kesejahteraan dan mengikis ketimpangan, karena paradigma dan praktik wakaf sosial masih mendominasi perwakafan di Indonesia.

Lihat saja kampanye wakaf yang muncul di publik. Sebagian besar berjenis wakaf sosial, seperti pembangunan sumur, masjid, dan pesantren. Kampanye wakaf sosial penting dilakukan karena umat membutuhkan.

Namun, kampanye wakaf produktif mesti lebih digencarkan. Wakaf produktiflah yang akan mengalirkan surplus wakaf. Surplus ini yang bisa didistribusikan kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf) selain untuk reinvestasi atau pengembangan aset wakaf.

 
Contohnya, tanah wakaf dua hektare, sebaiknya tak dihabiskan untuk membangun pesantren, masjid, dan sarana prasarana pendukungnya. 
 
 

Tantangannya terletak pada edukasi wakaf produktif kepada umat Islam. Faktanya, fundraising wakaf melalui uang untuk proyek sosial jauh lebih mudah daripada untuk tujuan produktif, seperti pembangunan pusat pertokoan, pengoperasian SPBU.

Contohnya, tanah wakaf dua hektare, sebaiknya tak dihabiskan untuk membangun pesantren, masjid, dan sarana prasarana pendukungnya. Sebagiannya, dimanfaatkan untuk sentra produksi sayuran dan buah premium melalui teknologi green house.

Pembangunan dan pengoperasian green house bisa bekerja sama dengan perusahaan profesional di bidangnya. Biasanya, perusahaan tersebut juga memiliki tim farming management, yang bisa mendampingi untuk proses semai bibit sampai panen.

Bahkan, juga memiliki jaringan pasar untuk menyalurkan hasil panennya. Surplus wakaf yang diperoleh dari green house disalurkan untuk membiayai pesantren. Inilah pola pengembangan wakaf yang semestinya dilakukan.

 
Setiap kali membangun aset wakaf sosial seperti pesantren, selalu disertai aset wakaf produktifnya untuk menopang keberlangsungannya.
 
 

Setiap kali membangun aset wakaf sosial seperti pesantren, selalu disertai aset wakaf produktifnya untuk menopang keberlangsungannya. Sehingga, pesantren tidak mengandalkan sumbangan pendidikan santri.

Selain itu, bisnis proses green house bisa menjadi pembelajaran bagi para santri. Santri bisa belajar setiap tahapan proses budi daya sayuran dan buah melalui teknologi green house. Ini bisa menjadi vocational skill santri, melengkapi kompetensi keilmuannya.

Dari sisi branding pesantren, pengembangan green house sebagai aset wakaf produktif juga bisa menjadi nilai jual pesantren. Branding pesantren agribisnis bisa menjadi bahan marketing komunikasi kepada publik.

Output pesantren pun menjadi lebih berdaya karena kompeten secara keilmuan dan memiliki vocational skill. Bahkan, bisa jadi nantinya ada dari para santri menjadi pengusaha bidang agribisnis.

Bayangkan, jika model pengembangan aset wakaf produktif ini terus diperbesar skalanya dan dilakukan diversifikasi ke berbagai bidang, potensial menghasilkan surplus wakaf yang besar.

Sebesar 50 persen surplus dialokasikan untuk mauquf ‘alaih (distribusi kesejahteraan), 10 persen untuk operasional nazir, dan 40 persen untuk pengembangan aset wakaf atau reinvestasi.

 
Bayangkan, jika model pengembangan aset wakaf produktif ini terus diperbesar skalanya dan dilakukan diversifikasi ke berbagai bidang, potensial menghasilkan surplus wakaf yang besar.
 
 

Bayangkan, bukankah ini semakin memperbesar jumlah dan skala aset wakaf dan kebermanfaatannya. Karena itu, edukasi wakaf produktif kepada masyarakat sangat penting. Umat Islam mesti lebih bersemangat berwakaf untuk pembangunan aset wakaf produktif.

Paradigma umat Islam terhadap wakaf yang masih dominan wakaf sosialnya, mesti digeser secara bertahap melalui edukasi wakaf produktif.

Selama ini, dalam benak umat Islam, jika berwakaf sosial untuk pembangunan masjid atau pesantren, terbayang jelas pahala jariyahnya dari santri yang shalat di masjid dan belajar di pesantren tersebut.

Namun, ketika nazir melakukan kampanye wakaf untuk pembangunan green house, seolah dalam benak umat Islam, aliran pahalanya tidak sebesar berwakaf untuk pembangunan pesantren.

 
Mesti ada edukasi wakaf produktif berkesinambungan dengan melibatkan pemangku kepentingan.
 
 

Mungkin sebagian umat berpikir karena green house tak dipakai mengaji santri. Padahal, justru dari surplus green house inilah, makan santri bisa dipenuhi. Artinya, jika mau hitung-hitungan pahala jariyah, bisa jadi aliran pahala jariyahnya lebih besar.

Jika makan santri dipenuhi dari surplus wakaf green house, akan menjadi nutrisi yang mengalir dalam darah dan membentuk daging santri. Bayangkan aliran pahala yang diperoleh wakif.

Artinya, setiap kebaikan yang dilakukan santri meski setelah lulus pesantren sekalipun, bisa jadi wakif tetap memperoleh aliran pahalanya. Karena itu, mengubah paradigma umat Islam terhadap wakaf menjadi tanggung jawab semua lembaga wakaf.

Mesti ada edukasi wakaf produktif berkesinambungan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Yakinlah, akan tiba masanya lembaga wakaf memanen hasilnya, yakni ketika umat Islam berbondong-bondong berwakaf untuk pembangunan dan pengembangan aset wakaf produktif. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat