Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kemorosotan Keadaban Publik dan Agama

Menjalankan ajaran dan perintah agama dengan benar membuat pelakunya sekaligus mengamalkan Pancasila.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA 

Indonesia, Tanah Air tercinta, dalam dua tahun terakhir bukan hanya dilanda krisis kesehatan, melainkan juga ekonomi, keuangan, beserta peningkatan pengangguran dan kemiskinan.

Di tengah keadaan tak kondusif itu, ada kegaduhan politik terkait KPK, RUU Omnibus (UU Cipta Kerja), dan UU IKN. Kegaduhan terus memenuhi jagat politik dan sosial Tanah Air.

Hanya lima bulan setelah kepemimpinan nasional di bawah Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin dilantik MPR dalam sidang umum 20 Oktober 2019, wabah Covid-19 juga melanda Indonesia. Gelombang Covid-19 naik, lalu turun, dan naik lagi, seperti terjadi secara global.

Tak ada yang tahu pasti kapan penyakit korona ini bakal berakhir. Di tengah semua perkembangan tak menyenangkan, dalam masa lebih panjang sejak awal ‘reformasi’ 1998/1999 sampai sekarang, kemerosotan keadaban publik (public civility) meningkat.

 
Di tengah semua perkembangan tak menyenangkan, dalam masa lebih panjang sejak awal ‘reformasi’ 1998/1999 sampai sekarang, kemerosotan keadaban publik (public civility) meningkat.
 
 

Keadaban publik sudah mencapai tingkat krisis. Kemerosotan keadaban publik bisa disaksikan dalam berbagai segi kehidupan warga Indonesia, yang membuat miris.

Menyaksikan peningkatan krisis keadaban publik, banyak orang di antara warga Indonesia dan pengunjung atau ekspatriat asing bisa bingung—seperti terlihat dalam sebuah video pendek yang viral.

Dia tak mengerti mengapa warga Indonesia yang (pernah) dikenal memiliki keadaban, akhlak mulia, adat istiadat terpuji, dan budi pekerti luhur menjadi tak berkeadaban.

Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index/DCI) 2020 berdasar pada survei Microsoft di 32 negara, menempatkan Indonesia pada peringkat kelima paling tidak sopan alias tak beradab dalam media sosial dan peringkat terbawah di Asia Tenggara.

Warganet Belanda peringkat pertama paling beradab secara global dan Singapura peringkat pertama di Asia Tenggara. Krisis keadaban publik kontradiktif dengan klaim, bangsa Indonesia ‘agamais’ atau ‘Pancasilais’ yang kelima silanya kompatibel dengan agama.

Menjalankan ajaran dan perintah agama dengan benar membuat pelakunya sekaligus mengamalkan Pancasila. Sebaliknya, tidak menjalankan perintah agama berarti sekaligus tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

 
Menjalankan ajaran dan perintah agama dengan benar membuat pelakunya sekaligus mengamalkan Pancasila. Sebaliknya, tidak menjalankan perintah agama berarti sekaligus tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
 
 

Lihat rentetan kejadian yang menyimpang dari semua citra Indonesia itu. Ada Wijayanto Halim, kakek umur 89 tahun yang mengendarai mobil di Jakarta Timur, yang diteriaki maling oleh gerombolan pemotor yang menggebuknya sampai tewas (23 Januari 2022).

Ada pula pengendara sedan Mercy di Bantul DIY yang cekcok dengan juru parkir yang meneriakinya maling; massa pun beringas merusak mobilnya (27 Januari 2022). Banyak pula kasus besar lain yang juga mencerminkan kemerosotan keadaban publik.

Ada fungsionaris institusi berbasis agama atau netral agama seperti lembaga pendidikan—apakah berasrama atau tidak—dan lembaga pengasuhan anak yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak asuhnya, perempuan atau laki-laki.

Fungsionaris lembaga pendidikan dan pengasuhan itu berlaku seperti ‘pagar makan tanaman’. Kasus-kasus semacam itu yang mengorbankan banyak anak di satu lembaga tertentu sering tidak terungkap ke depan publik. Atau sengaja ditutupi pihak tertentu.

Boleh jadi pelecehan seks di lembaga pendidikan dan panti asuhan yang terungkap hanya ibarat ‘puncak dari gunung salju’, yang tersembunyi di bawah permukaan.

Kemerosotan keadaban publik juga terlihat dalam terus merajalelanya korupsi atau lebih lengkap lagi KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di berbagai lapisan masyarakat.

 
Boleh jadi pelecehan seks di lembaga pendidikan dan panti asuhan yang terungkap hanya ibarat ‘puncak dari gunung salju’, yang tersembunyi di bawah permukaan.
 
 

Pelakunya tak memiliki malu pada diri sendiri, manusia lain, malaikat di sebelah kiri-kanannya, juga kepada Tuhan. Padahal, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda al-haya’ syu’batu minal iman—malu itu sebagian cabang iman.

Mereka bukan hanya tak punya rasa malu atau tak peduli keadaban sekaligus seolah tak percaya pada Tuhan, seakan-akan tak beragama. Padahal, hampir bisa dipastikan mereka mengetahui pelanggaran keadaban publik berarti sekaligus penyimpangan dari ajaran agama.

Kemerosotan keadaban publik juga menyangkut bidang kehidupan yang pada dasarnya tindakan ‘kriminalitas ringan’, tetapi sudah dianggap tidak lagi merupakan pelanggaran hukum. Padahal secara substantif, tetap ‘kriminalitas sekaligus pelanggaran keadaban publik.

Kenyataan ini bisa dilihat dari rendahnya disiplin warga, misalnya dalam berlalu lintas. Banyak pengendara cenderung serobot sana serobot sini. Terlihat sekali ketidaksediaan antre, tertib apakah di jalan raya atau di tempat lain.  

Rendahnya keadaban publik, juga terlihat dalam kebiasaan membuang sampah seenaknya di berbagai tempat, seperti jalan raya, sungai, dan tempat atau fasilitas umum lain. Akibatnya, lingkungan hidup Indonesia salah satu yang terkotor di dunia.

Daftar pelanggaran keadaban publik ini bisa sangat panjang. Daftar panjang kemerosotan keadaban publik yang panjang itu sangat memalukan warga dan negara—bangsa Indonesia.

Ke mana dan di mana berbagai regulasi hukum, tradisi sosial budaya, dan ajaran agama yang menekankan pentingnya keadaban publik?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat