Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Tak Boleh Ada Ruang Kekerasan

Kekerasan dalam rumah tangga, benarkah aib? .

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Waktu memang tak pernah bisa kita genggam. Dulu, saya berharap seiring perubahan zaman, curhat para istri yang menghampiri saya akan berbeda. Lebih ringan dan tak terlalu menyesakkan dada.

Jika saya yang hanya menjadi pendengar, bisa tiba-tiba merasa kehabisan udara atau tenggelam pada lorong kesedihan, bagaimana perasaan mereka yang menjalani?

“Saya ingin berbakti, tapi bagaimana saya bisa menghilangkan kebencian terhadap suami? Saya ikhlas jika hanya saya yang sakit, akibat kebiasaan jajan suami. Tapi …” Putri satu-satunya baru berusia dua tahun ketika dokter mengatakan anak batita itu terkena HIV. 

“Kami padahal menunggu lama sekali, sampai Tuhan memberikan karunia-Nya dan saya bisa hamil.” Lima bulan kemudian e-mailnya tiba, mengabarkan ananda sudah pergi selamanya. Tak lagi ada dalam jarak pandang, tak mungkin lagi didekap penuh sayang. Innalillahi.

Curhat lain saya terima dari seorang istri yang ingin mengambil jalan pintas. “Semua tetangga tahu sebab dia selingkuh sama banyak perempuan. Saya sakit. Padahal demi dia, saya sampai berganti keyakinan, melawan bapak sama ibu yang tak setuju.”

 
Banyak di antara para istri kemudian meminta saya menuliskan kisah sedihnya agar menjadi pelajaran dan mereka yang saat ini sedang berjuang tak merasa sendiri.
 
 

Dikeluarkan dari lingkar keluarga akibat pilihan yang awalnya dikira mendatangkan kebahagiaan. Ternyata tidak. “Kebahagiaan kami hanya seumur jagung, Mbak.”

Saya menanti-nanti e-mail-nya. Lega ketika sapanya masih muncul. Panik saat dia lama menghilang. Khawatir dia benar-benar bertindak nekad, alih-alih mencari bantuan dari sosok tepat. Sebab, tak banyak yang bisa ditawarkan penulis.

Tetapi pembaca, barangkali akrab dengan buku-buku Asma yang sering membahas persoalan rumah tangga, seperti trilogi "Surga yang Tak Dirindukan", buku "Istri Kedua", dan seri "Catatan Hati" karena mereka merasa sendiri, yang terpenting memiliki tempat mengadu yang bisa mereka percaya.

Banyak di antara para istri kemudian meminta saya menuliskan kisah sedihnya agar menjadi pelajaran dan mereka yang saat ini sedang berjuang tak merasa sendiri.

Tentu tak semua setuju. Bahkan, termasuk satu dua penghuni Catatan Hati Seorang Istri --group tertutup yang saya buat di media sosial-- semata agar para istri bisa berbagi.

Yang lebih baik bisa menguatkan, yang ingin curhat, insya Allah ada berbagai latar belakang perempuan dengan segudang pengalaman dan keilmuan yang siap menanggapi. Khususnya, ketika saya tak selalu bisa merespons e-mail mereka.

“Semua persoalan dalam pernikahan itu aib, tidak boleh diumbar.”

“Curhat itu cukup sama Allah, jangan sama manusia!”

“Tolong jangan menjelekkan institusi pernikahan!”

Tidak ada maksud ke sana. Tetapi apakah mereka yang berpendapat demikian akan tetap pada pendirian jika berhadapan dengan seorang istri yang bukan hanya ingin mengambil jalan pintas untuknya, tapi juga sekaligus anak-anaknya?

Atau seorang istri yang curhat dari balik penjara. Suaminya sendiri yang menjebloskan dengan tuduhan palsu, akibat istri meminta pisah. “Saya menunggu anak-anak dewasa, semua lulus jadi sarjana. Saya bertahan untuk mereka. Tapi keinginan saya dijawab suami dengan melaporkan ke aparat atas tuduhan berzina.”

 
Kekerasan dalam rumah tangga, benarkah aib?
 
 

Sang anak sendiri yang mengirimkan curhat bundanya secara berkala dari balik penjara. Jika benar yang disampaikan, sungguh ia butuh pertolongan nyata yang tak akan datang kecuali dia membuka mulut. “Semoga saya tidak membuka aib suami, saat menceritakan ini.”

Adinda Muslimah yang sejak menikah, suaminya telah melakukan tindakan kekerasan bertubi-tubi. Saya tak habis pikir, sebab sang istri terbilang luar biasa lembut, penurut, tak banyak bicara apalagi membantah.

“Setiap suami menghampiri, saya merasa akan segera mati, Mbak,” tuturnya tersedu.

Kekerasan dalam rumah tangga, benarkah aib? Barangkali bila penghasilan suami minim, mengalami perlakuan memalukan dari beberapa pihak, suami di-PHK, memiliki penyakit tertentu, tak bisa memenuhi kebutuhan istri atau hal serupa, benar istri sebagai pakaian suami harus melindungi. Tetapi KDRT tidak termasuk. 

Para istri boleh bahkan jika sudah pada tindak membahayakan wajib mencari pertolongan.

 
Kita membutuhkan kehadiran lebih banyak imam keluarga yang sanggup memimpin istri dan anak-anak dengan kasih sayang.
 
 

Kisah yang dituturkan Muslimah daiyah muda yang menuai banyak reaksi, menurut saya justru memiliki sisi lain yang menunjukkan kecerdasan seorang istri. Ketika memberi ilustrasi istri yang baru mengalami pukulan dari suami, tetapi menjelaskan kepada ibunya yang berkunjung bahwa dia dalam kondisi baik.

Kenyataan sang suami mendengar, merasa malu sendiri, kemudian luluh, adalah tanda sang istri sengaja mengeraskan suara. Sebuah sikap dan pernyataan:  jika mau saya bisa mengadukanmu tapi untuk saat ini saya memilih melindungimu.

Secara pribadi saya mengenal baik sosok cantik dan cerdasnya juga suami yang mendampingi. Pernikahan keduanya harmonis, hubungan yang terjalin berimbang. Terbukti dari bagaimana suami sangat memberi ruang bagi istrinya menuntut ilmu, berekspresi, dan giat bersyiar.

Kita membutuhkan kehadiran lebih banyak imam keluarga yang sanggup memimpin istri dan anak-anak dengan kasih sayang, sebagaimana Rasulullah SAW tunjukkan, tanpa melukai, tanpa menjadikan bahasa kekerasan, apalagi berulang dan hingga membahayakan, sebagai sesuatu yang lazim digunakan sehari-hari. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat