Biarkan anak bermain meski pandemi (ilustrasi) | Leo Rivas Unsplash

Keluarga

Makin Dekat dengan Buah Hati

Anak sering kali kesulitan mengkomunikasikan secara jelas perasaan mereka.

Perubahan kehidupan dalam keluarga akibat pandemi Covid-19, tidak hanya berpengaruh terhadap pola stres orang dewasa tetapi juga anak-anak. Hanya, anak-anak sering kali belum mampu mengutarakan secara langsung bahwa dirinya merasakan stres akibat kondisi yang serbaterbatas seperti saat ini.

Dian Ayu, seorang ibu dan presenter, mengaku menghadapi tantangan tersendiri dalam menemani buah hati. Terlebih, kedua anaknya sudah punya jadwal sekolah masing-masing. “Aku memposisikan kayak mereka juga, dua-duanya sudah sekolah TK dan SD, baru selesai jam 11 ada isitrahat cuma tetap saja mereka menghadap ke layar terus tanpa interaksi langsung,” kata perempuan berusia 35 tahun ini.

Menurut istri presenter Ananda Omesh itu, anak-anak juga belum mampu menyampaikan perasaan mereka secara jelas di tengah kondisi pandemi yang terbatas ini. Sehingga, anak menjadi rewel pun tidak dapat terhindarkan.

Anak sebagai makhluk sosial tentu memerlukan bermain secara tatap muka. Dian pun harus mencari berbagai cara agar anak tidak bosan di rumah. “Aku kasihan juga, berpikir mesti ngapain ya, jadi melihat kondisi juga,” ujarnya saat pertemuan virtual.

Dian juga mengakui jika kondisi pandemi memang membuatnya lebih dekat dengan anak-anak. Sebab sebelum pandemi, kualitas kebersamaannya dengan buah hati relatif lebih sedikit. “Sekarang /bonding/ semakin dekat, komunikasi semakin aktif lebih kenal maunya apa kalau ditanya bermain sama anak, jadi lebih banyak waktu mainnya,” tambah Dian.

Dian pun mendampingi si kecil dalam hal penggunaan gawai sehari-hari. Biasanya, saat waktu sekolah usai, anak-anaknya tidak diperbolehkan dulu bermain gawai ataupun berinteraksi dengan layar lainnya. Sebab anak perlu mengistirahatkan diri dari segala macam paparan layar. Baru, menurut Dian, saat siang atau sore, anak dibolehkan kembali bermain gawai dengan pendampingan.

photo
Anak-anak bermain permainan tradisional - (Wihdan Hidayat / Republika)

Menurut Roslina Verauli, M.Psi., Psi. Psikolog Klinis Anak, Remaja dan Keluarga, sering kali stres pada anak tidak dapat terlihat. Anak juga tidak bisa mengkomunikasikan secara jelas perasaan mereka. Namun, orang tua juga tetap bisa memantau kesehatan mental buah hati sekaligus mengatasinya.

“Anak nggak bisa bilang ‘Mah, aku stres lho’. Cek ada perubahan perilaku tidak, emosi anak jadi lebih negatif tidak sama adik dan saat berkomunikasi dengan orang tua?” kata psikolog yang disapa Vera ini dalam perbincangan bersama Cussons Kids.

Vera melanjutkan bahwa anak-anak tetap butuh kehidupan khas di usianya, terutama enam tahun ke bawah. Kegiatan khas anak-anak tidak lain adalah bermain. Kegiatan bermain anak minimal lima jam sehari, perlu terdiri dari bermain aktif, pasif, karena semuanya perlu seimbang.

Anak perlu aktif menciptakan sendiri permainan mereka, misalnya bermain rumah-rumahan, istana, bersama orang tua. Kemudian bermain pasif, bisa dengan mainan yang sudah jadi, buku cerita ataupun sarana lainnya.

Vera menambahkan kegiatan bermain bervariasi dapat membuat mental anak sehat, tetap membuat mereka semangat meraih prestasi lebih baik. Karena saat waktu bermain terpenuhi secara ideal, maka anak akan punya hasrat, motivasi belajar saat bermain, serta eksplorasi dalam dirinya.

Sebagai orang tua, penting untuk menjaga rutinitas anak. Meskipun ragam aktivitas anak berkurang akibat pandemi, sebaiknya mencari cara apa saja yang bisa dilakukan di rumah agar dapat membantu anak merasa lebih tenang.

Anak membutuhkan zona yang aman dan kegiatan teratur serta konsisten. Misalnya, hari libur dijadikan momen secara reguler bermain dan bersenang-senang. Mereka butuh diberikan keteraturan bahwa kegiatan bermain ada waktunya. “Belajar ada waktunya tersendiri. Agar bermain sehat, terkoneksi dengan orang tua yang erat,” kata Vera.

Orang tua, lanjut Vera, perlu terlibat dalam menemani kegiatan anak. Bermain dapat membantu orang tua mengatasi bosan dalam waktu berkepanjangan. Karena kehidupan anak identik senang dan spontan. Mereka belajar dari bermain. Namun ingat kegiatan bermain, butuh diatur agar ada waktunya.

Penting pula untuk mempererat ikatan ideal antara orang tua dan anak. Kegiatan bermain anak dapat dilakukan baik melalui daring ataupun tidak. Bermain gim di internet dapat juga menjadi pilihan karena juga memiliki manfaat. Namun yang harus digarisbawahi adalah bahwa anak butuh adaptif dengan lingkungan digital. Namun waktunya yang perlu dibatasi. “Kita terbatas hanya di rumah saja tapi tetap bisa jadi juara melalui kegiatan bermain agar dari online juga bisa dipindahkan ke offline, jadi seimbang,” ujarnya.

 

 

Belajar ada waktunya tersendiri. Agar bermain sehat, terkoneksi dengan orang tua yang erat.

 

Roslina Verauli
 

 

Atasi Rasa Cemas

Psikolog Roslina Verauli menyatakan hal utama yang perlu dilakukan orang tua adalah mengelola kecemasan dalam diri sendiri, sehingga tidak memunculkan pengaruh negatif kepada anak. Sebab, apabila orang tua justru sedang merasa cemas akibat ketidakpastian pandemi, biasanya hal tersebut akan mempengaruhi aktivitas anak di rumah. Apa saja yang bisa dilakukan orang tua untuk mengatasi ini?

1. Sediakan waktu bermain bersama anak secara rutin.

Orang tua bisa menentukan hari libur untuk menyiapkan waktu bermain khusus bersama anak tanpa diganggu pekerjaan dan gawai.

2. Hindari juga aktivitas-aktivitas pasif.

Seperti duduk menonton televisi atau membiarkan anak bermain gawai terlalu lama tanpa supervisi. Sebab hal tersebut akan membuat mood anak cenderung kurang baik dan justru dapat membuat kesehatan psikologis mereka tidak berjalan maksimal.

3. Siapkan lingkungan yang aman.

Kondisi saat ini tidak hanya membuat cemas orang dewasa tetapi juga anak-anak. Bagaimanapun, anak membutuhkan lingkungan aman untuknya. Situasi ini penting untuk mengatasi tingkat kecemasan mereka selama pandemi.

 

photo
Biarkan anak bermain meski pandemi (ilustrasi) - (Aliko Sunawang Unsplash)

Agar Anak Tetap Percaya Diri 

Alyssa Soebandono punya cerita tersendiri tentang tantangan belajar daring bersama sang buah hati saat pandemi. Saat belajar daring, perempuan yang akrab disapa Icha ini memberikan anak motivasi serta memastikan hak anak terpenuhi.“Saat anak tidak mengerti pelajaran, saya berusaha memberikan pengertian. Saya juga membuat suasana menyenangkan, bukan menegangkan,” ujar ibu dua anak ini.

Selama pandemi, Icha juga berusaha menggali potensi anak di bidang tertentu. Misalnya di bidang olahraga. Setelah menemukan potensi tersebut, maka ia berusaha mengoptimalkannya. Menurutnya, setiap anak mempunyai potensi yang berbeda, cara belajarnya pun berbeda. “Tugas orang tua bisa memahami dan berusaha begitu dekat dengan anak, supaya bisa mengerti,” ujar saat pertemuan virtual dengan tema pola asuh anak.

Di tengah pandemi, sebagian besar anak belajar melalui daring. Tak ayal, banyak kendala dalam melakukan pembelajaran jarak jauh seperti itu. Salah satunya anak sulit untuk mengeskpresikan diri. Mereka pun enggan tunjuk tangan untuk mengungkapkan pendapat atau memberikan jawaban ketika guru bertanya. Bagaimana caranya agar anak tetap memiliki rasa percaya diri dan mau tunjuk tangan mengungkapkan pendapat?

photo
Sejumlah anak bermain pesawat kertas. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/aww. - (ANTARAFOTO)

Pemerhati dan sahabat anak Indonesia serta Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto, mengatakan untuk membuat anak berani tampil, orang tua harus menumbuhkan rasa percaya diri anak. Orang tua harus mengajarkan anak agar anak merasa ada konsep diri yang positif. Konsep diri ini akan hancur kalau selalu dikritik, selalu disalahkan, selalu ditekankan harus berbuat seperti apa.

“Setiap orang tua perlu menemukan masing-masing potensi anak. Anak memiliki potensi, baik akting, nyanyi, presenter maupaun berbicara menari dan sebagainya. Jadi kalau setiap anak ditunjukkan kelebihannya, maka dia akan membangun rasa percaya diri, oh iya, saya bisa, saya berharga,” ujarnya.

Maka, Kak Seto menyarankan untuk mulai berhenti mengoreksi anak, mengkritik dan menyalahkan anak. Menurut dia, sebaiknya orang tua memberikan dukungan pada anak dan mengucapkan kata-kata seperti,”Ayah bangga kepadamu, nak”, “Ibu bangga”, “Kamu hebat, kamu bisa, kamu cerdas”. Karena, lanjutnya, semua anak cerdas dalam bidang berbeda. Anak bisa menjadi seperti Albert Einstein, Pablo Picaso, Ronaldo atau Michael Jackson.

"Semua cemerlang, jenius dalam bidang masing-masing. Jika orang tua terapkan itu, anak bisa percaya diri, dan berani tunjuk tangan. Sementara jika terus disalahkan dan dikritik maka anak akan minder dan takut salah," ujarnya.

Selain itu, Kak Seto mengungkapkan 13 persen anak Indonesia depresi karena belajar daring. Karena itu, Kak Seto menyarankan agar orang tua memberikan anak kenyamanan saat belajar daring.

Kak Seto pun menekankan agar tidak perlu pakai kekerasan. Orang tua pun harus sabar dan senyum dalam mengajari anak terutama saat belajar daring. “Jangan cemberut, ngomel, berbicara dengan nada indah. Belajar dengan kondisi menyenangkan dengan suara yang menyenangkan," kata dia memberi saran.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat