Relawan mempersiapkan makanan untuk diberikan kepada warga yang menjalani isolasi mandiri (isoman) di Denpasar, Bali, Kamis (15/7/2021). | ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Opini

Kompak Melawan Wabah

Boleh jadi, wabah yang terus bertahan menjadi ujian kekompakan bangsa.

ASEP SUMARYANA, Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

Agaknya kepanikan semakin besar. Bed occupancy rate (BOR) di sejumlah rumah sakit pun mulai tinggi akibat peningkatan tajam korban Covid-19 yang harus dirawat. Korban meninggal pun terus bertambah.

Seliweran ambulans, pengumuman masjid, serta bendera kuning pun kerap penulis perhatikan. Sejumlah permakaman diduga sudah mulai penuh. PPKM Darurat pun diberlakukan setelah sejumlah kebijakan sebelumnya belum juga menunjukkan hasil memuaskan.

Harapannya, perkembangan wabah dapat ditekan agar warga segera lepas dari bencana yang ada. Sayangnya, beragam keberatan dan pro-kontra terus mewarnai implementasinya sehingga persepsi dan perilaku belum harmonis sehingga keefektifan kebijakan terancam.

Melepuh  

Boleh jadi, wabah menjadi perkasa akibat kekompakan tidak terbangun di kalangan warga yang diancamnya. Seperti halnya kekuatan penjajah pun terus perkasa akibat kemampuan divide et impera terus berkembang.

 

 
Boleh jadi, wabah menjadi perkasa akibat kekompakan tidak terbangun di kalangan warga yang diancamnya.
 
 

Demikian halnya tatkala menanam padi tidak kompak maka hama pun terus merajalela. Kekompakan penting dibangun sejak awal dan terus dimatangkan, tidak saja di kalangan internal pemerintah, tetapi juga kalangan yang mengitarinya.

Sebagai pengelola negeri, pemerintah memiliki otoritas besar sebagai superbodi. Jika mengikuti alur filosofi jemari, pemerintah ibarat ibu jari yang bisa meliputi jari lainnya tatkala dikepalkan. Ada akademisi, komunitas, pengusaha, dan warga lainnya.

Kesemuanya menjadi bagian penting yang harus dikepalkan oleh pemerintah agar memiliki sikap dan pandangan yang sama. Dengan demikian, komunikasi perlu dikembangkan untuk memperoleh kesamaan pandangan dari semuanya.

Menurut Edward III (1980), transmiter berperan penting agar dapat menularkan pesan dari sumbernya secara jelas dan konsisten. Dalam konteks tersebut, pesan PPKM Darurat pun perlu disikapi sama jika transmiter dapat menyampaikannya dengan baik.

Dalam konteks tersebut, warga akan menjalankan kebijakan tatkala tidak terjadi simpang siur pemberitaan yang diterimanya seperti kasus dokter Louis. Untuk itu, sejumlah kepentingan penyerta menjadi gangguan yang dapat memperlambat pencapaian tujuan.

 
Aspek netralitas, akuntabilitas, dan transparansi penting agar kebijakan dapat dijalankan dengan kekompakan seluruh jajarannya.
 
 

Untuk dapat mempertinggi kepatuhan, bukan saja ketegasan aparatur di lapangan, melainkan juga kemampuan mengikat elemen yang ada dengan mempersatukan akademisi yang berangkat dari kajian ilmiah tentang pandemi, baik secara medis, sosial, maupun ekonomis.

Kajian seperti itu dikonsolidasikan di internal pemerintah, komunitas, serta pebisnis untuk menentukan sasaran yang disepakati bersama. Dengan penentuan di atas, pemerintah perlu berhitung modalitas yang dimiliki dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.

Aspek netralitas, akuntabilitas, dan transparansi penting agar kebijakan dapat dijalankan dengan kekompakan seluruh jajarannya seperti Sutor (1991) tuliskan.

Aspek tersebut berkaitan dengan integritas publik agar setiap elemen yang terlibat dalam implementasi kebijakan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara serta mengesampingkan urusan lain, yang dapat melepuhkan tujuan bersama.

Bijaksana

Tak berlebihan, jika aspek di atas penting dalam mengalkulasi kompetensi pelaksana PPKM Darurat agar tidak terjadi kasus Paspampres. Selain kompetensi teknis, kompetensi etika pun lebih penting agar memperlakukan sasaran secara manusiawi dan etis.

Maka itu, tak berlebihan jika Bowman (2010) menempatkan keduanya bertali temali dengan leadership agar dalam melaksanakan tugas, kemampuan menjelaskan dan memengaruhi pihak lain untuk patuh menjadi utama.

 
Sejumlah ”perlawanan” dari sejumlah pihak bisa jadi gayung bersambut dengan kekompakan yang tidak terbangun dengan baik. Hal demikian berkaitan dengan pelibatan emosi dalam setiap eksekusi kebijakan apa pun.
 
 

Sejumlah ”perlawanan” dari sejumlah pihak bisa jadi gayung bersambut dengan kekompakan yang tidak terbangun dengan baik. Hal demikian berkaitan dengan pelibatan emosi dalam setiap eksekusi kebijakan apa pun.

Untuk itu, perlu kecerdasan sosial seperti Goleman (2004) agar kebijakan tak berbiaya banyak dengan hasil rendah atau malah inkremental. Saat kecerdasan sosial memadai, pengendalian emosional terwujud sehingga benturan di lapangan bisa ditekan.

Dengan kecerdasan di atas, kemampuan memperbesar tanggung jawab sosial bisa dibangun. Dengan tanggung jawab tersebut (Mintzberg, 1996), kepentingan diri dan kelompok dikorbankan demi kepentingan bangsa dan negara.

Jika keselamatan dan kesehatan bersama menjadi kepentingan tersebut, tidak boleh ada yang berani memancing di air keruh sehingga sikap, sabda, dan perilakunya mementahkan wibawa kebijakan yang dijalankan.

Boleh jadi, wabah yang terus bertahan menjadi ujian kekompakan bangsa. Boleh jadi, bagi sejumlah elemen menjadi peringatan agar Covid-19 tidak disikapi berdasarkan kepentingan diri dan golongan, baik secara politis, ekonomis, maupun birokratis.

Dengan bertumpu pada kepentingan bersama di bawah kendali pemerintah sebagai dirigen, wabah harus disikapi kompak dengan usaha dan doa. Semua patut berlapang dada untuk menyadari kesalahannya sehingga kekompakan melawan wabah terbangun. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat