Ilustrasi kitab turos Syajaratul M'arif | ANTARA FOTO

Kitab

Karya Besar Sang Sultan Ulama: Syajaratul Ma’arif

Melalui Syajaratul Ma’arif, Syekh al-‘Izz ad-Din menunjukkan Alquran sebagai sumber amal ihsan.

OLEH HASANUL RIZQA

Allah SWT menurunkan Alquran secara berangsur-angsur melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak seperti kitab-kitab suci sebelumnya, Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh insan. Dengannya, umat manusia keluar dari kegelapan, kesesatan, dan keputusasaan, menuju cahaya, kasih sayang, dan ridha-Nya.

Dalam khazanah Islam, ada begitu banyak karya alim ulama yang membahas kemuliaan Alquran. Di antaranya tergolong turats, yakni kitab-kitab peninggalan para cendekiawan dan ahli ilmu dari generasi terdahulu. Salah satu turats yang komprehensif memaparkan isi dan penafsiran ayat-ayat Alquran ialah Syajaratul Ma’arif karya Syekh al-‘Izz bin Abdus Salam (577-660 H).

Penulis buku tersebut memiliki nama lengkap al-'Allamah al-Syaikh al-Imam al-Faqih al-Mujtahid Hujjatul Islam, Syaikhul Islam Izzuddin Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdus Salam bin Abu al-Qasim bin Hasan as-Sulami al-Dimasyqi. Lelaki berjulukan Sulthan al-‘Ulama itu tidak hanya dikenal sebagai sosok yang sangat memahami agama (faqih).

Dalam tradisi ilmu dan ijtihad, ahli mazhab Syafii itu pun memiliki riwayat yang panjang. Di samping itu, pribadinya juga tegas terhadap para raja dan bangsawan pada zamannya.

Di antara banyak bukunya, Syajaratul Ma’arif dapat dipandang sebagai karya monumentalnya. Kitab tersebut seolah-olah menyaripatikan buku-buku karya Syekh al-‘Izz lainnya, seperti Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Al-Kubra wa al-Shughra, Al-Maqashid, dan Maqashid al-Ri'ayah.

Seorang ulama nasional, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha memuji Syajaratul Ma’arif, “Kitab ini sebagai metode terbaik dalam ilmu tafsir.”

Secara filologis pun, buku ini amat berharga. Naskah aslinya disebut-sebut tersebar pada banyak perpustakaan. Sebuah manuskripnya berada di Perpustakaan Escorial, Spanyol. Naskah lainnya berupa tulisan tangan di al-Makhthuthat al-‘Arabiyah, Kairo, Mesir.

Manuskrip itu terdiri atas 109 lembar dengan tulisan pada dua sisi kertas yang sebagiannya dilengkapi tanda baca Arab, ditulis pada 655 Hijriyah atau lima tahun sebelum sang syekh wafat.

Kandungan Syajaratul Ma’arif terdiri atas 20 topik utama. Secara garis besar, semuanya mengulas perihal akhlak, syariat tentang hati dan jasmani, perintah dan larangan batin, bentuk-bentuk ihsan, hingga sifat warak. Itu ditambah pula dengan mukadimah dan riwayat singkat Syekh al-‘Izz.

Kitab tersebut telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Salah satu terjemahan yang cukup baik dalam hal ini ialah terbitan Pustaka al-Kautsar yang diberi judul, Syajaratul Ma’arif: Tangga Menuju Ihsan (2008).

Dalam kata pengantar penerbit, disebutkan bahwa Syajaratul Ma’arif dapat disejajarkan dengan kitab-kitab turats lainnya, semisal Bulugh al-Maram, Zadul Ma’ad, atau Riyadh ash-Shalihin. Bahkan, boleh jadi karya Syekh al-‘Izz ini lebih variatif dan menarik.

Sebab, sering kali dalam pemaparannya sang syekh menyajikan kesimpulan yang mendetail. Itu membuktikan dirinya sebagai seorang mujtahid yang sangat menguasai pelbagai ilmu keislaman.

 
Penulisan buku tersebut tidak seperti umumnya kitab-kitab fikih dan hadis.
 
 

Penulisan buku tersebut tidak seperti umumnya kitab-kitab fikih dan hadis. Sebab, Syekh al-‘Izz merunutkan bab per bab dalam naskahnya dengan ijtihadnya. Pada setiap akhir bab itu, ia memberikan kesimpulan dengan mengutip nash-nash Alquran yang relevan dengan pembahasan. Karena itu, cakupan Syajaratul Ma’arif bisa dibilang lebih luas daripada turats lainnya, seperti Riyadh ash-Shalihin.

Dalam menyajikan karyanya, penulis selalu bersandar pada tiga hal sekaligus, yakni ayat-ayat Alquran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, serta kaidah-kaidah ilmu ushul. Maka dari itu, semua kesimpulan yang dibuatnya dalam setiap bab begitu komprehensif.

Kejeliannya sebagai seorang alim sangat terlihat melalui kitab tersebut. Sebagai contoh, jarang sekali dirinya mengutip hadis di luar yang bersumber Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Alhasil, pembaca akan sangat sukar mendapati adanya hadis-hadis lemah dalam Syajaratul Ma’arif.

photo
Melalui buku ini, Syekh al-Izz bin Abdus Salam memaparkan topik-topik keagamaan secara bernas. Karya Sultan Ulama - (DOK PRI)

Dari hati

Menurut Syekh al-‘Izz bin Abdus Salam, seorang Muslim hendaknya memeriksa hatinya terlebih dahulu sebelum berinteraksi dengan Alquran. Dalam bab awal kitab Syajaratul Ma’arif, ia mengingatkan pembaca bahwa pangkal segala kebaikan dan juga keburukan adalah hati.

Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, seluruh jasad pun akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila daging itu buruk, seluruh jasad pun akan buruk. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati.” (HR Bukhari).

Maka, betapa pentingnya berangkat dari hati yang bersih. Syekh al-‘Izz menuturkan, baiknya hati itu ada dua, yakni terbatas dan transitif. Watak yang pertama seperti ilmu dan keyakinan. Adapun yang kedua berarti mempengaruhi yang lain, seperti keinginan untuk rendah hati dan berbuat baik.

Sangatlah wajar bila Alquran sebagai penuntun hidup manusia sangat mudah didekati oleh hati yang jernih. Lewat pendekatan hati ini, kedalaman ajaran dan ketinggian risalah Ilahiah akan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 
Syekh al-‘Izz menunjukkan bahwa Alquran menyeru kepada umat manusia untuk beriman dan beribadah dengan penuh kualitas. 
 
 

Masih dalam Syajaratul Ma’arif, Syekh al-‘Izz menunjukkan bahwa Alquran menyeru kepada umat manusia untuk beriman dan beribadah dengan penuh kualitas. Artinya, ibadah tidak sekadar yang tampak di mata, tetapi juga didorong oleh hati yang ikhlas.

Sikap merendahkan diri di hadapan Allah SWT merupakan cerminan kualitas tersebut. Ciri ini sungguh sejalan dengan makna Islam, yaitu mengajak manusia untuk memasrahkan diri seutuhnya kepada Allah Ta’ala. “Harapan pada-Nya jauh lebih baik dari segala harap, berdoa pada-Nya lebih indah dari semua doa, menangis pada-Nya lebih utama dari segala tangis,” tulis sang syekh.

Penulis turats tersebut juga mengajak pembaca untuk merenungi sifat-sifat rububiyah Allah. Menurutnya, yang paling utama dari sifat-sifat itru ialah Kemaha-adilan-Nya. Secara etimologis, adil berasal dari kata ’adl yang berarti ‘tidak berat sebelah’, ‘tidak memihak'.

Secara terminologis, ’adl bermakna mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun ukuran, sehingga tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpegang pada kebenaran. Pengertian lain dari adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wad syai’fi maqamih).

 
Harapan pada-Nya jauh lebih baik dari segala harap, berdoa pada-Nya lebih indah dari semua doa, menangis pada-Nya lebih utama dari segala tangis.
 
 

Allah SWT bersifat Yang Maha Adil dan Bijaksana terhadap semua hamba-Nya. Alllah tidak mempunyai kepentingan apa-apa dari perbuatan yang dilakukan oleh makhluk-Nya. Jika manusia berbuat kebaikan, itu tidak akan memengaruhi Kemahaadilan-Nya.

Demikian pula ketika manusia berlaku zalim kepada-Nya, tidak akan mengurangi Kemahaadilan-Nya itu. Apa yang diperbuat manusia, apakah itu kebaikan atau kezaliman, hasilnya akan diterima si manusia itu sendiri.

Dengan mengetahui keadilan-Nya, tulis Syekh al-‘Izz, seseorang akan takut berbuat zalim. Begitu pula, keadilan-Nya memberikan harapan bagi mereka yang dizalimi. Maka dari itu, siapa pun Muslim hendaknya memutuskan dengan adil setiap perkara yang dihadapkan kepadanya. Kecenderungan untuk berbuat adil pun harus tetap ada walaupun hal itu dilakukan terhadap musuh atau orang kafir.

Setelah memeriksa hati diri sendiri serta mengetahui sifat-sifat Allah, maka seorang Mukmin seyogianya mengutamakan ilmu. Menurut sang syekh, sebaik-baik orang beriman ialah yang memiliki irfan, yakni pengetahuan yang mendalam. Dan, sebaik-baik irfan adalah mengetahui Tuhan.

 
Sebaik-baik orang beriman ialah yang memiliki irfan, yakni pengetahuan yang mendalam. Dan, sebaik-baik irfan adalah mengetahui Tuhan.
 
 

Dengan pengetahuan tersebut, dirinya akan sampai pada keadaan ihsan, yang lalu membuatnya tergolong manusia yang dicintai Allah. “Dan berbuat baiklah (ihsanlah). Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (QS al-Baqarah: 195).

Syekh al-‘Izz menegaskan, yang dimaksud dengan ihsan adalah melakukan sesuatu demi menggapai maslahat di dunia dan akhirat atau salah satu dari keduanya. Ihsan berarti pula mencegah dari kerusakan. Setiap orang yang taat kepada Allah sebenarnya dia telah melakukan ihsan pada dirinya sendiri. Maka, ketaatan pribadi yang dia lakukan pun bisa memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan.

Inilah maslahat yang sesungguhnya. Lawannya ialah mafsadat atau kerusakan. Keinginan untuk menimbulkan bahaya adalah sebuah kejahatan.

Berbuat ihsan pun bisa dilakukan dengan tegas dan keras. Sebagai contoh, memotong tangan memang adalah sebuah perkara yang menimbulkan kerusakan, yakni bagi korban. Akan tetapi, cara tersebut bila menjadi hukuman bagi pencuri bisa menjadi sebab terjaganya kehidupan.

Contoh lain, mendidik anak dengan memukul kakinya bila enggan mendirikan shalat, bisa menjadi sebuah kebaikan. Sebab, si anak akan terdidik untuk condong pada kebaikan dan mencegah dari kemalasan.

DATA BUKU

JUDUL: Syajaratul Ma’arif: Tangga Menuju Ihsan

Penulis: Syekh al-‘Izz bin Abdus Salam

Penerjemah: Samson Rahman MA

Penerbit terjemahan: Pustaka al-Kautsar

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat