Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Nifasri | DOK Pribadi

Khazanah

Kerukunan Umat Beragama Masih Kondusif

Jaga kerukunan umat beragama dengan mengedepankan dialog.

JAKARTA — Kondisi kerukunan dan toleransi umat beragama di Indonesia saat ini dinilai masih kondusif. Memang, ada beberapa peristiwa yang bertentangan dengan itu, tetapi sifatnya kasuistik dan tidak diperkirakan sebelumnya.

Penilaian tersebut disampaikan Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama (PKUB Kemenag) Nifasri kepada Republika, Senin (6/9). Dia mengambil contoh, insiden perusakan masjid Ahmadiyah di Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar). Menurut dia, kejadian perusakan tersebut di luar dugaan.

"Karena secara umum kerukunan di Kalbar itu baik sebenarnya. Bahkan FKUB-nya sendiri dan pemdanya tahun lalu mendapatkan Harmony award. Saya sendiri tidak menduga itu akan terjadi. Karena di dalam pemetaan isu-isu keagamaan kami, Kalimantan itu aman-aman saja," katanya.

Dalam hal ini, Nifasri melanjutkan, ada kemungkinan perhatian pemerintah daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) belum begitu maksimal dalam mengantisipasi potensi konflik. Namun, bila dilihat secara keseluruhan, dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, kasus intoleransi menurutnya hanya satu-dua.

"Walaupun memang satu-dua, itu tentu merusak citra Indonesia karena kita melihatnya kan Indonesia. Untuk itu, agar umat beragama di Indonesia betul-betul rukun, ada tiga indikator yang kita tetapkan nanti," ujarnya.

Tiga indikator itu ialah toleransi, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama, dan mau bekerja sama antarumat beragama. Jalan strategis untuk mencapainya, Nifasri melanjutkan, yaitu pertama melalui dialog. Ia mengatakan, apa pun permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, mereka harus bisa duduk bersama mencari solusi penyelesaian.

"Tidak boleh main hakim sendiri. Jadi, prinsip musyawarah harus dikedepankan. Tidak ada satu permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan duduk bersama," ujar dia.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Nurcholish Madjid Society (caknursociety)

Cara strategis kedua, Nifasri menerangkan, dengan mengambil tindakan hukum oleh instansi terkait bila tidak bisa selesai dengan prinsip permusyawarahan. Siapa pun yang bersalah mesti dihukum sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelum mencapai tahap kedua ini, harus mengutamakan dialog terlebih dulu.

"Siapa tahu yang berbuat itu sudah menyadari kesalahannya, minta maaf, dan buat pernyataan. Sehingga tidak perlu diproses melalui hukum. Namun, kalau ngotot juga, berarti peraturan perundang-undangan itu diterapkan agar ada ketegasan," ujarnya.

Penilaian hampir serupa terkait kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia juga disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Antarumat Beragama, Buya Yusnar Yusuf. Menurut dia, kerukunan umat beragama di Indonesia sebenarnya tidak ada masalah. Hanya, menurut dia, ada pihak lain yang membesar-besarkannya.

Menurut dia, insiden atau konflik antara umat beragama yang terjadi selama ini biasanya disebabkan tidak mengedepankan dialog. Padahal, menurut dia, semua masalah itu sebenarnya biasa didialogkan dengan mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006.

“Jadi, konflik antarumat beragama itu selalu saja tidak mendahulukan forum dialog sebagai solusi,” ujarnya.

Buya Yusnar menambahkan, karakter bangsa Indonesia adalah toleran, harmonis, sabar, dan hidup dalam kebersamaan. Karena itu, menurut dia, agar kerukunan umat beragama di Indonesia tetap terjaga, dialog harus dikedepankan.

“Dialog ini harus digerakkan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat