IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Ketika Politik dan Ekonomi tak Seia Sekata

Hal ini tentu lumrah saja bahwa negara-negara di kawasan harus menjalin kerja sama, tidak peduli betapa besar perbedaan di antara mereka.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan boleh saja mengeluarkan pernyataan keras terhadap Israel. Bahkan, selama ini ia dikenal sebagai salah seorang pengkritik kelas wahid terhadap berbagai kebijakan negara kolonial Zionis Israel itu.

Namun, ini di bidang politik. Di bidang ekonomi bisa lain, dapat berbeda. Politik dan ekonomi ternyata tidak selalu berjalan beriringan, tidak senantiasa seia sekata.

Seperti ditulis media al-Sharq al-Awsat, Turki dan Israel akan membahas kerja sama di berbagai bidang, ketika Presiden Israel Isaac Herzog berkunjung ke Ankara bulan depan. Salah satu agenda penting yang akan dibahas adalah ‘membujuk’ Israel agar memperluas jaringan pipa gas ke Eropa melalui wilayah Turki daripada lewat laut ke Yunani kemudian ke negara-negara Eropa.

Sebelum ini pun, gas Israel dari Pantai Ashkelon dialirkan ke Yordania, Suriah, dan Lebanon melalui pipa-pipa yang melewati Mesir. Pipa-pipa ini sering disebut sebagai Pipa Perdamaian atau kadang Pipa Gas Arab, dan tidak jarang pula dinamai Pipa Gas Mesir.

Dan, kini proyek-proyek gas Israel dan pipanya itu sedang dalam perjalanan ke Turki dengan rencana kedatangan presiden negara Yahudi itu ke Ankara sebagai tamu Presiden Erdogan.

 
Dalam bidang politik, tepatnya hubungan diplomatik Turki-Israel sudah berlangsung lama. Bahkan, Turki merupakan negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui negara Israel. 
 
 

Dalam bidang politik, tepatnya hubungan diplomatik Turki-Israel sudah berlangsung lama. Bahkan, Turki merupakan negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui negara Israel. Namun, selama Erdogan berkuasa sejak 2003, hubungan kedua negara mengalami pasang-surut dan panas-dingin, yang lebih sering surut dan dinginnya. 

Turki kerap melontarkan kecaman pada Israel, terutama jika terkait soal konflik di Palestina. Namun, perang pernyataan para pejabat kedua negara tidak lantas menyebabkan pemutusan hubungan diplomatik. Di balik semua itu, ternyata ada kepentingan lain: ekonomi. Sebagai misal, hubungan perdagangan Turki-Israel dari tahun ke tahun terus meningkat, termasuk selama 19 tahun Erdogan berkuasa.

Israel adalah mitra dagang penting bagi Turki, juga sebaliknya bagi Israel. Konon, banyak barang Israel, terutama produk pertanian, yang selama ini diekspor ke negara-negara mayoritas Muslim dicap dengan label Turki.

Kini, terkait dengan gas Israel, Turki tampaknya juga mau mengambil keuntungan. Yakni, mereka menginginkan agar pipa-pipa gas dari negara Yahudi ke Eropa bisa melewati wilayahnya. Hal ini sebagai upaya mengembalikan peran penting Turki bagi Eropa akibat hubungan yang memburuk antara kedua belah pihak --Turki dan sejumlah negara Eropa-- dalam beberapa tahun terakhir ini.

 
Israel adalah mitra dagang penting bagi Turki, juga sebaliknya bagi Israel. Konon, banyak barang Israel, terutama produk pertanian, yang selama ini diekspor ke negara-negara mayoritas Muslim dicap dengan label Turki.
 
 

Selain di bidang ekonomi, Turki juga berusaha mengaktifkan kembali hubungan militernya dengan Israel. Hal ini karena hubungannya dengan Israel yang memburuk selama bertahun-tahun telah menyebabkan kerugian di pihak Ankara.

Banyak kontrak perusahaan dan industri Israel jatuh ke tangan Yunani, yang telah lama menjadi seteru Turki. Begitu pula, lisensi industri militer dan teknis yang dulu diberikan ke perusaan-perusahaan Turki, kini beralih ke Uni Emirat Arab sejak normalisasi hubungan dengan Israel dua tahun lalu.

Khusus mengenai gas, menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman al-Rasyid, kini sudah menjadi senjata geopolitik yang vital bagi banyak negara. Ia tidak kalah pentingnya dengan minyak dan batu bara sebagai penggerak ekonomi. 

Selama beberapa tahun terakhir, Washington menentang Jerman dan negara-negara Uni Eropa lainnya untuk menjalin kesepakatan pembelian gas dengan Rusia. Kini, ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengerahkan 100 ribu tentara ke perbatasan dengan Ukraina dan mengancam untuk menyerangnya, sejumlah negara Eropa pun kelimpungan, bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

 
Khusus mengenai gas, menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman al-Rasyid, kini sudah menjadi senjata geopolitik yang vital bagi banyak negara.
 
 

Sebagian besar pemimpin Eropa menghendaki agar konflik di Ukraina diselesaikan secara damai melalui saluran-saluran diplomasi, tidak dengan perang. Yang justru berkeras adalah Amerika Serikat (AS), sekutu Uni Eropa di NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara).

Abdul Rahman al-Rasyid mengggambarkan kondisi negara-negara Uni Eropa itu seperti terikat kaki dan tangannya. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan serangan militer Rusia ke Ukraina, seandainya hal itu terjadi.

Diperkirakan bila serangan itu berlangsung, harga gas untuk konsumen di Benua Biru itu akan naik hingga 193 persen. Apalagi bila Presiden AS Joe Biden benar-benar mewujudkan ancamannya untuk melumpuhkan senjata utama Putin, pipa gas Nord Stream 2, sumber pasukan gas untuk sekitar 200 juta warga Eropa, separuh dari populasi Federasi (Uni Eropa). 

Nord Stream 2 merupakan jaringan pipa gas yang memungkinkan Jerman untuk secara efektif menggandakan impor gasnya dari Rusia. Pada 2017, Jerman mengimpor 53 miliar meter kubik gas dari Rusia. Jumlah tersebut setara 40 persen dari total konsumsi gas Jerman. Jaringan pipa Nord Stream 2 dirancang untuk menyalurkan hingga 55 miliar meter kubik gas per tahun.

 
Diperkirakan bila serangan itu berlangsung, harga gas untuk konsumen di Benua Biru itu akan naik hingga 193 persen.
 
 

Jerman dan Rusia telah menyepakati jaringan pipa sepanjang 1.200 kilometer, yang akan menghubungkan daerah Ust-Luga dekat Saint Petersburg, Rusia, dengan Greifswald di timur laut Jerman. Pipa-pipa itu akan melintasi Laut Baltik, yang sebagian besar bakal mengikuti rute pipa Nord Stream 1 yang sudah ada sebelumnya. Nord Stream 1 mulai beroperasi pada 2011.

Hal inilah tampaknya yang menyebabkan Jerman ogah total ikut berkonflik dalam krisis di Ukraina. Termasuk menolak permintaan Amerika untuk mengirim persenjataan ke negara bekas pecahan Uni Soviet itu.

Di tengah krisis mengenai Ukraina, Gedung Putih telah meminta Qatar untuk menjadi pemasok gas ke Eropa, bila serangan militer Rusia terjadi. Posisi khusus yang diberikan Washington ini, di satu sisi menjadi sebuah langkah penting bagi Qatar dalam percaturan politik global, tapi di sisi lain justru akan menempatkan negara kecil di Jazirah Arab ini di garis depan dalam ‘Perang Dingin’ Rusia-Amerika.

Rusia menganggap ekspor gas sebagai urusan strategis bagi negaranya. Dalam hal gas ini, Israel tampaknya juga telah mendapatkan keberuntungan. Abdul Rahman al-Rasyid menyebutnya ‘keberuntungan telah tersenyum kepada  Israel’. Produksi gas Israel kini telah melampaui dari sekadar kebutuhannya. Mereka pun memutuskan untuk mengekspor 40 persen dari produksi gasnya, dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari kebijakan politik luar negerinya — senjata geopolitik.

 
Hal ini tentu lumrah saja bahwa negara-negara di kawasan harus menjalin kerja sama, tidak peduli betapa besar perbedaan di antara mereka.
 
 

Kini, terlepas dari kontroversi atau pro dan kontra di parlemen Yordania dan di sejumlah media di Suriah tentang gas Israel, faktanya masyarakat di kedua negara itu memasak dan menghangatkan ruangan dengan gas dari negara Yahudi itu.

Begitu juga, dengan rakyat Lebanon yang listriknya sering biarpet dan banyak petnya. Mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali memanfaatkan gas Israel.

Hal ini tentu lumrah saja bahwa negara-negara di kawasan harus menjalin kerja sama, tidak peduli betapa besar perbedaan di antara mereka. Ini demi memenuhi kebutuhan warganya. Perusahaan Pembangkit Listrik Gaza mengimpor gas dari Perusahaan Listrik Israel. Termasuk membawa bahan bakar dari Tepi Barat, yang mengimpornya dari Israel.

Pada akhirnya, para pemimpin negara harus memikirkan kepentingan rakyatnya. Di banyak negara, terkadang kondisi ini memaksa keputusan politik tidak segaris lurus dengan kebijakan ekonomi. Tidak seia sekata. Plinplan? Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat