Warga difabel membatik kain di Difabel Zone, Pandak, Bantul, Yogyakarta, Kamis (27/5). Warga penyandang disabilitas membatik dan kemudian di jual ke masyarakat. Sejak 2017 Difabel Zone menjadi rumah untuk berkarya mereka. Bahkan karya mereka sudah menjang | Wihdan Hidayat / Republika

Khazanah

Kaum Difabel Pantang Mengemis di Tengah Pandemi Covid-19

Hidup susah di tengah pandemi Covid-19 tak membuat kaum difabel menyerah menghadapi hidup

"Pemerintah kurang peka." Begitu pernyataan yang dikatakan Dewi Santian, pendiri Solidaritas Difabel Berkarya yang berbasis di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.

Dalam kalimat pendek itu, Dewi mengungkapkan kesulitan yang dihadapi penyandang disabilitas di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala pada masa pandemi Covid-19 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Dewi bersama 18 orang penyandang disabilitas dari kalangan anak-anak, dewasa, dan lanjut usia tinggal di rumah kontrakan yang dijadikan sebagai rumah singgah di Kota Palu. Di antara mereka ada penyandang tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, tunarungu, dan anak lumpuh layu.

Pada masa sulit akibat pandemi Covid-19 ini, Dewi mewakili anggota Solidaritas Difabel Berkarya dan Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Palu dan sekitarnya mengungkapkan, belum ada perhatian dari pemerintah yang sampai kepada mereka. Selama ini mereka lebih banyak mendapat perhatian dari masyarakat umum dan organisasi masyarakat daripada pemerintah.

Di tengah pandemi ini, kondisi penyandang disabilitas sangat terpuruk. Usaha mereka menjual jasa pijat dan berdagang terpukul sampai ke titik terendah.

"Dalam sebulan hanya bisa memijat dua sampai tiga orang. Itu pun hasilnya hanya cukup untuk makan 18 orang di rumah singgah," ujar Dewi saat diwawancarai Republika, Rabu (28/7).

Karena kondisi sudah sedemikian sulit untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, Dewi memanfaatkan media sosial untuk menggalang dana. Ia mengatakan, orang lain meminta di jalan-jalan, sementara komunitasnya meminta di media sosial. Hal itu terpaksa dilakukan karena ada 18 orang penyandang disabilitas yang harus makan setiap hari di rumah singgah.

"Kita tidak meminta bantuan secara cuma-cuma di media sosial. Kita menjual jasa. Mungkin ada orang yang butuh jasa pijat, jasa kami bisa dibayar dengan lauk pauk," ujarnya.

Apa pun mereka lakukan demi bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti makan sehari-hari. Ada yang berkeliling menyusuri jalan dan melewati rumah-rumah untuk menjual jasa pijat. Bahkan, ada yang membersihkan rumah orang lain untuk mendapatkan upah.

Pemerintah, dalam penilaian Dewi, kurang peka terhadap kesulitan para penyandang disabilitas. Pemerintah, menurut dia, hanya fokus kepada mereka yang normal dan sempurna. Padahal, orang-orang yang tidak sempurna ini juga membutuhkan bantuan.

"Kami tidak mengharapkan bantuan materi. Kami (penyandang disabilitas) butuh solusi, apa solusi pemerintah pada masa pandemi untuk kami?" ujarnya.

Solidaritas Difabel Berkarya dan ITMI Kota Palu meminta pemerintah menaruh perhatian terhadap para penyandang disabilitas. Dewi ingin ada komunikasi antara pemerintah dan para penyandang disabilitas. Sebab, tanpa adanya komunikasi, tidak mungkin pemerintah memberikan bantuan dan solusi.

Ia menegaskan, sudah sepantasnya pemerintah menjadi mata, telinga, dan tangan untuk para penyandang disabilitas. “Kalau mereka tidak bisa jadi mata, telinga, dan tangan bagi rakyatnya yang kesulitan, lantas untuk apa ada pemerintah?” katanya.

Sekretaris Jenderal ITMI pusat, Yogi Madsuni, menyampaikan, kondisi penyandang disabilitas saat pandemi dan PPKM memang memprihatinkan. Karena itu, ia meminta pemerintah lebih memperhatikan para penyandang disabilitas.

Yogi juga meminta pemerintah melibatkan komunitas tempat para penyandang disabilitas bernaung dalam menyalurkan bantuan. Sebab, selama ini penyaluran bantuan sering kali tidak tepat sasaran.

Kehidupan difabel netra

Febri Dayanto adalah penyandang disabilitas di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat. Kehidupan Dayanto dan istrinya yang sama-sama difabel netra menjadi semakin sulit di masa pandemi Covid-19 ini.

Nasib Dayanto tidak jauh berbeda dengan para penyandang disabilitas di rumah singgah Kota Palu yang dipimpin Dewi Santian, pendiri Solidaritas Difabel Berkarya dan anggota Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Mereka sama-sama harus berjuang untuk hidup di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Dayanto bekerja sebagai musisi difabel netra di Kabupaten Agam. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia menjual keahliannya sebagai pemain keyboard (organ tunggal) di panggung-panggung hajatan.

Namun, di masa pandemi Covid-19, jumlah hajatan menurun drastis. Pesta pernikahan kini dilakukan dengan protokol kesehatan (prokes) dan tanpa kemeriahan yang disertai penampilan para musisi.

“Sejak ada pandemi Covid-19 ini boleh dikatakan aktivitas kita menurun 75 persen," kata Dayanto saat diwawancarai //Republika//, Rabu (28/7).

Sebelum pandemi, Dayanto bisa tampil bersama grup organ tunggalnya lima sampai enam kali setiap bulannya di pesta pernikahan. Sejak pandemi, dia hanya bisa tampil sekali sampai dua kali saja dalam sebulan.

“Agustus nanti ada satu hajatan yang ingin menyewa jasa organ tunggal kami, itu pun kalau jadi," ujar Dayanto, dengan nada kurang optimistis.

Dalam sekali tampil siang sampai malam, organ tunggal tempat Dayanto mencari nafkah bisa mendapat bayaran Rp 3 juta. Uang tersebut dibagi untuk para personel organ tunggal yang berjumlah delapan orang.

Sejak pandemi melanda negeri ini, ia mengaku hanya mampu menghasilkan uang sekitar Rp 500 ribu per bulan. Uang sebesar itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya yang sama-sama penyandang disabilitas.

Sampai pada suatu masa, Dayanto memutuskan untuk menjual rumahnya. "Kebetulan dulu ada rezeki dari Allah untuk membuat rumah, sekarang di masa pandemi kita jual rumahnya," ujarnya.

Ia mengungkapkan, uang hasil menjual rumah dipakai membayar utang, sisanya disimpan dengan cara membeli tanah agar tidak cepat habis. Dayanto dan istrinya kini tinggal di rumah kontrakan, sambil mengharapkan kondisi perekonomian masyarakat bangkit kembali.

Dayanto menegaskan, pilihannya menjual rumah karena ia enggan meminta-minta di jalan. Dia meyakini, Rasulullah SAW melarang umatnya untuk meminta-minta selagi masih mampu berusaha.

Sebagai ketua wilayah ITMI Sumatra Barat, ia sangat berharap perhatian pemerintah. “Paling tidak samakan kami, orang yang punya kemampuan dan bisa berusaha dapat bantuan, sementara penyandang disabilitas yang kegiatannya terbatas tidak dapat bantuan," katanya.

Dayanto tidak menyalahkan pemerintah. Ia berusaha berpikir positif. Mungkin pegawai pemerintah luput memasukkan nama dirinya sebagai penyandang disabilitas, sehingga tidak bisa mendapatkan bantuan langsung tunai dari pemerintah.

"Harapan kami mudah-mudahan kami (penyandang disabilitas) bisa juga mendapatkan hak kami, kalau bisa pemerintah di desa tidak melupakan kami," ujar Dayanto.

Dewi, penyandang disabilitas di Kota Palu, Sulawesi Tengah juga mengatakan, saat ini sebenarnya bukan tidak adanya bantuan untuk penyandang disabilitas, melainkan mungkin masih kurangnya kepedulian dan kepekaan pemerintah terhadap penyandang disabilitas. Sejauh ini pemerintah hanya fokus penanganan pandemi Covid-19 dan membantu masyarakat umum.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat