Warga Palestina berkumpul menanti diijinkan menyebarangi pagar pembatas di Desa Nilin, Ramallah, Tepi Barat, Ahad (7/11/2021). | AP/Nasser Nasser

Internasional

Tembok Pembatas Membentuk Hidup Mereka

Tembok ini akan berdiri selamanya di sini karena Israel tak ingin perdamaian

OLEH KAMRAN DIKARMA

Tiga hari dalam sepekan, para petani Palestina di Desa Qaffin, Tepi Barat, berbaris di depan sebuah gerbang kuning. Mereka hendak mengunjungi kebunnya yang terletak di balik tembok pemisah Israel.

Namun, sebelum melintas, mereka satu per satu harus menunjukkan surat izin militer ke tentara Israel yang berjaga. Kisah ini diungkap Associated Press edisi Senin (8/11).

Hampir dua dekade lalu, Israel membangun tembok pembatas yang mengundang kontroversi dunia. Israel beralasan, tembok itu untuk melindungi mereka dari serangan bom bunuh diri.

Tembok itu dibangun di dalam Tepi Barat, salah satu wilayah yang diharapkan menjadi Negara Palestina kelak. Tembok yang sudah rampung 85 persen itu mencaplok sekitar 10 persen Tepi Barat.

Bagi Palestina, itu aksi perebutan tanah secara ilegal. Pada 2004, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan tembok itu “bertentangan dengan hukum internasional”.

Di Yerusalem dan Bethlehem, Tepi Barat, tembok itu menjulang beberapa meter. Di puncaknya dipasangi kawat berduri dan kamera. Di wilayah perkotaan, pembatas itu berupa kawat berduri dan jalan milik militer yang tertutup.

Maka, puluhan ribu warga Palestina harus melewati pos pemeriksaan Israel setiap pagi untuk bekerja di Israel. Ini juga berlaku bagi para petani di Qaffin dan desa-desa lain. Warga Palestina ini harus meminta izin Israel untuk masuk ke ladang mereka sendiri.

photo
Bagian tembok pemisah di Desa Nilin, Ramallah, Tepi Barat, Ahad (7/11/2021). - (AP/Nasser Nasser)

Ibrahim Ammar adalah salah satu petani Palestina. Dulu, dia menanam beraneka buah dan sayur, termasuk semangka serta jagung. Namun sekarang, ia hanya menanam zaitun dan almond. Alasannya, dua tanaman tersebut hanya memerlukan sedikit perhatian atau perawatan.

Pembatasan akses oleh Israel membuat Ammar tak bisa menyemai beraneka ragam sayur atau tanaman lain. Sebab dalam sepekan, dia hanya diizinkan mengunjungi kebunnya tiga kali, termasuk saat panen.

 “Ayah saya, kakek saya, mereka sangat bergantung pada tanah. Sekarang saya tidak bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anak saya,” kata Ammar. Untuk menambal pendapatan yang tak seberapa, Ammar memutuskan bekerja sampingan sebagai sopir taksi.

Berbeda dengan Ammar, petani Palestina lainnya, Taysir Harashe, mengaku sudah frustrasi dengan penerapan pembatasan akses oleh Israel.  

“Tiga hari tidak cukup untuk merawat tanah. Tanah ini semakin buruk,” ujarnya. Menyiasati kesulitannya, Harashe memutuskan bercocok tanah dengan memanfaatkan bagian atap rumahnya.

PBB memperkirakan, sekitar 150 komunitas Palestina menghadapi kesulitan yang sama dengan Ammar dan Harashe. HaMoked, sebuah kelompok hak asasi Israel yang membantu warga Palestina memperoleh izin akses mengatakan, kondisi para petani Palestina kian memburuk.

photo
Warga Palestina menanti diijinkan menyebarangi pagar pembatas di Desa Nilin, Ramallah, Tepi Barat, Ahad (7/11/2021). - (AP/Nasser Nasser)

Berdasarkan data yang mereka peroleh dari militer, 73 persen dari pengajuan izin akes yang dikirim warga Palestina, ditolak pada 2020. Angka itu meningkat tajam jika dibandingkan 2014, yakni 29 persen.

“Tidak ada pembenaran dengan alasan keamanan,” kata Direktur HaMoked Jessica Montell di hadapan Mahkamah Agung Israel. Menurutnya, Israel bahkan memutuskan, lahan warga Palestina yang kecil tidak layak mendapat izin menjadi lahan pertanian.

“(Dulu) pagar itu dibangun hanya untuk kebutuhan keamanan saja,” kata Netzah Mashiah, pensiunan kolonel Israel yang mengawasi pembangunan tembok pembatas di Tepi Barat hingga 2008.

Namun, ia mengakui, tembok itu mungkin akan menjadi perbatasan wilayah pada masa depan. “Tapi itu bukan tujuan awal dari pagar ini,” ujarnya.

Di Bethlehem, Abu Yamil yang kini berusia 70 tahun mengenang masa lalu. Puluhan tahun lalu, katanya, warga Palestina bisa bepergian dengan bebas.

“Itu memang wilayah pendudukan, namun kami hidup bersama. Saya bisa menyetir mobil ke Tel Aviv,” kenangnya.

“Tembok ini akan berdiri selamanya di sini karena mereka tak ingin perdamaian,” kata Abu Yamil kepada pembangun tembok. “Israel menginginkan tanah itu.” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat