Relawan membawa bantuan paket nutrisi isolasi mandiri yang akan didistribusikan untuk pasien Covid-19 di Kantor Dompet Dhuafa, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (4/8/2021). | Prayogi/Republika.

Opini

Hijrah Multidimensi

Persoalannya, agama direduksi hanya sebatas masalah akidah dan ibadah.  

FAHMI AMHAR, Alumnus Vienna University of Technology Austria, Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Hijrah dalam sejarah Islam itu mirip revolusi dalam sejarah Prancis atau Rusia. Perubahan yang terjadi pascahijrah ada di segala dimensi. Di beberapa ayat Alquran, hijrah dletakkan bersama iman dan jihad.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Baqarah [2]:218)

Sebagaimana ada berpikir multidimensi (ditulis di harian Republika, 9 Juli 2021), maka ada hijrah multidimensi. Para agamawan biasanya baru mengambil pelajaran hijrah pada dimensi agama. 

Maka, aktualisasi hijrah di era kekinian pun diletakkan dalam dimensi itu. Para artis yang bertobat dan mulai belajar agama, disebut artis hijrah. Para pemuda preman yang mulai mendekat ke masjid, disebut pemuda hijrah. Intinya, hijrah adalah mendekat ke agama.

 
Persoalannya, agama direduksi hanya sebatas masalah akidah dan ibadah. Padahal, setelah mendapat arah, para sahabat Nabi dulu lanjut berkiprah di segala dimensi.
 
 

Persoalannya, agama direduksi hanya sebatas masalah akidah dan ibadah. Padahal, setelah mendapat arah, para sahabat Nabi dulu lanjut berkiprah di segala dimensi. Pada dimensi sosial, mereka membangun masyarakat yang saling menopang.

Karena itu, terbangun jejaring sosial yang rapi, bukan yang mengedepankan ambisi pribadi. Orang Anshar berbagi hartanya dengan saudaranya dari Muhajirin. Kaum Muhajirin tahu diri, berbagi tenaga dan waktunya untuk saudaranya dari Anshar.  

Hal ini menjalar ketika Islam meluas ke wilayah-wilayah lain di dunia. Persaudaraan sejati karena hijrah.

Pada dimensi sains, mereka rela berburu ilmu astronomi ke Mesir, kedokteran ke Yunani, matematika ke India, hingga teknik membuat kertas ke Cina.  

Mereka rela berjalan begitu jauh dan berat karena telah hijrah!  Yakin rezeki dan ajal tak akan mendahuluinya selama mereka pergi untuk mencari ilmu dan berdakwah. Inilah yang kita butuhkan hari ini.

Apakah Indonesia yang telah 76 tahun merdeka, sudah hijrah multidimensi? Sejak sebelum merdeka, pendiri bangsa berusaha menghijrahkan kita secara sosio-kultural yakni kesadaran satu bangsa dari sebelumnya banyak kerajaan kecil yang mudah diadu domba.

 
Pada dimensi sains, mereka rela berburu ilmu astronomi ke Mesir, kedokteran ke Yunani, matematika ke India, hingga teknik membuat kertas ke Cina.  
 
 

Mereka percaya diri mengambil alih tanggung jawab atas masa depan sendiri bahkan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Namun harus diakui, hijrah ini belum tuntas.  Banyak tradisi dan pola pikir bangsa terjajah yang masih mengakar kuat di bangsa ini.  

Kita masih jauh berdaulat dalam sains dan teknologi. Pandemi ini momentum terkuaknya kenyataan. Hoaks, begitu mudah tersebar bahkan di kalangan terdidik. Kita termehek-mehek soal masker, APD, tes PCR, obat-obatan, vaksin, oksigen.

Kita belum hijrah dalam dimensi sains, dari bangsa buta huruf menjadi berliterasi sains dan teknologi, juga dalam dimensi agama. Meski agamawan selalu memaknai hijrah dari sisi agama tetapi agama belum dijadikan inspirasi dalam sains maupun sosial-politik.  

Agama baru sebatas aspirasi dalam agregasi sosial untuk tujuan politik. Bahkan agama kadang baru dijadikan pembenaran untuk kemalasan.

Di level bawah, iman kepada takdir masih sering dijadikan alasan untuk menolak protokol kesehatan. Di level atas, kekuatan doa pernah dijadikan alasan meremehkan kenyataan bahwa pandemi ini telah memasuki negeri ini.

 
Agama baru sebatas aspirasi dalam agregasi sosial untuk tujuan politik.  Bahkan agama kadang baru dijadikan pembenaran untuk kemalasan.
 
 

Namun di sisi lain ketika pandemi menggilas sendi-sendi ekonomi, jumlah kematian di Indonesia dalam dua hari saja melampaui jumlah kematian di Cina selama pandemi, masih saja ada oknum pejabat memanfaatkan pandemi untuk menggarong bantuan sosial.

Masih saja, ajaran agama tak dilirik untuk mengatasi pandemi, bahkan sebagian tokoh agama di Indonesia merasa kurang dilibatkan.

Malah ada segelintir buzzer mengelu-elukan sesosok Tionghoa yang menyumbang untuk mengatasi pandemi Rp 2 triliun, lalu terbukti prank, sembari mendiskreditkan pribumi Muslim yang dituduh kurang fair memperlakukan saudara sebangsa dari etnis Tionghoa. 

Padahal mayoritas pribumi Muslim telah berkorban mengatasi pandemi dalam senyap. Muhammadiyah berkontribusi Rp 1 triliun lebih tanpa selebrasi. Belum puluhan ribu relawan di lapangan, ratusan dokter dan nakes mereka yang syahid di garis depan.

Jangan-jangan, pandemi ini berlarut-larut karena kita hanya melirik dimensi sains, itu pun tidak konsisten.  Prokes hanya keras untuk kalangan yang tidak dekat secara politis.  Agama dilirik juga hanya pada sisi yang sesuai syahwat politik.  

 
Padahal, bila pandemi ini teratasi tetapi pada saat yang sama bangsa ini terpecah atau makin jauh dari Tuhan, itu justru musibah yang sesungguhnya.
 
 

Sedang syariah kaffah, yang menggabungkan sains dan tobat sosial, dan di masa lalu terbukti efektif mengatasi pandemi, justru dianggap kuno, bahkan dituding hanya aspirasi ‘kadrun’.

Padahal, bila pandemi ini teratasi tetapi pada saat yang sama bangsa ini terpecah atau makin jauh dari Tuhan, itu justru musibah yang sesungguhnya.

Menjelang dirgahayu Republik Indonesia, mari kita tobat dan hijrah multidimensi sehingga cita-cita kemerdekaan makin dekat. Dan merdeka ini, menjadi berkah dan rahmat Allah bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat