Warga berjalan di Jalan Ir H Juanda, Kota Bandung, Rabu (21/7/2021). Relaksasi pengetatan mobilitas masyarakat yang aman dan efektif menjadi kata kunci. | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Tajuk

Menimbang Relaksasi Pengetatan

Relaksasi pengetatan mobilitas masyarakat yang aman dan efektif menjadi kata kunci.

Masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat telah diperpanjang hingga 25 Juli 2021. Presiden Joko Widodo menjelaskan, perpanjangan PPKM Darurat guna menurunkan penularan Covid-19 dan mengurangi kebutuhan masyarakat terhadap pengobatan di rumah sakit.

Kebijakan PPKM Darurat pada 3-20 Juli lalu dinilai berhasil menurunkan jumlah kasus positif Covid-19. Penurunan kasus, di antaranya karena mobilitas masyarakat yang berkurang selama masa PPKM. Mobilitas menjadi perantara penyebaran virus karena masyarakat cenderung mengabaikan protokol kesehatan saat berkerumun.

Penambahan masa PPKM Darurat yang lima hari itu tentu memunculkan pertanyaan, seberapa signifikan untuk melandaikan kasus positif Covid-19, bahkan menurun. Sejumlah kalangan menilai, perpanjangan ini tak cukup efektif membuat jumlah penderita Covid-19 berkurang. Jika ingin menurunkan jumlah kasus secara signifikan, setidaknya dibutuhkan pembatasan darurat beberapa pekan ke depan.

Namun, banyak pihak yang berpandangan, PPKM Darurat pada 3-10 Juli dan perpanjangan hingga 25 Juli pun tidak cukup dalam menurunkan jumlah kasus Covid-19. Jumlah kasus harian memang mengalami penurunan, pasien yang sembuh juga menunjukkan tren peningkatan, angka kematian akibat terpapar Covid-19 juga mulai melandai.

 
Penambahan masa PPKM Darurat yang lima hari itu tentu memunculkan pertanyaan, seberapa signifikan untuk melandaikan kasus positif Covid-19, bahkan menurun. 
 
 

Akan tetapi, angka-angka tersebut menjadi tak bernilai jika positivity rate atau tingkat kasus positif Covid-19 dari mereka yang dites PCR masih tinggi. Beberapa hari terakhir, positivity rate masih di atas 20 persen. Bahkan, jika dirata-ratakan pada 12-18 Juli lebih dari 30 persen. Angka yang menunjukkan tingkat penularan masih di atas ambang batas yang ditoleransi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni di bawah lima persen. Artinya, kerja keras semua pihak tetap diperlukan untuk menurunkan kasus.

Sejak pandemi, pemerintah telah memberlakukan bermacam kebijakan guna menekan penularannya. Mulai dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan kini PPKM Level 1-4. Level menunjukkan tingkat keparahan suatu wilayah dalam penularan kasus Covid-19. Makin tinggi levelnya makin parah kasusnya.

Tentu saja masing-masing istilah kebijakan dalam meredam penularan virus ini punya implikasi yang berbeda. Masing-masing kebijakan itu juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat saat pemberlakuan. Garis kesamaan dalam semua kebijakan itu adalah tujuan yang ingin dicapai, yakni tingkat kasus positif turun, angka kematian berkurang, tingkat keterisian rumah sakit rujukan Covid-19 dalam batas wajar, ekonomi rakyat bergeliat, mobilitas masyarakat terjaga. 

Ada keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan perekonomian. Masyarakat kembali sehat, ekonomi pun pulih. Antara menginjak gas dan rem. Namun, dua sektor ini bisa berjalan seiring bukan hal mudah. Apalagi, jika tingkat kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan masih “angin-anginan”. Sebagian masyarakat disiplin prokes, sebagian lainnya masih abai.

 
Ada keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan perekonomian. Masyarakat kembali sehat, ekonomi pun pulih. 
 
 

Jika sebagian masyarakat masih berkerumun tak pakai masker, sebagian lagi tak menjaga jarak aman dari penularan virus ketika bergerombol, jangan berharap masyarakat kembali sehat dan ekonomi pun pulih. Tak ada toleransi mengabaikan prokes pada masa varian baru virus masih menyebar.

Dalam konteks ini, relaksasi pengetatan mobilitas masyarakat menghadapi tantangan. Semua pemangku kepentingan dalam penegakan prokes mesti tegas. Kerumunan yang mengabaikan prokes mesti dibubarkan, siapa pun itu. 

Namun, aktivitas ekonomi yang menerapkan prokes secara ketat berapa pun skalanya--skala usaha mikro hingga pabrik-- mesti diizinkan, tapi dengan pengawasan intensif otoritas terkait. Ada monitoring dan evaluasi terus-menerus terhadap kegiatan ini, dengan konsekuensi siap ditutup bila memunculkan klaster penyebaran Covid-19.

Sarana dan prasarana kesehatan juga tak boleh gagal dalam menangani pasien, berapa pun jumlahnya. Tempat tidur rumah sakit, tenaga kesehatan, peralatan medis, dan obat-obatan yang diperlukan pasien, jangan sampai tak mencukupi.

Relaksasi pengetatan mobilitas masyarakat yang aman dan efektif menjadi kata kunci. Komitmen dan kekompakan semua unsur masyarakat dalam meredam penyebaran virus merupakan modal awal kesuksesan Indonesia terbebas dari pandemi. Kita bisa jika bersama!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat