Lima pesawat tempur Indonesia-Singapura membentuk formasi di udara saat latihan bersama Elang Indopura di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, bebrapa waktu lalu. | ANTARA

Nasional

DPR Tunggu Penjelasan Soal FIR

Pakar menilai perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia-Singapura merugikan Indonesia.

JAKARTA—Komisi I DPR menunggu penjelasan pemerintah soal perjanjian kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura. Anggota Komisi I DPR, dari Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, mengaku, pihaknya tidak ingin berspekulasi soal isi perjanjian yang memuat persetujuan batas wilayah informasi penerbangan Indonesia-Singapura atau Flight Information Region (FIR) dan ekstradisi tersebut.

“Belum ada laporan dari pemerintah untuk diratifikasi. Sedangkan soal izin latihan militer udara juga akan kami tanyakan, apakah itu mengganggu prinsip kedaulatan wilayah udara," ujarnya, Jumat (28/1).

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Iqbal mengatakan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memang sudah pernah ditandatangani kedua negara pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, DPR tak membahas ratifikasi dengan pertimbangan persoalan keamanan dan pertahanan wilayah NKRI.

"Karena pemerintah Singapura menginginkan perjanjian ekstradisi satu paket dengan permintaan wilayah udara Indonesia untuk bisa dijadikan latihan pesawat udara, itulah mengapa ratifikasi tidak dibahas di parlemen," ujarnya.

Mantan kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto menilai, kesepakatan yang pertahanan yang membolehkan Singapura mengadakan latihan perang bersama negara lain di wilayah Kepulauan Natuna merugikan Indonesia. Soleman menegaskan, perjanjian ini sama artinya dengan melanggar kedaulatan karena memberikan kedaulatan Indonesia bisa digunakan untuk Singapura.

"Pemberian izin kepada Singapura untuk latihan perang itu sangat merugikan Indonesia, bagaimana kedaulatan Indonesia digunakan negara asing untuk latihan perang mereka, termasuk negara lain bagaimana coba logikanya," ujar Soleman.

Ia mencontohkan, jika militer Singapura mengajak militer negara lain untuk berlatih perang di wilayah NKRI tanpa mengajak serta militer Indonesia. “Kalau alasan hanya berbaik-baik untuk latihan, tidak perlu perjanjian boleh menggunakan daerah ini, minta surat saja dikasih," ujarnya.

Sementara, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan, FIR untuk kepentingan keamanan, pertahanan, dan penerbangan Indonesia.

Dengan adanya kesepakatan itu, pesawat tempur TNI AU kini tak perlu meminta izin Singapura apabila melintas atau landing di wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya. "Tidak (tak perlu izin ke Singapura) sekarang dikontrol Jakarta," kata mantan Pangkogabwilhan II ini. 

photo
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kanan) dan Menteri Transportasi Singapura S Iswaran menunjukkan dokumen perjanjian penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia-Singapura di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). - (ANTARA FOTO/HO/Setpres/Agus Suparto/sgd/hp.)

Untungkan Singapura

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia-Singapura merugikan Indonesia. Hikmahanto mengungkap, jika dibandingkan keuntungan yang didapat Indonesia, kerugiannya justru lebih banyak.

Ini karena di dalamnya memuat kesepakatan Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Ia mengatakan, perjanjian serupa juga pernah digagas pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2007 lalu, tetapi mendapat penolakan dari DPR dan masyarakat.

"Ada sih untungnya misalnya tempat-tempat latihan kita akan direhab dan sebagainya, cuma masalahnya kan (perjanjian) yang sekarang kita belum tahu nih, apakah masih sama atau nggak dengan yang 2007, kalau yang 2007 itu sangat merugikan Indonesia," ujar Hikmahanto kepada Republika, Jumat (28/1).

Hikmahanto menjelaskan, mengacu DCA 2007, beberapa hal yang dipersoalkan yakni ketentuan wilayah alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang strategis jika Singapura dibolehkan melakukan latihan perang di Kepulauan Natuna. Menurutnya, selama ini wilayah ALKI merupakan wilayah kapal komersial lalu lalang.

photo
Prajurit TNI-AD bersama Singapores Armed Force (SAF/Angkatan Darat Singapura) meneriakkan yel-yel saat pembukaan Latihan bersama Safkar Indopura ke-30 di Dodiklatpur Rindam V/Brawijaya Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Senin (12/11/2018). - (ANTARA FOTO)

Ia mengatakan, jika pemberian izin latihan militer Singapura berdampak pada penutupan atau terganggunya wilayah ALKI sangat merugikan Indonesia.

"Kalau seperti itu ya jangan, itu merugikan kita, padahal kita ga boleh menutup-nutup begitu, lalu prajurit Singapura misalnya melakukan kejahatan di Indonesia waktu latihan nanti diadilinya di Singapura padahal kejahatannya di Indonesia, harusnya hukum di Indonesia, jadi banyak kerugiannya," kata Hikmahanto.

Karena itu, beberapa hal tersebut mendasari penolakan perjanjian kerja sama pertahanan pada 2007 lalu. Hikmahanto itu berharap, DPR bisa mencermati perjanjian yang digagas Pemerintah Indonesia dengan Singapura.

Ia mengingatan pentingnya kedaulatan wilayah bagi negara. "Meskipun katanya di DPR, peta kontelasinya kuat, ini bukan masalah DPR jumlahnya atau apa, tapi kita sama negara lain tuh harus memperhatikan masalah kedaulatan, kita berharap mudah-mudahan DPR bisa mencermati masalah ini," katanya.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dan Singapura bersepakat untuk bekerjasama di bidang politik, hukum dan keamanan serta kerjasama pertahanan. Salah satunya, Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) yang di dalamnya memuat kesepakatan di mana Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.

photo
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersiap memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Komisi I DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/1/2022). - (Prayogi/Republika.)

Perjanjian kerja sama ini pun dipertanyakan oleh mayoritas anggota Komisi I DPR RI saat rapat bersama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada rapat Kamis (27/1). Sebab, kerja sama yang pernah ditolak DPR pada 2007 lalu itu dinilai sama sekali tidak menguntungkan Indonesia.

Namun, seusai rapat, Menhan Prabowo Subianto menjelaskan kepada wartawan bahwa kesepakatan militer dengan Singapura tidak membahayakan Indonesia. "Sama sekali tidak (membahayakan), saya kira sudah latihan banyak negara kok dan secara tradisional mereka juga latihan di situ. Kita butuh persahabatan dengan Singapura dan kita menganggap Singapura negara sahabat kita," jawab Prabowo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

Prabowo mengatakan, latihan militer dan perang Singapura di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna haruslah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia. Isi kesepakatan yang sama dengan DCA 2007 pada masa pemerintahan Presiden SBY. "Intinya sama, karena memang kita istilahnya ingin mengaktualisasi," ujar Prabowo.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat