Prof KH Didin Hafidhuddin | Daan Yahya | Republika

Refleksi

Kekuatan Budaya Pesantren

Dakwah merupakan bagian pengabdian pesantren untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.

Oleh PROF DIDIN HAFIDHUDDIN

OLEH PROF DIDIN HAFIDHUDDIN

Silaturahim dan dialog Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu membuahkan hasil yang baik dan menggembirakan bagi umat Islam dan terutama bagi kalangan pondok pesantren.

Setelah berdiskusi sekitar dua jam mendengarkan berbagai masukan, kritik, dan saran, Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh umat Islam. Sikap gentle dan terbuka semacam ini sangat diapresiasi oleh semua pihak, terutama oleh pimpinan MUI, baik yang ikut berdialog saat itu maupun yang tidak ikut secara langsung.

Pada kesempatan tersebut, Kepala BNPT menyampaikan juga bahwa BNPT tidak akan sungkan-sungkan mengubah peristilahan dan diksi yang dianggap kurang tepat dan dapat menimbulkan kesan stigma negatif kepada Islam dan umat Islam. Termasuk ketika membuat kriteria dan indikator kelompok teroris.

Tentu, kita berharap dialog yang bertujuan saling memahami dan saling memberi serta saling menerima ini, yang diperkuat dengan sikap mengakui kekeliruan dan kesalahan, akan menjadi budaya kita, terutama para pemimpin bangsa yang mendapat amanah mengurus urusan publik agar tidak terjadi kegaduhan dan saling mencurigai satu terhadap lainnya.

 
Dialog yang bertujuan saling memahami dan memberi serta saling menerima yang diperkuat sikap mengakui kekeliruan dan kesalahan, akan menjadi budaya kita.
 
 

Pesan Alquran sangat jelas dalam masalah ini sebagaimana tergambar dalam QS al-Hujurat [49] ayat 12: ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

Akan halnya pesantren, sebagaimana sama-sama telah kita ketahui, adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang secara eksistensial merupakan produk asli Indonesia, yang berperan aktif memajukan bangsa, menjaga kesatuan NKRI, dan mampu merespons tantangan zaman dengan sukses.

Sejarah membuktikan bahwa pesantren telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap kemerdekaan Indonesia yang melibatkan banyak kalangan kiai, ulama, santri, dan umat Islam pada umumnya. Dari Pulau Madura hingga Lebak di Banten, dan dari Tasikmalaya di Jawa Barat hingga Aceh di Sumatra.

Kalangan santri yang dibesarkan di pesantren-pesantren di Jawa maupun di surau-surau di Sumatra, berjuang gigih mengusir penjajah. Karenanya, meskipun para penjajah menguasai Indonesia lebih dari 350 tahun, Indonesia tetap menjadi negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Sesungguhnya kekuatan pesantren terletak pada budaya yang dipelihara dan dikembangkan sejak dari dulu sampai dengan sekarang, antara lain, sebagai berikut.

 
Pesantren memberi sumbangsih besar terhadap kemerdekaan Indonesia yang melibatkan banyak kalangan kiai, ulama, santri, dan umat Islam pada umumnya.
 
 

Budaya Ilmu

Budaya ilmu ini diharapkan agar santri menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman secara luas dan mendalam, melalui pengkajian kitab kuning (turats), dan juga kitab pemikiran kontemporer.

Rasulullah SAW bersabda: “Jadilah kamu orang yang mengajarkan ilmu, atau orang yang mencari ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah kamu menjadi golongan yang kelima, sebab kamu akan celaka.” (HR Baihaqi).

Budaya Adab

Dalam lingkungan pesantren, ilmu dan adab adalah dua hal yang saling menguatkan. Keduanya ibarat sebuah koin yang tak terpisahkan, di mana kebermaknaan yang satu bergantung pada yang lainnya.

Ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa petunjuk arah. Dengan demikian, ilmu dan adab harus bersinergi, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai, sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan.

Lebih dari itu, ilmu dan adab adalah inti dari ilmu an-nâfi’, yaitu ilmu yang bermanfaat. Ilmu nafi’ ini adalah ilmu yang pernah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam agar diminta dan dicari setiap saat. Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan katakanlah, wahai Rabbku tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS Thaha [20]: 114).

 
Berilmu tanpa adab adalah dimurkai, sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan.
 
 

Melalui ayat ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk senantiasa memohon kepada Allah tambahan ilmu yang bermanfaat. Ibn Uyainah berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak henti-hentinya memohon tambahan ilmu an-nâfi’ kepada Allah sampai beliau wafat”.

Ibn Katsir menambahkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah diperintahkan untuk meminta tambahan apa pun kecuali tambahan ilmu an-nâfi’.

Ilmu yang bermanfaat (ilmu an-nâfi’) akan mendatangkan iman. Realisasi iman akan membawa pada amal saleh. Integrasi keduanya akan membawa ke jalan yang lurus (sirath mustaqim).

Dengan demikian, bila ilmu didapatkan, tetapi tidak diikuti dengan amal saleh, bisa digolongkan pada ilmu yang tidak bermanfaat (ghairu nafi’) dan bahkan termasuk dalam perbuatan munafik.

Ilmu yang bermanfaat selanjutnya akan mendatangkan rasa takut kepada Allah (khasyah) sehingga dapat mendekatkan pemiliknya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemiliknya disebut alim atau ulama. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Fathir [35] ayat 28.

Budaya Dakwah

Pesantren dan dakwah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dakwah merupakan bagian pengabdian pesantren untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik, dan menyelamatkan mereka dari kehancuran.

Dakwah merupakan ruh kehidupan agama Islam. Islam tidak akan tegak tanpa dakwah. Dengan dakwah ini, semua perkara yang makruf akan terealisasikan, demikian juga perkara yang mungkar akan terhapuskan.

Jika amar makruf dan nahi mungkar tegak di tengah-tengah masyarakat, berarti tatanan kehidupan bermasyarakat akan tegak dibangun di atas aturan Allah sehingga tatanan kehidupan masyarakat yang Islami akan terwujud nyata.

Budaya Mandiri

Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren telah terbukti mandiri dalam segala hal. Baik dari segi pembiayaannya maupun pengaturan kurikulumnya, tanpa terkooptasi dari kepentingan-kepentingan eksternal pesantren dan intervensi pihak mana pun, sehingga dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain.

Keberhasilan di atas tidak dapat dilepaskan atas nilai-nilai hidup yang dipelihara dan ditanamkan kiai pengasuh pesantren kepada para santrinya. Salah satu nilai yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus sangat memengaruhi keberlangsungannya adalah kemandirian.

Budaya Cinta Tanah Air

Para kiai, para ulama pondok pesantren sangat menekankan pentingnya cinta pada tanah air, bangsa, dan negara (NKRI). Karena NKRI ini adalah warisan para pejuang dan para syuhada yang harus dipertahankan dan dimajukan secara bersama-sama dalam berbagai bidang kehidupan, atas dasar keyakinan kepada Allah SWT, pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan serta nilai-niai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Apalagi, di pondok pesantren ada ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman). Karena itu, mari kita kuatkan budaya pesantren ini agar menjadi budaya masyarakat yang cinta ilmu dan adab, cinta dakwah, cinta kemandirian, dan cinta tanah air.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat