Haji Ismail Mundu. | DOK KEMENDIKBUD

Mujadid

Haji Ismail Mundu, Teladan Masyarakat Kubu

Haji Ismail Mundu pernah menuntut ilmu-ilmu agama di Tanah Suci selama beberapa tahun.

Bagi kaum Muslimin di Kalimantan Barat—khususnya daerah Teluk Pakedai, Kubu Raya, dan Pontianak—tokoh kelahiran tahun 1870 M ini barangkali tidaklah asing. Bahkan, nama besarnya tidak hanya berkibar di provinsi tersebut, melainkan juga Sulawesi Selatan (Sulsel). Orang-orang menghormatinya lantaran keluhuran budi pekerti dan juga keluasan ilmu-ilmu agama yang dimilikinya.

Haji Ismail Mundu, demikian namanya. Putra pasangan Daeng Abdul Karim alias Daeng Talengka dan Zahro alias Wak Soro itu berjasa besar dalam menyebarkan syiar Islam. Dari ayahandanya, ia mendapatkan nasab kalangan bangsawan Sulawesi. Adapun ibundanya berasal dari Kalimantan Barat.

Ketokohannya mulai mengemuka setidaknya sejak awal abad ke-20. Pada 1907, Ismail Mundu diangkat sebagai mufti Kerajaan Kubu, sebuah kesultanan Islam yang pernah berkuasa di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Di Teluk Pakedai, Kubu Raya, dirinya turut membangun Masjid Nasrullah, yang juga dikenal sebagai Masjid Batu.

Selain aktif dalam berdakwah, Ismail juga sangat produktif menulis. Ia memiliki sejumlah karya. Di antaranya adalah kitab Mukhtashar Aqaid. Buku yang rampung ditulis pada 18 Rajab 1351 H itu berisi tentang pelajaran akidah untuk anak-anak.

Karya lainnya ialah Jadwal Hukman Nikah Seperti tampak pada judulnya, buku tersebut mengulas topik hukum pernikahan dalam syariat Islam. Termasuk di dalamnya, pembahasan mengenai talak, rujuk, fasakh, iddah, dan lain-lain. Kitab ini selesai ditulis pada 15 Muharram 1355 H.

Karya ini terbilang istimewa. Sebab, beberapa ulama Melayu turut mengisi kalam pengantar dan pendahuluan di dalamnya. Mukadimah ditulis oleh kewarisan mufti Ismail Mundu, Muhammad Ahmad az-Zawawi. Pengantarnya dibuat oleh mufti Kerajaan Johor, Alwi bin Thahir bin 'Abdullah al-Haddad al-'Alawi. Ada pula testimoni dari ketua ikatan kadi Singapura, 'Abbas bin Muhammad Thaha.

photo
ILUSTRASI Haji Ismail Mundu ikut membangun sebuah masjid di Teluk Pakedai, Kubu Raya, Kalimantan Barat. - (dok repro buku Guru Haji Ismail Mundu Ulama L)

Masa muda

Sejak kecil, potensi Ismail untuk menjadi seorang ulama besar sudah terlihat jelas. Selama tinggal di Sulawesi, dirinya dikenal sebagai pribadi yang gemar belajar. Dukungan dari kedua orang tuanya juga berperan besar dalam membentuk wataknya itu.

Ismail kecil belajar kepada sejumlah guru. Di antara para ustaz yang menjadi tempatnya menuntut ilmu-ilmu agama ialah KH Muhammad bin Haji Ali. Darinya, ia belajar membaca dan menghafalkan Alquran. Dalam waktu relatif singkat, pemuda ini berhasil menjadi seorang hafiz dengan kemampuan qiraat yang sangat baik.

Di samping itu, ia juga belajar kepada Haji Abdul Ibnu Salam di Kakap. Pontianak. Ulama yang juga dikenal dengan nama Haji Abdullah Bilawa terus menjadi gurunya hingga ajal menjemput. Selanjutnya, Islam juga berguru kepada Tuan Umar Sumbawa dan Makabro alias Puang Lompo, yang berasal dari suku Bugis.

Dari Kalimantan, Ismail muda meneruskan rihlah intelektualnya ke Tanah Suci. Waktu itu, usianya masih belia, yakni 20 tahun. Sesampainya di Makkah al-Mukarramah, dirinya ikut menunaikan ibadah haji. Usai musim haji, pemuda ini mengikuti berbagai macam halakah keilmuan, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah.

Di antara guru-gurunya selama di perantauan ialah Sayyid Abdullah Az-Zawawi, seorang mufti Makkah kala itu. Dalam masa belajarnya itu, ia mendapatkan jodoh, yakni Ruzlan. Perempuan itu berasal dari suku Habsyi. Namun, Ruzlan beberapa tahun kemudian wafat tanpa meninggalkan keturunan. Ismail kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan dari Pulau Sarasan, yakni Hajjah Aisyah.

Setelah puas menuntut ilmu di Tanah Suci, Haji Ismail Mundu dan istrinya kembali ke Indonesia. Pertama-tama, mereka berlabuh di Sulsul. Untuk beberapa waktu, ulama tersebut menyempatkan diri berguru kepada Tuan Umar Sumbawa di Tanah Bugis.

Qadarullah, Hj Aisyah berpulang ke rahmatullah. Seperti almarhumah Ruzlan, wanita ini wafat tanpa meninggalkan keturunan. Sesudah itu, Haji Ismail kembali ke Pontianak. Di desa setempat, Sungai Kakap, dirinya menikah dengan sepupunya yang bernama Hafifa binti Haji Sema’ila.

Dari pernikahan tersebut barulah Haji Ismail dikaruniai tiga orang anak. Dua orang di antaranya adalah laki-laki, yakni Ambo’ Saro dan Ambo’ Sulo. Seorang lagi merupakan perempuan yang bernama Fatma. Saat melahirkan putranya yang ketiga, Hafifa menghembuskan napas terakhir. Ternyata, ujian tidak berhenti di sana. Seluruh anak dai tersebut kemudian wafat dalam usia yang relatif muda. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dirinya tidak memiliki keturunan.

Bagaimanapun, ia tetap meyakini bahwa pernikahan adalah anjuran Islam. Dengan menikah, seseorang telah menyempurnakan separuh agamanya. Karena itu, Haji Ismail ingin berumah tangga lagi.

Mubaligh ini kemudian menikah dengan seorang wanita yang berkebangsaan Arab dari suku Natto. Namanya, Hajjah Asmah binti Sayyid Abdul Kadir. Pasangan suami-istri ini kemudian bertolak ke Tanah Suci untuk menunaikan haji. Kesempatan itu juga dimanfaatkan Haji Ismail untuk melanjutkan pelajarannya dengan Sayyid az-Zawawi.

Pada 1904 M, ia kembali ke Tanah Air. Di Desa Teluk Pakedai, dirinya berkiprah sebagai penyebar Islam. Waktu itu, daerah tersebut masuk wilayah Kerajaan Kubu Pontianak. Kuatnya tradisi menjadi tantangan tersendiri untuk berdakwah kepada masyarakat setempat.

Baidhillah Riyadhi dalam buku Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris dari Kubu (2011) menukil keterangan dari salah seorang murid tokoh tersebut yang bernama Haji Arsyad. Menurutnya, daerah Teluk Pakedai sebelum kedatangan Syekh Haji Ismail memiliki kebiasaan yang cukup kontroversial.

Tradisi itu ialah menguji setiap tamu atau pendatang yang baru tibadi Teluk Pakedai. Cara menguji ketinggian ilmunya melalui perkelahian. Apabila kalah, sang tamu tidak diperkenankan tinggal di daerah tersebut. Bahkan, kadang kala pendatang ini terbunuh di medan pengujian—yang disebut masyarakat lokal sebagai Tanjung Salai.

Kata salai berarti ‘panggang.’ Artian itu dalam maksud harfiah. Yakni, jenazah orang yang kalah atau terbunuh di medan pengujian akan dipanggang. Riyadhi mengatakan, tradisi tersebut dilakukan orang-orang Dayak Laut.

Begitulah nasibnya bila pendatang didera kekalahan. Apabila menang, ia akan diakui memiliki ilmu yang tinggi. Oleh karena itu, dirinya tidak hanya mendapatkan penghormatan yang baik dari masyarakat, tetapi juga dipersilakan tinggal di Teluk Pakedai, bahkan dianggap sebagai seorang guru yang layak diikuti.

Menghadapi tradisi yang “keras” itu, Haji Ismail tidak gentar. Suatu hari, ia diadang beberapa orang pemuda bersenjata tajam. Mereka mengancam akan melukai mubaligh tersebut.

Haji Ismail dengan tenang menjelaskan, dirinya tidak mencari-cari musuh. Kehadirannya untuk menyebarkan kebenaran risalah Islam. Para pengadang itu tidak surut.

Sebelum mulai bertarung, sang haji menantang mereka untuk mencabut sebuah batang pohon kelapa dengan senjata yang dipunyai. Ternyata, tidak ada satu pun yang mampu. Sementara, Haji Ismail setelah membaca basmalah dengan mudah mencabut pohon tersebut. Dengan cepat, mandau milik mereka diambilnya, lalu dibengkokkannya.

Para pembegal itu terkejut bukan kepalang. “Lihatlah,” kata Haji Ismail, “mandau-mandau saja bisa sujud kepada Allah. Bagaimana dengan kalian?” Sejak saat itu, pemuda-pemuda ini menyatakan bertobat. Mereka pun menjadi pengikut setia sang alim.

Riyadhi menjelaskan, pengaruh dakwah yang dilakukan Haji Ismail di Teluk Pakedai sangat besar. Perlahan namun pasti, situasi sosial masyarakat setempat kian hangat. Tradisi yang menggunakan kekerasan mulai ditinggalkan. Bahkan, tingkat kriminalitas dan maksiat menurun drastis di sana.

Raja Kubu juga mendukung syiar Islam yang disebarkan Haji Ismail. Pada 1907, sang alim diangkat menjadi mufti kerajaan tersebut.  Dengan jabatan ini, ia menjadi tokoh masyarakat dan negara. Orang-orang selalu datang kepadanya untuk mendapatkan solusi atas permasalahan sosial dan agama. Dalam memberikan jalan tengah, dirinya selalu penuh hikmah dan menyampaikan nasihat-nasihat yang baik (mauidzah hasanah).

Atas segala kemampuan dan kharisma serta besarnya pengaruh yang dimiliki oleh H. Ismail Mundu, maka pada tanggal 31 Agustus 1930 M (1349 H) ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda. Yakni, bintang jasa dan honorarium dari Ratu Wilhelmina. Jabatan Mufti disandang oleh H.Ismail Mundu sampai dirinya kembali menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.

Mendirikan Masjid, Membina Umat

Haji Ismail Mundu bersama dengan sahabat karibnya, Datuk Penghulu Haji Haruna, membangun masjid untuk tempat ibadah sekaligus pendidikan umat. Masjid Batu—demikian namanya—dibangun keduanya di Teluk Pakedai, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Bermula pada tanggal 4 Dzulhijah 1345 H atau 1926 M. Dua orang bersahabat itu berikhtiar mendirikan sebuah masjid untuk digunakan masyarakat setempat. Baidhillah Riyadhi dalam buku Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris dari Kubu (2011) mengutip cerita dari seorang cucu Datuk Penghulu yakni Haji Harun al-Rasyid.

Datuk Penghulu merupakan seorang kawan dekat Haji Ismail yang dari Malaya (Malaysia). Begitu mengunjungi sahabatnya di di Teluk Pakedai, lelaki bernama asli Harun itu ingin mewujudkan cita-cita mendirikan masjid.

Seperti tampak pada namanya, Masjid Batu hanya menggunakan bahan dari batu bata. Dalam proses pembangunannya, bahan-bahan dari kayu tidak dipergunakan.

 
Seperti tampak pada namanya, Masjid Batu hanya menggunakan bahan dari batu bata
 
 

Nama masjid yang sebenarnya adalah Masjid Nasrullah. Sebutan nasrullah sebenarnya baru diketahui setelah dilakukan renovasi masjid itu untuk kali pertama pada tahun 1960 M. Kata tersebut ditemukan di ujung kubah masjid.

Masjid Batu baru mulai difungasikan sebagai tempat untuk shalat Jumaat sejak tahun 1348 H (1929 M). Arsiteknya didatangkan sendiri oleh Haji Haruna dari Pontianak. Namanya ialah Abdul Wahid bin Abu alias Wak Bangkik. Sang juru rancang telah sarat pengalaman dalam mengerjakan bangunan-bangunan umum.

Salah sartu karyanya adalah memebangun Lembaga Pemasyarakatan Pontianak yang berada di Sungai Jawi. Hanya pada saat ini. Kompleks tersebut telah dihancurkan. Di atas lahannya, berdirilah Rumah Sakit Antonius.   

Sejak didirikannya hingga sekarang, Masjid Batu tetap berfungsi sebagai tempat menimba ilmu-ilmu agama. Semasa Haji Ismail masih hidup, majelis taklim yang dipimpinnya di sana ialah berkaitan dengan ilmu-ilmu akidah, akhlak, dan syariat. Demikian pula perayaan Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj tetap dilaksanakan secara rutin.

Tuan Guru Ismail meninggal pada Kamis, 15 Jumadil Akhir 1376 H/16 Januari 1957 M. Hingga saat ini, makamnya kerap dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat