Anak imigran dari Timur Tengah, di perbatasan Belarusia-Polandia tak jauh dari Grodno Grodno, Belarus, Selasa (9/11/2021). | Oksana Manchuk/BelTA via AP

Kisah Mancanegara

Tangis Szczęsnowicz di Tapal Batas Belarusia dan Polandia

Para migran kelaparan dan kelelahan karena terjebak saat mencoba masuk ke Polandia dari Belarusia.

OLEh RIZKI JARAMAYA, MEILIZA LAVEDA

Maciej Szczęsnowicz menangis. Ketua komunitas Muslim di Desa Bohoniki, Polandia, ini tak kuat saat menyaksikan melihat para migran di perbatasan untuk pertama kalinya. Ia mengatakan, para migran kelaparan dan kelelahan karena terjebak saat mencoba masuk ke Polandia dari Belarusia.

Szczęsnowicz melihat orang-orang sangat lelah sehingga mereka tidak kuat untuk berdiri. Mereka juga sangat kelaparan. Beberapa dari mereka memetik jamur dari tanah untuk dimakan. Bahkan, ketika diberi apel, mereka juga memakan bijinya. Tapi menurut Szczęsnowicz, hal yang paling menyakitkan adalah mendengar suara penderitaan mereka.

“Itu suara tangisan dan jeritan anak-anak. Itu hal terburuk," ujar Szczęsnowicz.

Szczęsnowicz merupakan kepala komunitas Muslim di Bohoniki. Bohoniki adalah tempat tinggal minoritas kecil yang merupakan keturunan dari populasi Muslim Tatar. Mereka menetap di daerah tersebut sekitar 600 tahun yang lalu.

Kini, Szczęsnowicz tak tahan melihat penderitaan para migran di perbatasan. Dia mulai bekerja mengumpulkan pakaian dan menyiapkan makanan untuk para migran. Peningkatan kehadiran pasukan keamanan di perbatasan membuat Szczęsnowicz juga tergerak untuk membantu memberi makan kepada mereka, dan petugas lain yang melindungi negara.

photo
Anak imigran dari Timur Tengah, di perbatasan Belarusia-Polandia tak jauh dari Grodno Grodno, Belarus, Selasa (9/11/2021). - (Leonid Shcheglov/BelTA via AP)

The Associated Press mengunjungi Szczęsnowicz pada Sabtu (13/11) di sebuah restoran. Ketika itu, Szczęsnowicz dan sukarelawan lainnya sedang menyiapkan panci besar berisi sup ayam dan sayuran. Makanan itu akan dibagikan kepada tentara dan penjaga lain di perbatasan. Tetapi dia berharap, makanan juga bisa didistribusikan kepada para migran.

Zona perbatasan terlarang bagi masyarakat umum karena diberlakukan keadaan darurat sejak awal September. Namun, Szczęsnowicz memiliki akses mencapai perbatasan untuk mengirimkan makanan. Akses ini sangat spesial karena tidak dapat dimiliki oleh orang lain.

Ketika mengirimkan makanan, Szczęsnowicz melihat pemandangan penderitaan orang-orang yang berada tepat di seberang pagar kawat berduri di Belarus. Selama berbulan-bulan, ribuan migran telah berupaya untuk menyelinap melalui perbatasan timur Polandia dari Belarus. Mereka berharap bisa mencapai Eropa Barat.

Bagi politisi Polandia dan Uni Eropa, kedatangan para migran, yang sebagian besar adalah Muslim dari Timur Tengah, dipandang sebagai masalah dan harus dihentikan. Tetapi sebagian besar orang Polandia menilai, para migran tersebut membutuhkan uluran tangan. Mereka mengerahkan berbagai macam cara untuk membantu para migran.

photo
Tentara Polandia berjaga-jaga di perbatasan Belarusia-Polandia tak jauh dari Grodno Grodno, Belarus, Selasa (9/11/2021). - (Leonid Shcheglov/BelTA via AP)

Petugas medis telah dikerahkan ke hutan untuk memberikan bantuan perawatan kepada para migran yang berhasil lolos. Para migran tersebut mengalami sakit atau terluka. 

Sementara itu, orang-orang di seluruh Polandia telah menyumbangkan uang kepada organisasi kemanusiaan. Mereka berharap, organisasi-organisasi itu mendistribuskan makanan dan bantuan lainnya kepada para migran di hutan perbatasan.

Sebagian besar sukarelawan yang bergerak membantu para migran beragama Katolik Roma. Szczęsnowicz mengatakan, identitas Muslimnya adalah urusan kedua dalam hal membantu para migran.

“Kami seharusnya membantu semua orang yang memasuki perbatasan Polandia, karena mereka manusia,” kata Szczęsnowicz.

Situasi di perbatasan itu bisa mematikan. Sejauh ini sembilan migran dilaporkan telah tewas. Risiko semakin  meningkat saat musim dingin mendekat. Szczęsnowicz khawatir akan ada lebih banyak kematian di perbatasan ketika musim dingin.

Nasib pengungsi

Salah seorang pengungsi Suriah yang terdampar Nidal Ibrahim (37 tahun) tengah sekarat. Berasal dari Aleppo, dia bersama Muhammad dan keempat anak Muhammad, datang ke perbatasan Belarusia bersama pengungsi lain.

Dia berharap bisa mencapai Eropa, tetapi takdir berkata lain. Dia harus hidup di hutan tanpa air, minum dari rawa-rawa, dan bertahan tanpa makanan dengan suhu minus 5 derajat celsius.

photo
Pengungsi dari Timur Tengah di perbatasan Belarusia-Polandia tak jauh dari Grodno Grodno, Belarus, Selasa (9/11/2021). - (Czarek Sololowski/AP)

“Saya harus hidup karena saya memiliki tiga anak yang tinggal bersama istri saya di Turki. Demi mereka, saya harus bertahan. Saya sangat mencintai dan merindukan mereka,” kata Ibrahim.

Ibrahim mengaku suhu yang sangat dingin membuat ia sering kali tidak istirahat. Tanpa tempat berteduh, anak-anak Muhammad juga tidak bisa memejamkan mata. Saking parahnya, Ibrahim tidak bisa menggambarkan kondisi mereka. “Mereka lapar dan tidak bisa tidur. Saya hanya berharap ada seseorang yang mengasihani,” ujar dia.

Sebelum perang di Suriah, Ibrahim bekerja sebagai guru dan kepala sekolah dasar. Dia dan istrinya meninggalkan Suriah setelah kehilangan beberapa kerabatnya. Bagi dia, perang telah menghancurkan mimpi-mimpi yang telah ia bangun.

Dilansir Aljazirah, Selasa (16/11), Ibrahim masih ingat betul saat pertama kali melarikan diri dari Suriah. Bersama istrinya, ia mencoba melintasi perbatasan Turki. Setelah tinggal di perbatasan selama 24 hari, mereka bisa memasuki Turki pada 9 Oktober 2014.

“Saya tinggal di Turki bersama keluarga saya untuk waktu yang lama, tetapi situasi keuangan saya memburuk setelah mereka memecat saya dari pekerjaan,” ucap dia.

Di Turki, Ibrahim bekerja di pertanian dan mendapat upah yang rendah. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke Libya dan menyebrangi laut menuju Eropa. Sayangnya, perjalanan Ibrahim tidak semulus yang ia rencanakan. Dia tidak bisa menuju Eropa karena kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di Libya.

photo
Pengungsi dari Timur Tengah di perbatasan Belarusia-Polandia tak jauh dari Grodno Grodno, Belarus, Selasa (9/11/2021). - (Picture Aliance/AP)

Kemudian ia mendapat kabar ada rute menuju Eropa dari Belarusia. Berbekal keyakin, ia mencoba mengikuti rute tersebut. Dia membeli visa dan tiket pesawat ke Belarusia seharga 800 dolar AS dan tambahan biaya untuk memasuki Polandia 500 dolar AS. Namun, ketika tiba di perbatasan Polandia, mimpi buruk menimpa Ibrahim.

“Di perbatasan, saya melihat orang mati kelaparan, kehausan, dan kedinginan, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sekarang melarikan diri dari kematian,” tuturnya.

Sekarang, Ibrahim terjebak bersama pengungsi lain di hutan perbatasan Belarusia dan Polandia. Pihak berwenang Polandia telah mengambil kartu SIM dan tidak ada tempat yang bisa ia tuju. Luka dan kesakitan telah menjadi makanan sehari-hari.

“Hari ini, saya tidak tidur karena suhunya terlalu dingin. Akan tetapi, kemarin saya menemukan tas dengan sedikit roti dan susu. Saya berterima kasih kepada Tuhan,” tuturnya.

Ibrahim hanya bisa memikirkan anak-anaknya dan cara untuk tetap bertahan. “Tolong, bantu saya untuk hidup. Tolong, seseorang, selamatkan kami,” tambahnya. 

Akar krisis

Penyebab krisis ini dimulai Agustus 2020 ketika Belarusia diguncang unjuk rasa massal memprotes hasil pemilu yang dimenangkan Presiden Alexander Lukashenko untuk keenam kalinya. Oposisi dan negara-negara Barat menolak hasil tersebut karena yakin diktator itu mencurangi pemilihan.

Pihak berwenang Belarusia merespon demonstrasi dengan penindakan kejam. Lebih dari 35 ribu orang ditangkap dan ribuan lainnya dipukuli polisi.

photo
Presiden Belarusia Alexander Lukashenko (kiri). - (AP/BelTA)

Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) menanggapi brutalitas itu dengan memberikan sanksi pada pemerintah Lukashenko. Sanksi semakin diperkuat setelah bulan Mei lalu Belarusia mengalihkan pesawat dari Yunani ke Lithuania untuk mendarat di Minsk demi menangkap jurnalis Raman Pratasevich.

Uni Eropa mengatakan tindakan tersebut merupakan pembajakan di udara dan melarang maskapai Belarusia terbang di Eropa dan memotong impor utama negara itu seperti produk-produk petroleum dan kalium karbonat, bahan pupuk.

Lukashenko yang geram mengatakan tidak lagi mematuhi kesepakatan menahan imigrasi ilegal. Menurutnya sanksi-sanksi Uni Eropa menghilangkan pemasukan yang digunakan menahan gelombang imigran. Pesawat-pesawat imigran dari Irak, Suriah, dan negara-negara lain tiba di Belarusia. Mereka segera diarahkan ke perbatasan Polandia, Lithuania, dan Latvia.

Salah satu oposisi pemerintah Pavel Latushka mengatakan, agen pariwisata yang dikendalikan negara terlibat dalam menawarkan visa untuk membantu imigran dan membawa mereka ke perbatasan.

photo
Warga membawa banner menentang pemerintahan Presiden Belarusia Alexander Lukashenko di Warsawa, Polandia, Ahad (8/8/2021). - (AP/Czarek Sokolowski)

Uni Eropa menuduh Lukashenko menggunakan imigran sebagai pion dalam 'serangan hybrid' terhadap lembaga 27 negara anggota itu. Lukashenko membantah mendorong gelombang imigran dan mengatakan Uni Eropa melanggar hak imigran karena menolak mereka masuk dengan aman.

Selama musim panas Lithuania menerapkan masa darurat untuk menghadapi sekelompok kecil imigran. Serta memperkuat perbatasan mereka dengan Belarusia. Negara itu mendirikan tenda-tenda untuk mengakomodasi semakin banyaknya jumlah imigran.

Pekan ini kelompok besar imigran berkumpul di perbatasan Polandia dan pihak berwenang di Warsawa mengirimkan polisi anti huru-hara dan pasukan lain untuk memperkuat keamanan perbatasan. Pihak berwenang Polandia memperkirakan sekitar 3.000 hingga 4.000 orang di sana.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat