Pegawai melakukan geladi bersih pelaksanaan sidang tahunan MPR, sidang bersama DPR RI-DPD RI dan Rapat paripurna DPR RI tahun 2021 di Kompleks Parlemen Senayan pada 16 Agustus 2021. | Republika

Opini

Penguatan DPD dan Amendemen Konstitusi

Empat substansi usul perubahan konstitusi tersebut berkembang di DPD hingga saat ini.

TAMSIL LINRUNG, Ketua Kelompok DPD di MPR

Tanggal 1 Oktober 2021, tepat 17 tahun usia Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejuta ungkapan filosofis biasanya diurai menyambut usia ini. Tapi, kita tak butuh itu. Yang lebih urgen, bagaimana merefleksi sejarah perjalanan DPD demi pembenahan fundamental.

Sepanjang hayatnya, DPD seperti ada dan tiada. DPD ada karena eksistensi lembaganya. DPD tiada karena lembaga legislatif ini justru tak terkoneksi pada ranah pengambilan keputusan legislasi nasional. Ini tragis, lebih dari sekadar menyedihkan.

Bagaimana mungkin lembaga tinggi negara tak memiliki otoritas terhadap fungsi dasarnya?

DPD mengemban amanah demokrasi. Lembaga ini simbol kekuatan otonomi daerah dan demokratisasi. Di sanalah desentralisasi mekar, kepentingan daerah diperjuangkan agar terakomodasi dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan nasional.

 
Bagaimana mungkin lembaga tinggi negara tak memiliki otoritas terhadap fungsi dasarnya?
 
 

Namun, di sana pula relasi ketatanegaraan terlihat pincang. Sebagai lembaga legislatif, DPD wajib mengembangkan optimalisasi check and balances, di samping menjalankan fungsi legislasi. Namun, ini sulit saat kewenangannya tak sebanding lembaga tinggi lainnya.

Untuk membenahinya, berpulang kepada perubahan konstitusi. Kelompok DPD di MPR tengah memfinalisasi usul perubahan kelima UUD 1945. Kelompok DPD berpendapat, amendemen UUD 1945 sebaiknya komprehensif, tidak parsial.

Kelompok DPD menyadari persis kelemahan DPD. Namun, perbaikan konstitusi harus memotret kelemahan konstitusionalitas secara luas.

Ada empat hal akan diusulkan. Pertama, revitalisasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).  Pascaempat kali amendemen, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan, membuat pembangunan tak sepenuhnya dalam koridor arah dan visi besar bangsa.

UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang disahkan guna mengatasi bolong itu, tak mampu mengintegrasikan pembangunan secara nasional. Pembangunan lebih dominan ditentukan visi dan misi Presiden, yang sayangnya, sering kali politis.

 
Kelompok DPD menyadari persis kelemahan DPD. Namun, perbaikan konstitusi harus memotret kelemahan konstitusionalitas secara luas.
 
 

Kedua, penataan kewenangan MPR. Gagasan ini bukan ide baru karena muncul dalam rekomendasi MPR 2014-2019. Namun, saat ini penguatan kewenangan MPR menemukan momentum tepat sebagai konsekuensi usulan PPHN di atas.

Bila kita bersepakat mengatur PPHN dalam UUD 1945, konsekuensi logisnya harus ada lembaga negara yang berwenang menyusun dan menetapkan PPHN. Di sinilah urgensi penambahan kewenangan MPR. Yakni, menetapkan haluan negara yang menjadi pedoman pembangunan bagi penyelenggara negara merencanakan dan merealisasikan pembangunan.

Ketiga, penataan kewenangan DPD. DPD lahir dari komitmen membangun demokrasi lebih baik, meninggalkan sentralisme pembangunan menuju desentralisme. Sebagai kanal aspirasi daerah, DPD diharapkan optimal memperjuangkan kepentingan daerah.

Bila kewenangan ini dikuatkan secara proporsional, upaya konstitusionalitas DPD lebih baik. Penguatan fungsi dan kewenangan DPD semakin menemukan urgensinya bila dikaitkan dengan gagasan PPHN. Sebagai anggota MPR, kedudukan DPD setara dengan DPR.

Namun, fungsi dan kewenangannya yang tidak berimbang dapat mereduksi dialektika politik yang sehat antara DPR dan DPD.

 
Namun, fungsi dan kewenangannya yang tidak berimbang dapat mereduksi dialektika politik yang sehat antara DPR dan DPD.
 
 

Karena itu, revitalisasi PPHN harus disertai penguatan kewenangan DPD, agar check and balances menjadi kuat dalam perumusan, perencanaan, dan implementasi PPHN. Juga agar kepentingan daerah dapat diperjuangkan dalam PPHN.

Keempat, calon presiden dan wakil presiden perseorangan. Selama ini pengusung calon presiden dan wakil presiden mutlak melalui partai politik. Tidak tersedia mekanisme bagi anak bangsa yang memiliki potensi, tetapi tertolak partai politik.

Kita tahu, musabab penolakan itu bisa bermacam-macam. Ya politik, pragmatisme, dan lain-lain. Situasi itu mencederai demokrasi, memancung prinsip dasar perwujudan hak politik rakyat dan asas kedaulatan rakyat.

Presiden perseorangan adalah upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik rakyat untuk berkompetisi dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. 

Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya, calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test.

Empat substansi usul perubahan konstitusi tersebut berkembang di DPD hingga saat ini. Keseluruhannya, materi muatan konstitusi karena terkait penataan kelembagaan negara, baik wewenang maupun pengisian jabatan.

Kelompok DPD sebagai bagian dari MPR, secara konstitusional memiliki wewenang mengajukannya, sebagaimana diatur Pasal 37 UUD NRI 1945.

Kini, yang menjadi pekerjaan rumah bagi kelompok DPD adalah menggalang penambahan dukungan, guna memenuhi syarat minimal pengajuan usul amendemen UUD 1945. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat