Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Miss Covid dan Ego Semasa Pandemi

Sejak pandemi merebak, Miss Covid sama sekali tidak ambil pusing soal korona.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Sebuah teks pesan masuk ke ponsel kakak. Pengirimnya, seorang kuli bangunan yang sering mengerjakan renovasi rumah.

“Pak, saya sakit dan tidak ada kerjaan, bisa dibantu?” Kakak saya segera bertanya balik, penyakit apa yang diderita.

Menit berikutnya lelaki berusia separuh abad itu mengerutkan kening membaca deskripsi yang diberikan. Demam, tenggorokan sakit, dada sesak, dan sederet keluhan lain yang menjurus ke rangkaian gejala penyakit yang disebutkan virus Sars-CoV-2.

Tidak mutlak, tapi dengan simptom demikian selama pandemi, rasanya harus  mendapat perhatian khusus. Maka kakak yang beberapa bulan sebelumnya pernah positif Covid-19, memberikan nasihat, “Khawatirnya kena Covid.”

Lalu menganjurkan segera tes PCR. Mendengarnya, sang pekerja malah bertanya balik, “Covid itu apa, Pak?” Tentu saja kakak spontan tercengang.

 
Satu hal yang lebih mengejutkan kakak, gejala serupa juga dialami hampir seluruh tetangga sekitarnya.
 
 

Benar saat ini lelaki yang sering membantunya itu tinggal di kampung, tapi sudah lama sebenarnya tinggal di kota besar, daerah perbatasan Jakarta dan  Depok. Rasanya mustahil sampai sama sekali asing dengan istilah Covid-19.

Walau heran, kakak dengan sabar menjelaskan soal Covid-19, korona dan wabah saat ini. Mendengar penjelasan itu, sang kuli berangsur menyadari  kemungkinan ia mengidap penyakit akibat virus yang salah satu variannya saat ini menyerang begitu brutal.

Satu hal yang lebih mengejutkan kakak, gejala serupa juga dialami hampir seluruh tetangga sekitarnya. “Di sini sekampung pada sakit sama kayak saya, Pak!”

Mendengar itu Kakak kembali menyarankan PCR. Bahkan menawarkan untuk membiayai. Namun uluran kepedulian itu tidak menuai sambutan baik. Sang tukang sebaliknya langsung menolak. “Wah kalau uang buat test saya nggak mau, Pak!”

Kenapa? ”Panjang lebar, lelaki berkulit gelap yang terbiasa terjerang matahari, menuliskan. “Kalau nanti hasil tesnya saya sakit korona, saya pasti dijauhi tetangga di sini. Orang-orang pada nggak ada yang mau mendekat.”

Tapi tes diperlukan hingga seseorang bisa memutuskan perlu isolasi mandiri atau tidak, perlukah menghindar sementara untuk menjaga keluarga agar tidak tertulari, juga mempertimbangkan jika anggota keluarga mungkin harus menjalani tes serupa. 

 
Tapi tes diperlukan hingga seseorang bisa memutuskan perlu isolasi mandiri atau tidak.
 
 

“Saya mending tidak tahu daripada dijauhi orang, Pak!”

Pembicaraan berakhir mengecewakan. Kami yang mendapatkan oleh-oleh kisah ini hanya bisa memendam kekhawatiran. 

Bagaimana nasib masyarakat di kampung tersebut? Bagaimana jika mereka yang positif Covid-19 berkeliaran? Jika banyak yang satu pikiran dengan kuli bangunan tadi, tidakkah ini sebuah musibah yang membahayakan?

“Bukan nggak ikhlas menerima takdir Allah,” tuturnya melalui perbincangan di telepon, masih dengan nada mengeluh. Bukan karena penyakitnya melainkan bagaimana ia tertular. “Ini gara-gara Miss Covid!” cetusnya sebal. 

Lalu mengalirlah cerita tentang sosok tetangga, pemilik salah satu rumah paling besar di kompleksnya. Ada alasan ibu muda berwajah manis itu dijuluki Miss Covid dan menjadi pembicaraan di grup Whatsapp lingkungan warga setempat.

Sejak pandemi merebak, Miss Covid sama sekali tidak ambil pusing soal korona. Sering keluar, bahkan tanpa masker. Berkumpul, membuat berbagai kegiatan yang mengundang tetangga, menggagas acara keluar kota bersama, dan berbagai perilaku yang membuat resah sebagian pihak yang kian was-was dengan wabah. 

 “Benar, kan suatu hari dia sendiri kena Covid!” ujar sahabat saya masih dengan nada kesal. 

 
Sejak pandemi merebak, Miss Covid sama sekali tidak ambil pusing soal korona. 
 
 

Hasil tes positif tidak membuat langkah Miss Covid terhenti. Dia tetap santai saja bertamu ke tetangga, termasuk ke sahabat saya tadi, tanpa memberi tahu dia sebetulnya sudah positif dan seharusnya menjalani isolasi mandiri di rumah. 

Salahnya, sahabat saya dan banyak tetangga, walau sejatinya tidak lagi menerima tamu, karena rasa sungkan, akhirnya menerima kedatangan si Miss Covid. Tidak ada kepentingan khusus, perbincangan santai ke sana ke mari. 

Masyarakat tersentak saat Bapak Mertua si Miss Covid meninggal karena Covid-19. Belakangan perempuan muda itu mengakui dia dan keluarga semuanya positif sejak sepekan lalu. Walau kehilangan anggota keluarga, Miss Covid tak mengubah kebiasaannya.

 “Gara-gara dia, Mbak, saya dan suami lalu dua anak sekarang positif!”

Saya mengerti, tidak semua orang siap mengumumkan secara terbuka ketika mendapatkan hasil positif. Beberapa  teman sekolah, misalnya, baru bercerita setelah mereka negatif.

Alasan lain mereka tidak ingin merepotkan, sebab pasti banyak yang lebih butuh mendapatkan perhatian. Bedanya, dengan kesadaran sendiri mereka menahan langkah dan melakukan isoman di rumah sampai selesai, sehingga tidak membahayakan orang banyak. 

Namun Miss Covid? Ah, sejujurnya saya tidak mengerti lagi, apa yang akan menggugah perempuan itu untuk menyadari betapa riskan tindakannya selama ini. “Barangkali yang seperti ini harus didemo tetangga satu kompleks ya Mbak?” pukas sahabat saya kecut. 

Sungguh tidak habis pikir bagaimana seseorang yang jelas-jelas memegang hasil positif, tapi karena bosan terkurung di rumah, memutuskan bersikap seenaknya sendiri dan berkeliaran dengan virus mematikan di tubuhnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat