Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Jenderal Soedirman yang Legendaris (III-habis)

Jenderal Soedirman pergi bergerilya bersama para prajurit yang sangat setia selama tujuh bulan di bawah ancaman maut pasukan Belanda.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Antara tahun 1945 dan 1949, kita perlu juga menyebut sebagian tokoh militer pendamping Jenderal Soedirman: Kolonel AH Nasution, Kolonel Oerip Sumadihardjo, Kolonel TB Simatupang, Kolonel Gatot Soebroto, Letnan Kolonel Soeharto, dan sederetan perwira menengah lainnya yang juga sangat berjasa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan sebagai upaya kolektif bangsa Indonesia. 

Semua nama ini, kecuali Jenderal Soeharto (atas permintaan keluarga), telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tokoh-tokoh militer ini umumnya pernah dilatih dalam PETA, yaitu Jenderal Soedirman, Kolonel Gatot Soebroto, dan Letkol Soeharto. Yang lain mantan KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Kolonel Gatot Soebroto pernah pula dilatih di KNIL.

Sejak pagi hari tanggal 19 Desember 1948, pasukan udara Belanda secara membabi buta telah mengebom lapangan terbang Maguo (kemudian bernama lapangan terbang Adisutjipto) dan beberapa tempat di Yogyakarta.

Pertahanan Indonesia sangat lemah ketika itu karena sebagian besar pasukan tidak berada di tempat. Jenderal Soedirman sedang sakit. Untung saja pemberontakan Madiun relatif sudah berhasil ditumpas, tinggal lagi sisa pemberontak yang harus diselesaikan.

 
AURI telah melakukan perlawanan, tetapi sia-sia belaka, karena kekuatan musuh jauh lebih unggul.
 
 

Pasukan AURI yang ada di Maguo tidak dalam keadaan siap untuk menangkis serangan mendadak itu. Meriam penangkis serangan udara tidak tersedia. Senjata yang ada hanya berupa beberapa pucuk senapan biasa dan sepucuk senapan mesin kaliber 12,7. Senjata-senjata berat masih dalam perbaikan, sebagian berada di tangan angkatan darat untuk penumpasan PKI di Madiun. 

AURI telah melakukan perlawanan, tetapi sia-sia belaka, karena kekuatan musuh jauh lebih unggul. Pesawat tempur musuh didatangkan dari Semarang. Komandan lapangan musuh adalah Kolonel Van Langen yang pada jam 12.00 mulai bergerak untuk menguasai Yogyakarta.

Dalam keadaan masih terbaring di rumah sakit, Jenderal Soedirman masih sempat mengeluarkan Perintah Kilat yang isinya: 1. Kita telah diserang; 2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguo;

3. Pemerintah Belanda telah membatalkan [secara sepihak] persetujuan gencatan senjata; 4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana untuk menghadapi serangan Belanda. (Lih. Amrin Imran, Saleh A Djamhari, JR Chaniago, PDRI Dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta: Citra Pendidikan, 2003, hlm. 38- 44). 

Dalam kegelisahan yang sangat di samping sedang sakit berat Jenderal Soedirman akhirnya memaksakan diri untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta.

 
Jawaban Soedirman itu menggambarkan watak antikolonialismenya yang menulang sumsum. 
 
 

Inilah suasana yang berlaku di Istana: Soedirman mengajak Presiden Soekarno untuk berangkat ke luar kota. Pagi itu jalan-jalan ke luar kota masih terbuka dan cukup aman. Ajakan yang sama disampaikannya pula kepada beberapa menteri yang ditemuinya. 

Presiden mengatakan bahwa ia akan menunggu keputusan sidang kabinet yang sebentar lagi akan bersidang. Soedirman dimintanya agar beristirahat di rumah dan tidak meninggalkan kota sebab ia masih sakit. Panglima Besar itu tampak kecewa. Kepada Presiden dikatakannya, “Tempat saya yang terbaik adalah di tengah- tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan sekuat tenaga seluruh prajurit.” (Ibid., hlm. 44).

Jawaban Soedirman itu menggambarkan watak antikolonialismenya yang menulang sumsum. Keputusan sidang kabinet seperti sudah dibayangkan Soedirman adalah bahwa pemerintah akan tetap berada dalam kota dengan alasan yang sebenarnya cukup masuk akal juga, yaitu untuk berangkat ke luar kota tentu diperlukan pasukan pengawal sebanyak dua batalyon yang tidak tersedia. (Ibid., hlm. 45-46). 

Sejak peristiwa ini untuk puluhan tahun kemudian berkembanglah pendapat tentang ‘hubungan sipil-militer’ yang kurang harmonis yang mewarnai politik nasional dalam arus sejarah modern Indonesia.

 
Jenderal Soedirman pergi bergerilya bersama para prajurit yang sangat setia selama tujuh bulan di bawah ancaman maut pasukan Belanda.
 
 

Maka terjadilah apa yang terjadi. Jenderal Soedirman pergi bergerilya bersama para prajurit yang sangat setia selama tujuh bulan di bawah ancaman maut pasukan Belanda, sedangkan Soekarno-Hatta dan para menteri ditangkap Belanda untuk kemudian diasingkan ke luar Jawa. 

Ibu kota telah mengangkat bendera putih sebagai tanda menyerah, sesuatu yang menambah parahnya sakit Panglima Besar Soedirman yang kemudian wafat pada 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun, pasca Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) akhir tahun 1949.

Akhirnya, perlu dicatat Perdana Menteri Mohammad Hatta sebelum ditangkap masih sempat mengeluarkan Perintah Harian yang mengandung optimisme: “Mungkin pemerintah di Yogya terkepung dan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya, tetapi persiapan telah diadakan untuk meneruskan Pemerintah Republik Indonesia di Sumatra. Apa juga yang terjadi dengan orang-orang pemerintah yang ada di Yogyakarta, perjuangan diteruskan.” (Ibid., hlm. 48). 

Jenderal Soedirman hanya sempat bernafas selama satu setengah tahun setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB untuk kemudian pergi ke alam barzah menunggu hari perhitungan, entah kapan, hanya Allah saja yang tahu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat