Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Misi Penyelamatan Buku

Sejumlah pekerjaan rumah menanti, demi menyelamatkan perbukuan kita.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Saya masih mengingat perasaan berkecamuk di hati saat bertemu dengannya. Seorang penulis yang dengan mata gemintang menceritakan beberapa karyanya yang diterbitkan. “Di sini, ada larangan menjual buku secara murah!”

Kabar baik bagi penulis. Meski, ternyata ini bukan situasi yang mewakili potret di Tanah Air kita. Walau berdarah Indonesia, telah lama rekan penulis tersebut menjadi penduduk tetap Belanda.

Menurut dia, di sana terdapat aturan penetapan harga buku yang akan  terbit. “Ini cara pemerintah mendukung penulis. Dengan kebijakan itu, kesejahteraan penulis dijaga dan buku dihormati.”

Luar biasa.

Terbayang pemandangan begitu banyak tumpukan buku diobral di Indonesia International Book Fair beberapa waktu lalu. Fenomena rutin hampir  setiap  pameran buku. Situasi  yang membahagiakan pemburu buku murah  meski perih bagi penulis.

 
Sepintas mungkin masih terdengar aneh. Kenapa pemerintah harus melarang pengusaha memberi diskon ongkos kirim, khususnya lagi untuk buku?  
 
 

Dan hari ini (kemarin), sebuah tajuk di surat kabar terasa mengusik. Rencana pemerintah menentukan ongkir minimal pengiriman buku, pada saat banyak penjual buku melalui online memberikan diskon termasuk bebas ongkir. 

Melalui kebijakan penetapan harga minimal ongkir ini, toko buku online tak bisa lagi memberikan ongkir lebih murah dari yang ditetapkan.

Sepintas mungkin masih terdengar aneh. Kenapa pemerintah harus melarang pengusaha memberi diskon ongkos kirim, khususnya lagi untuk buku?  

Ternyata pemberlakuan ongkir murah atau bebas ongkir untuk  pengiriman buku, menyebabkan makin banyak pembaca  tak  merasa berkepentingan mengunjungi toko buku sebab membeli buku secara online jauh lebih menguntungkan.  

Kebijakan diberlakukannya standar ongkir akan membuat marketplace tidak bisa menjual buku dengan murah, minimal selisih harga makin mendekati toko buku. Jika ini tercapai, toko buku setempat lebih memiliki daya untuk bersaing sehat.

Sungguh kabar baik. Namun, wacana itu bukan inisiatif penggerak kebijakan di Indonesia melainkan Prancis, merespons nasib lebih dari 3.000 toko buku. Kebijakan ini untuk menyelamatkan budaya baca, sekaligus karyawan toko buku dan ujungnya, ekonomi negara.  

 
Sekitar 58,2 persen penerbit buku kita rugi lebih dari 50 persen  pada 2020  sehingga kian menggunung buku terpaksa dijual supermurah.
 
 

Tergambar keberpihakan pemerintah pada buku dan budaya baca. Di sekolah, berjudul-judul buku menjadi bacaan wajib. Selain menumbuhsuburkan  minat baca, juga menyelamatkan industri penerbitan.

Lalu bagaimana situasi perbukuan di Tanah Air? Sekitar 58,2 persen penerbit buku kita rugi lebih dari 50 persen pada 2020 sehingga kian menggunung buku terpaksa dijual supermurah. Sekadar balik ongkos cetak, bahkan tak jarang lebih minim dari biaya yang dikeluarkan.

Merosotnya penjualan buku fisik sejatinya terjadi di semua negara. Di Inggris, penjualan buku selama satu dekade terakhir menurun drastis. Pada 2009, sebanyak 330 juta buku terjual, pada 2019 hanya 190 juta buku yang terserap.

Di AS, penjualan buku digital meningkat 37 persen atau lebih dari 30 persen per tahun, seiring tersungkurnya penjualan buku fisik. Perbedaannya, bagaimana pemerintah berjuang mengatasi situasi kian memburuk sejak korona mewabah.

Seharusnya, buku dijual lebih terjangkau, teriak sebagian pembaca. Namun, seorang pengurus IKAPI pernah curhat soal bagaimana sebuah buku di Indonesia harus melewati lebih dari 30 macam pajak hingga mustahil dijual murah.

Belum lagi nasib penulisnya, banyak hanya mengantongi sedikit royalti, itu pun masih dikenakan potongan pajak yang tergolong tinggi. Dalam keadaan penulis dan penerbit berjibaku, masalah lain menghantui dari pembajak buku yang sejak lama bebas merdeka.

Mereka aktif memasarkan melalui media sosial pribadi, kemudian merambah marketplace besar. Sesuatu yang seharusnya dengan kesungguhan, bisa disiasati baik oleh pengelola marketplace dan pemangku kebijakan.

Para penggiat buku bajakan memberikan potongan 80 persen lebih murah dari harga normal. Menampilkan foto cover buku asli pada tampilan,  meski mengirimkan buku bajakan kepada para pemesan.

Harus diakui, betapa masih teramat minim  keberpihakan pada buku dan penulis di negeri ini. Tantangan kini bertambah dengan maraknya platform kepenulisan yang makin menyudutkan posisi penerbit.

 
Buku-buku digital yang diterbitkan berbagai platform kepenulisan, belum mampu mengimbangi kualitas buku cetak yang melalui seleksi berjenjang di penerbit. 
 
 

Sebenarnya, tak masalah apakah buku fisik atau digital yang laris di pasaran. Keduanya tetap meningkatkan minat baca dan menyejahterakan penulis.

Novel terbaru saya, Nikah Tanpa Pacaran, versi digitalnya lebih dulu rilis di aplikasi KBM App. Peluncuran bukunya, baru pekan lalu oleh Penerbit Republika.

Meski demikian, ada sejumlah catatan penting terkait penerbitan naskah melalui aplikasi. Buku-buku digital yang diterbitkan berbagai platform kepenulisan, belum mampu mengimbangi kualitas buku cetak yang melalui seleksi berjenjang di penerbit. 

Sangat jauh secara mutu bila dibandingkan, secara kecepatan memperbarui naskah lebih penting ketika berkarya di platform. Bila hal ini dibiarkan tanpa perbaikan, pencinta buku di masa depan semakin minim asupan bacaan berkualitas.

Sejumlah pekerjaan rumah menanti, sebagian sudah terlalu lama menanti tangan-tangan serius yang bergerak secara nyata, demi menyelamatkan perbukuan kita.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat