IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kala Laut Jadi Kuburan Berjamaah Imigran Arab

Selat Inggris kini daftar kuburan massal imigran gelap Arab.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Ke mana pun Anda mengarahkan pandangan ke Eropa, Anda menemukan orang Arab berwajah sedih yang ingin menerobos perbatasan menuju ‘surga orang-orang kulit putih’. Segala hal mereka tempuh, dari darat, laut, hingga hutan dan pegunungan. Dari Lituania, Bosnia, Hungaria, Yunani, Italia, hingga pesisir Spanyol. Dari yang legal hingga ilegal melalui calo-calo rakus yang hanya peduli fulus. Setiap perjalanan diadang, mereka akan menemukan jalan tikus baru untuk menyusup.”

Kalau bukan keputusasaan di wilayah kita (Arab), semua itu tak terjadi. (Itulah yang menyebabkan) mereka memilih mati daripada kembali ke kampung halaman. Setiap saya bicara dengan mereka (imigran gelap Arab) yang selamat, tidak ada lain yang dikatakan kecuali mereka akan terus berusaha menyusup ke negara tujuan di Eropa hingga berhasil. Tampaknya, bagi mereka, kematian di laut lebih baik daripada mati di negara sendiri karena kehinaan dan kelaparan.”

Tulisan dalam dua paragraf itu bukan dari saya. Saya menukilnya dari kolom di media utama Arab Saudi, al Sharq al Awsat, ditulis Sawsan al Abtah, lalu saya terjemahkan secara bebas.

Al-Abtah merupakan jurnalis, kolomnis, dan profesor sastra Arab di Universitas Lebanon. Dari al-Abtah, kita jadi lebih tahu dunia Arab tak segemerlap yang kita bayangkan. Arab bukan saja Abu Dhabi dan Dubai dengan Burj al Khalifa-nya.

Arab bukan hanya Jeddah yang baru menggelar konser Justin Bieber di Jeddah Corniche Circuit dan Pangeran Muhammad bin Salman yang baru membeli klub sepak bola Inggris, Newcastle, juga bukan hanya penguasa Qatar yang memiliki klub Paris Saint Germain.

Kita diberi tahu al-Abtah, Arab juga nestapa, kefakiran, dan keputusasaan, imigran gelap yang mencoba peruntungan di daratan Eropa dan tenggelam di lautan dimakan ikan.

 
Arab juga nestapa, kefakiran, dan keputusasaan, imigran gelap yang mencoba peruntungan di daratan Eropa dan tenggelam di lautan dimakan ikan.
 
 

Arab juga 27 imigran gelap yang tewas tenggelam saat kapal yang ditumpangi terbalik di Selat Inggris pada 24 November. Mari kita simak jeritan keluarga imigran gelap yang tewas itu.

“Dia mencari kehidupan lebih baik di Inggris, tapi sayangnya malah menjadi makanan binatang laut,” kenang Nuri Mohamed Amin mengenai anak perempuannya, Maryam Amin, penumpang yang tewas tenggelam di Selat Inggris sebulan lalu.

Nuri Mohamed Amin dan keluarganya tinggal di Irak Utara. Tepatnya di Soran, 130 km dari Arbil, ibu kota Provinsi Arbil (Irbil). Sebulan sebelum peristiwa nahas itu, Maryam, 24 tahun, ke Italia kemudian Prancis dengan visa Schengen — visa untuk masuk negara Uni Eropa.

Dari Prancis, Maryam bersama imigran gelap Arab lainnya, menyeberangi laut dengan perahu menuju Inggris, menyusul tunangannya yang lebih dulu di Inggris. Sejak 2018, banyak imigran gelap Arab menempuh cara seperti Maryam menuju Inggris.

 
Dia mencari kehidupan lebih baik di Inggris, tapi sayangnya malah menjadi makanan binatang laut
 
 

Banyak calo ilegal menawarkan jasa penyeberangan. “Saya tidak tahu Maryam, putri saya, menggunakan jasa calo ilegal,” tutur Nuri Mohamed Amin kepada Aljazirah. Kesedihan serupa dialami Rizgar Hussein, juga dari Irak Utara.

Empat anggota keluarganya termasuk dalam 27 penumpang yang tewas, yakni istrinya, Kajal Hussein (45), putri sulungnya, Hadia (22), putranya bernama Mobin (16), serta putri bungsunya Hesty (7).

Semula Rizgar tak ingin keluarganya ke Eropa karena terancam kehilangan pekerjaan sebagai polisi jika rencana itu gagal. Namun, keluarga Rizgar berkeras mencoba ke Inggris demi kehidupan lebih baik. Rizgar berjanji menyusul jika upaya itu berhasil.

“Mereka ingin pergi dari sini. Semua orang menginginkan kehidupan yang baik. Sedangkan di sini (Irak), tak ada yang merasa baik-baik saja, coba saja tanyakan kepada siapa pun yang berusia tujuh hingga delapan puluh tahun,” ujar Rizgar dikutip BBC Arabic News.

 
Mereka ingin pergi dari sini. Semua orang menginginkan kehidupan yang baik. Sedangkan di sini (Irak), tak ada yang merasa baik-baik saja
 
 

Menurut al-Abtah, Selat Inggris kini daftar kuburan massal imigran gelap Arab. Sebelumnya, Laut Mediterania yang menelan sekira 17 ribu mayat dalam tujuh tahun terakhir. Yang tak terhitung bisa lebih besar, termasuk yang tenggelam di Samudra Atlantik.

Selama ini Irak, Yaman, Suriah, Tunisia, dan Libya tercatat sebagai pengekspor imigran gelap ke negara Barat. Kini Lebanon menyusul, akibat kondisinya yang terus memburuk. Seorang imigran Lebanon yang selamat menceritakan pengalamannya.

 
Ia pernah berlayar dengan perahu nelayan kecil sarat lusinan penumpang yang untuk duduk pun sulit, apalagi tidur.
 
 

Ia pernah berlayar dengan perahu nelayan kecil sarat lusinan penumpang yang untuk duduk pun sulit, apalagi tidur. Saat perahu itu tampak tak dapat mencapai Siprus, dengan gampangnya si nakhoda mengarahkannya ke pantai Italia.

Menurut al-Abtah, kemiskinan tak cukup untuk memahami migrasi orang Arab ke Eropa. “Ketika seseorang mencoba tujuh kali dan gagal, berarti ia telah membayar minimal 21 ribu dolar, sebelum sampai ke pantai Eropa.”

Al-Abtah menuturkan, saat muncul musim semi Arab lebih dari 10 tahun lalu di Tunisia dan menjalar ke negara Arab lain, muncul harapan di kalangan anak muda Arab tentang kehidupan lebih baik.

Sayangnya, survei menunjukkan, sejak itu pula banyak negara dilingkupi ketidakpastian akibat perang, konflik, perselisihan, pemerintahan yang rapuh, intervensi asing. Harapan kehidupan lebih baik terutama bagi anak muda Arab, sirna.

Pertanyaannya, mengapa mereka memilih berimigrasi ke Eropa ketimbang negara Arab kaya? Saya pun menjawab, tanyakan kepada rumput yang bergoyang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat