Ilustrasi Hikmah Hari ini | Republika

Hikmah

Hijrah untuk Kemerdekaan

Setiap Muslim wajib hijrah dari kebodohan, kemiskinan, dan kemalasan tersebut agar berubah menjadi lebih baik.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

Bersyukur ke hadirat Ilahi, pada waktu yang berdekatan, umat Islam ditemui dua peristiwa bersejarah, yakni Tahun Baru Islam 1 Muharram 1443 H dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2021 yang ke-76. Kehadirannya sangat penting untuk membangkitkan gairah iman dan nasionalisme serta harapan yang lebih baik di masa depan.

Hijrah akan menumbuhkan optimisme bagi orang beriman. “Siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang banyak dan kelapangan (rezeki dan hidup). Siapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian meninggal (sebelum sampai ke tempat tujuan), sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah…” (QS an-Nisa`[4]: 100).   

Pada sisi lain, setelah 350 tahun dibelenggu kolonialisme, pada 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan. Tentu, ia bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan dan pengorbanan seluruh rakyat, terutama umat Islam dari zaman ke zaman. Mereka rela berkorban jiwa, raga, dan harta dengan semangat jihad fii sabilillah. (QS Ali Imran[3]: 169).

Lalu, apakah rakyat Indonesia sudah merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya? Secara de jure, kita sudah bebas dari kolonialisme, tetapi secara de facto masih terjajah dalam berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, makna hijrah dan jihad menjadi relevan dikedepankan agar kita mampu menjalankah amanah Pembukaan UUD 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanan ketertiban dunia.

Umat Islam akan terus terjajah selagi belum mampu melepas diri dari tiga persoalan besar yang melilit, yakni:

Pertama, kebodohan. Secara harfiyah dimaknai ketidaktahuan yang disebabkan ketiadaan ilmu pengetahuan. Padahal, kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan warganya. Sejatinya, kebodohan bukan hanya soal ketidaktahuan, melainkan juga karena mengikuti dorongan hawa nafsu dan tidak mematuhi ketentuan Allah SWT. (Muhammad Qutub, Jahiliyah Abad Dua puluh, 1990).

Kedua, kemiskinan. Garis kemiskinan itu relatif sesuai ukuran yang dibuat oleh pemerintah. Namun, derita yang mereka alami sudah pasti dan seakan tak berkesudahan. Ada yang miskin karena dimiskinkan oleh penguasa yang serakah (kemiskinan struktural). Ada pula karena terjerat dalam lingkaran setan yang mengimpit (kemiskinan kultural).

Ketiga, kemalasan. Inilah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya bagi manusia. Sebab, ia akan membuat seseorang tidak mau mengerjakan sesuatu, sehingga berdampak buruk bagi kehidupan diri dan keluarganya. Artinya, kemalasan adalah akar masalah yang melahirkan kebodohan dan kemiskinan yang berkepanjangan.

Setiap Muslim wajib hijrah dari kebodohan, kemiskinan, dan kemalasan tersebut agar berubah menjadi lebih baik. (QS al-Ra’du[13]:11).

Betapa banyak orang bodoh menjadi pandai karena terus belajar. Begitu pula, orang miskin menjadi kaya karena berusaha dengan tekun. Sebaliknya, orang pandai akan menjadi bodoh, dan orang kaya akan jatuh miskin jika dibalut oleh kemalasan.

Allahu a’lam bish-shawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat