Produk halal diperlihatkan saat konferensi pers Indonesia Industrial Muslim Exhibition (II-Motion) di Jakarta, Selasa (25/5/2021). Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri yang memproduksi pangan halal. | Tahta Aidilla/ Republika

Opini

Klasterisasi UMKM Halal

Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri yang memproduksi pangan halal.

IRVAN MAULANA, Anggota Masyarakat Ekonomi Syariah DKI Jakarta

UMKM berperan penting memperkuat kapasitas pasokan produk halal. Sebab, pasokan bahan baku dan bahan pelengkap saat ini, menjadi salah satu isu utama bagi industri halal. Reformasi halal menyeluruh harus segera dilakukan.

Tahap demi tahap perlahan terus dilakukan, seperti deklarasi mandiri UMKM halal yang direncanakan pemerintah pada Oktober mendatang. Ini bakal menjadi tahapan baru bagi perkembangan industri halal kita.

Salah satu cara agar industri halal kita berdikari adalah memperkuat klasterisasi UMKM halal. Klaster halal adalah konsentrasi geografis dari perusahaan dan institusi yang saling berhubungan dalam industri halal tertentu.

State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 menyebutkan, Indonesia kini berada di peringkat pertama negara di dunia sebagai konsumen makanan halal, peringkat kedua dunia konsumen kosmetik halal, dan peringkat keempat dunia konsumen obat-obatan halal.

Sebenarnya, ini prestasi baik, tetapi akan lebih jika status Indonesia tidak hanya dikenal sebagai konsumen utama, tetapi juga produsen utama industri halal nasional ataupun global.

 
Indonesia kini berada di peringkat pertama negara di dunia sebagai konsumen makanan halal, peringkat kedua dunia konsumen kosmetik halal, dan peringkat keempat dunia konsumen obat-obatan halal.
 
 

Percepatan sertifikasi

Saat ini, pemerintah fokus pada percepatan sertifikasi halal, seiring percepatan penambahan kapasitas industri halal dalam negeri, terutama untuk UMKM. Menjamurnya UMKM bersertifikasi halal diperkirakan, meningkatkan permintaan produk halal.

Untuk mengimbangi kenaikan permintaan, hanya ada dua pilihan, yaitu impor atau menambah kapasitas produksi nasional. Impor bisa menjadi pilihan alternatif jangka pendek. Untuk jangka panjang, impor hanya akan menambah beban neraca perdagangan.

Selain itu, jika industri halal didominasi pelaku usaha berskala besar saja, besar kemungkinan industri halal akan membentuk kekuatan oligopoli. Tentu, ini berdampak pada munculnya kartel-kartel baru produk halal, baik di sisi impor maupun produksi dalam negeri.

Munculnya kartel membuat industri halal merusak reputasi dan kepercayaan pada industri halal Tanah Air. Karena itu, porsi pemberian insentif dan aliran dana investasi hendaknya tidak timpang antara pelaku usaha besar usaha mikro dan ultramikro.

 
Munculnya kartel membuat industri halal merusak reputasi dan kepercayaan pada industri halal Tanah Air.
 
 

Indonesia juga tak boleh larut dalam euforia potensi besar yang  dimiliki. Masifnya sertifikasi halal tak menjadi tolok ukur tunggal keberhasilan industri halal ke depan. Negara non-Muslim justru sudah mencuri start sejak lama.

Maka itu, saatnya UMKM halal berdikari mendominasi industri halal kita. Namun, banyaknya UMKM gulung tikar akibat pandemi menjadi  tantangan.

Menurut hasil survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha yang dilakukan BPS pada pertengahan 2020, sekitar 78,35 persen UMKM terdampak pandemi dan 62,21 persen, di antaranya mengalami kendala keuangan.

Selain itu, hasil survei IMK 2020 menunjukkan, sekitar 19,85 persen usaha UMKM tutup, baik sementara maupun permanen. Usaha kecil dan menengah yang tutup sementara selama 2020 sebesar 12,79 persen.

Berbeda dengan UMKM yang berkontraksi sepanjang 2020, industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional tumbuh positif. Namun, ada beberapa bahan baku obat dan bahan pelengkapnya yang masih harus diimpor.

Misalnya, halal pharmaceutical gelatine untuk pembuatan obat kapsul karena sedikitnya produsen gelatin halal terdaftar di Indonesia. Maka itu, ketersediaan substitusi impor gelatin mutlak diperlukan untuk kemandirian pangan halal jangka panjang.

Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri, yang memproduksi pangan halal dalam bentuk insentif bea masuk yang rendah untuk bahan-bahan baku halal yang masih perlu diimpor.

Selain itu, pengurangan beban pajak, pengurangan bea ekspor untuk produk pangan halal yang diekspor, insentif produksi, seperti pengurangan biaya untuk listrik sehingga harga produk pangan halal kompetitif, baik di pasar domestik maupun global.

 
Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri, yang memproduksi pangan halal dalam bentuk insentif bea masuk yang rendah untuk bahan-bahan baku halal yang masih perlu diimpor.
 
 

Pemerintah juga perlu merumuskan kebijakan yang memperkuat ekosistem halal secara keseluruhan. Pertama, kolaborasi antara industri besar dan UMKM, di mana perusahaan kecil dapat menggunakan aset halal serta diikutsertakan dalam kontrak bisnis.

Kedua, memprioritaskan klasterisasi kelompok industri kecil halal sektor kritikal dan esensial.

Klaster halal dapat difokuskan pada produksi halal fisik, misalnya makanan halal, kosmetik, obat-obatan, busana sederhana, dan layanan halal, misalnya logistik halal, perawatan kesehatan, perbankan, dan keuangan syariah.

Ketiga, UMKM dalam klaster halal harus dijamin memiliki kemudahan akses ke berbagai produk perbankan syariah, pembiayaan, dan asuransi untuk mendukung kegiatan usaha dan perluasan klaster halal.

Ada juga kemungkinan peran modal bersumber dari wakaf, misalnya, untuk pembiayaan pelatihan dan pendidikan, serta pengentasan kemiskinan bagi masyarakat yang berada dalam radius klaster halal.

Perlu kita ingat, membangun industri halal bukan hanya dengan iklim kompetisi, melainkan juga kerja sama dan kolaborasi agar kehadiran UMKM halal benar-benar menjadi penawar bagi pemulihan ekonomi kita.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat