Sejumlah Pegawai KPK (nonaktif) bersama Solidaritas Masyarakat Sipil, melakukan aksi damai di depan Gedung ACLC - KPK, Jakarta, Jumat (17/9/2021). Dalam aksi tersebut mereka menulis surat kepada Presiden untuk menepati jainjinya untuk memberantas korupsi | ANTARA FOTO/ Reno Esnir

Nasional

‘SK Pemecatan KPK Belum Endgame

Berdasarkan standar memenuhi syarat BKN, seluruh pegawai KPK seharusnya lulus.

JAKARTA—Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK nonaktif, Giri Suprapdiono, menegaskan Surat Keputusan (SK) pemecatan pegawai per 30 September 2021 belum selesai atau belum endgame. Menurutnya, Presiden Joko Widodo masih memiliki waktu untuk mengambil alih status 57 pegawai KPK yang dipecat pimpinan.

Terlebih, kata dia, Komnas HAM dan Ombudsman sudah menyampaikan secara formal rekomendasinya. "Pimpinan KPK punya PR panjang atas tindak lanjut atas putusan MA, MK, Komnas HAM, dan Ombudsman. Putusan dan rekomendasi lembaga tersebut yang harus dilakukan KPK terlebih dahulu, salah satunya mengangkat 75 menjadi PNS sebelum tenggat waktu Oktober 2021," katanya saat dihubungi Republika, Sabtu (18/9).

Kemudian, ia melanjutkan tawaran ke BUMN atau lembaga lain adalah peluang bagus untuk membangun antikorupsi di korporasi atau institusi namun harus dilakukan di waktu, proses yang tepat. Selain itu, pimpinan KPK tidak mempunyai tugas dan kewenangan untuk menjanjikan atau menyalurkan pegawai masuk BUMN atau lembaga lain dan ini bisa menjadi isu trading influence (jual beli pengaruh). 

Ia menjelaskan, pimpinan KPK harus menunggu perintah Presiden karena ini adalah ranah pemerintah sebagaimana hasil MA, MK, Ombudsman, dan Komnas HAM. "Padahal kami masih punya waktu sampai pertengahan Oktober. Ketergesaan ini mirip dengan SK 652 tentang nonjob 75 pegawai. Cepat atau lambat kedok ini akan terbuka," kata dia.

KPK resmi memecat 57 pegawai yang dinilai TMS berdasarkan tes wawasan kebangsaan (TWK), termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021.

"Kepada pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dan tidak mengikuti pembinaan melalui diklat bela negara, diberhentikan dengan hormat dari pegawai KPK," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan Ombudsman sudah mengeluarkan mahkotanya, berupa rekomendasi akhir yang sudah seharusnya didengar Presiden. Menurut ICW, sepanjang perjalanan Ombudsman RI, sangat jarang mengeluarkan rekomendasi akhir, dan ini terkait TWK pegawai KPK yang dinilai malaadministrasi dan tidak prosedural.

"Konteks hari ini, stakeholders KPK yakni kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yaitu Presiden Joko Widodo harus bersikap. Karena sebelumnya presiden sangat gagah betul menyampaikan TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK," kata Kurnia dalam diskusi "September Kelabu di KPK, Akhir Nasib Pemberantasab Korupsi?", Ahad (19/9).

Kurnia menekanan Presiden tetap harus bersikap mendengarkan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman. Yakni, dalam proses TWK yang memang kewenangan KPK sesuai putusan Mahkamah Agung, terdapat proses pelanggaran HAM dan penyalahan administrasi. Karena dalam praktiknya standar TMS yang dikategorikan kepada 57 pegawai KPK yang saat ini diberhentikan tidak jelas, bahkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak memiliki standar tersebut.

Memenuhi syarat

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Budi Jaweng mengaku, pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi korektif setelah mendengarkan keterangan dari BKN, soal standar TMS dan MS (memenuhi syarat). Dimana BKN tidak memiliki standar tersebut.

"Ini diakui oleh BKN, sehingga ini menjadi perbaikan di internal BKN apabila ada proses TWK pengalihan status pegawai lembaga negara lain akan ada perbaikan," katanya.

Namun yang menjadi persoalan, hal ini sudah terjadi di KPK. Karena itu, jelas Robert, pihaknya memintakan tindakan korektif untuk TWK pegawai KPK tersebut. Namun, jawaban dari BKN dan KPK justru menyampaikan surat keberatan dengan hak proseduralnya. Diakui Robert memang hak prosedural itu dipersilahkan Ombudsman.

"Tapi ini aneh, karena biasanya yang menggunakan hak prosedural adalah pelapor bukan terlapor, nah ini terlapor yakni BKN dan KPK yang menggunakan hak proseduralnya," imbuhnya.

Robert mengungkapkan, melihat standar yang ada di BKN, seharusnya semua pegawai KPK itu lulus semua. Namun karena ada indikasi ruang ruang non prosedural maka standar TMS itu diperlakukan. Karena itu Ombudsman berharap rekomendasinya soal TWK pegawai KPK ini harus disikapi presiden.

Poin rekoemndasinya cuma satu melaksanakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN sesuai aturan dan administrasi yang telah ada. Dan rekomendasi itu memang harus dijalankan dalam kurun waktu paling lama 60 hari," tegasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat