Muhammad Asad al-Bugisi merupakan seorang anregurutta atau ulama besar dari Sulawesi Selatan. | DOK UNIV ISLAM MAKASSAR

Mujadid

Muhammad As’ad al-Bugisi, Gigih Berdakwah di Tengah Umat

Ulama dari Sulawesi Selatan ini sempat menikmati pendidikan agama di Makkah al-Mukarramah.

OLEH MUHYIDDIN

Syiar Islam di Nusantara tentunya tidak lepas dari peran kaum ulama. Di Sulawesi Selatan, banyak pula mubaligh yang telah berkhidmat dalam dunia dakwah. Di antara tokoh-tokoh penting dalam sejarah Tanah Bugis ialah Anregurutta Muhammad As’ad al-Bugisi.

Ia merupakan salah seorang ulama berdarah Bugis. Tempatnya lahir dan tumbuh besar memang di luar negeri, tepatnya Makkah al-Mukarramah, Arab. Kendati demikian, dirinya memiliki jejak kiprah atau pengaruh besar di Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Tidak sedikit ulama Bugis yang pernah berguru kepadanya.

Nama lengkapnya adalah Muhammad As'ad bin Abdul Rasyid al-Bugisi. Masyarakat lokal kerap memanggilnya dengan sebutan Anregurutta, yang berarti ‘maha guru kita.’ Ia dikenal sebagai tokoh pendidik yang fenomenal di Sulawesi Selatan.

Anregurutta Muhammad As’ad lahir di Makkah pada 12 Rabiul Akhir 1326 H/1908 M. Ayahnya, Syekh Haji Abdul Rasyid, adalah seorang ulama Bugis yang cukup lama bermukim di Makkah, Sementara itu, ibunya bernama Hajjah Saleha binti Haji Abdur Rahman.

Sejak kecil, As’ad telah dididik dalam lingkungan islami. Hari-harinya banyak dihabiskan di Masjidil Haram, menimba ilmu dari para alim ulama setempat. Karena itu, tak heran jika dalam dirinya sudah tumbuh kecintaan akan agama. Saat berusia 14 tahun, lelaki ini telah mampu menghafal Alquran 30 juz. Pernah pula dirinya dipercaya sebagai imam shalat tarawih di Masjidil Haram.

Awalnya, As’ad kecil hanya memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya sendiri. Kemudian, ia belajar di Madrasah al-Falah, salah satu lembaga kaderisasi ulama yang saat itu sangat masyhur di kota kelahiran Nabi SAW. Saat berusia 15 tahun, kemampuannya terbukti cukup mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu agama.

Hamzah Manguluang dalam buku Riwayatku dan Riwayat Guru Besar KH M As'ad menjelaskan, As’ad belajar langsung pada orang tuanya dengan membaca banyak kitab. Sebut saja, Safinah an-Najah, Zubdah al-Aqa'id, Jurumiyah, Syarh Dahlan, dan lain-lain. Pada 1924, pemuda ini sudah mampu menghafal kitab Alfiah atau 1000 bait matan yang sangat populer bagi pembelajar nahwu dan sharaf.

Selama di Makkah, As’ad aktif mengikuti pengajian halaqah di masjid. Karena sudah begitu cintanya akan ilmu agama, dirinya lebih suka menghabiskan waktu dengan mengunjungi majelis para ulama ulama. Bahkan, ia melawat ke Kota Madinah al-Munawwarah hanya untuk memenuhi rasa hausnya akan ilmu.

Para ulama yang tercatat pernah menjadi gurunya di Makkah adalah Syekh Hasyim Nadhirin, Syekh Umar Hamdani, Syekh Jamal al-Malikiy, Syekh Said al-Yamani, Syekh Hasan Yamani, Syekh Hasan Abdul Jabbar, dan Syekh Ambo Wellang al-Bugisi.

Selain itu, As’ad juga pernah berguru kepada salah seorang ulama besar pada zamannya, yaitu Sayyid Ahmad Syarif al-Sanusi. Setelah mendapat ijazah dari gurunya tersebut, dirinya pun berhak untuk memberikan fatwa di Makkah. Akan tetapi, jalan yang dipilihnya adalah mengamalkan ilmu di tanah leluhurnya, Sulawesi Selatan.

As’ad pertama kali menginjakkan kaki Indonesia pada 1928 M. Daerah tujuannya saat itu ialah Sengkang Wajo, Sulawesi Selatan. Berbekal ilmu agama yang mendalam dan semangat berdakwah, ia pun mulai mengadakan pengajian terbuka. Lambat laun, ketokohannya kian diterima masyarakat lokal. Keaktifannya mensyiarkan agama ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan selalu direspons baik oleh penduduk.

Penggerak dakwah

Anregurutta Muhammad As’ad adalah seorang tokoh ulama yang sangat masyhur di Tanah Bugis. Hal itu ditandai dengan keberhasilannya dalam mewujudkan program-program yang dicanangkan dalam berbagai aspek, seperti dakwah, pendidikan, dan tahfiz Alquran.

Setelah pulang dari Makkah, Muhammad As’ad tidak langsung pergi ke kampung halaman orang tuanya di Tosora. Ia terlebih dahulu menetap di Sengkang Wajo yang saat itu merupakan pusat Kerajaan Wajo. Di daerah inilah, sang mubaligh memulai kiprahnya sebagai pengajar di majelis taklim milik iparnya, Haji Sahabuddin (wafat 1943).

Selain itu, As’ad juga melakukan dakwah ke berbagai daerah. Beberapa kali dalam perjalanan, dirinya membongkar tempat ritual syirik dan penyembahan berhala-berhala di sekitar Sengkang. Pada tahun pertama gerakan dakwahnya, ia bersama santri-santrinya telah berhasil melenyapkan sekira 200 tempat ritual-ritual musyrik.

Pada 1930, ia kemudian membuka sistem pendidikan formal dalam bentuk madrasah di samping Masjid Jami Sengkang yang diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Madrasah ini lah yang menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren As’adiyah.

Atas bantuan pemerintah Kerajaan Wajo bersama tokoh agama dan masyarakat, Anregurutta Muhammad As’ad kemudian mendirikan bangunan madrasah tersebut secara permanen. Melalui lembaga pendidikan inilah As’ad banyak melahirkan generasi ulama penggerak dakwah Islam pada paruh kedua abad ke-20 di Sulawesi Selatan.

Di antara santri-santrinya yang menjadi ulama masyhur adalah Abdurrahman Ambo Dalle yang mendirikan Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) dan Daud Ismail yang mendirikan Pondok Pesantren Yasrib Soppeng. Kedua santri inilah yang juga membantu As’ad mengembangkan MAI Sengkang.

 
Selain mendirikan pesantren dan madrasah, As’ad juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an.
 
 

Selain mendirikan pesantren dan madrasah, As’ad juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an. Lembaga ini juga dipimpin langsung olehnya dan bertempat di Masjid Jami Sengkang.

Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang, Ilham Kadir dalam tulisannya menjelaskan, setidaknya ada lima tahapan dalam program pendidikan yang didirikan Muhammad As’ad di MAI Sengkang, yaitu Tahdiriyah tiga tahun, Ibtida’iyah empat tahun, I’dadiyah satu tahun, Tsanawiyah tiga tahun, dan Halaqah Khusus dan Praktik Lapangan tiga tahun.

Pendidikan kader ulama tersebut bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Dengan demikian, maka akan lahir manusia yang bertakwa, berilmu, berakhlak mulia, serta bertanggung jawab atas pembangunan agama, bangsa, dan negara Republik Indonesia.

Untuk mencapai tujuan itu, Muhammad As’ad juga membuka Majelisul Qurra’ Wal-Huffazh yang mengajarkan “Ilmu Duabelas” yang meliputi ilmu nahwu, sharraf, bayan, ma’ani, badi’, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, musthalah hadits, tauhid, dan mantiq. Selain itu, Ia juga mendidik para santrinya untuk membangun jaringan ulama agar kerja-kerja keumatan dapat dilakukan bersama.

 
Dalam menjalankan program pendidikannya, Muhammad As’ad lebih banyak menekankan pada aspek adab santri.
 
 

Dalam menjalankan program pendidikannya, Muhammad As’ad lebih banyak menekankan pada aspek adab santri. Semua tingkah laku santri akan dinilai, mulai adab belajar, adab berbicara, mimik muka, cara memandang, cara tidur, cara belajar, cara bersikap dengan guru dan teman-teman, serta cara makan dan lainnya.

Semua aspek adab itu diukur dengan menggunakan standar nilai seorang ulama. Sebab, memang para santri dilatih sejak dini untuk menjadi ulama. Bahkan, Anregurutta Muhammad As’ad pernah mengusir dan memulangkan seorang santrinya hanya karena bercanda dan bermain-main waktu makan.

Dalam mendidik,s As’ad juga sangat menekankan pentingnya waktu. Para santri didik dengan disiplin waktu yang ketat. Karena, seorang santri tidak boleh menyia-nyiakan waktunya dalam menuntut ilmu.

Dalam mendidik para santrinya, Muhammad As’ad bukan hanya menyiapkan mereka menjadi orang baik untuk diri sendiri. Tetapi, para calon ulama itu pun disiapkan untuk siap terjun ke masyarakat, untuk melakukan perubahan.

Karena itu, dibentuklah lembaga khusus yang diberi nama "Jama’ah Tabligh". Di lembaga itulah, para kader ulama diuji kemampuannya untuk terjun berdakwah di tengah masyarakat. Jamaah tabligh ini dipimpin langsung oleh Anregurutta Muhammad As’ad.

Melihat sejarah perjuangannya, Muhammad As’ad memang terbukti sebagai seorang ulama dan pendidik yang hebat. Saat berusia 45 tahun, ia telah meninggalkan karya nyata dalam dunia pendidikan dan dakwah di Indonesia. Hingga kini, karya-karyanya masih terus dipelajari.

 
Saat berusia 45 tahun, ia telah meninggalkan karya nyata dalam dunia pendidikan dan dakwah di Indonesia. Hingga kini, karya-karyanya masih terus dipelajari.
 
 

Konsep kaderisasi ulama yang menekankan pada disiplin penerapan adab masih tetap penting untuk diterapkan. Penghargaan terhadap waktu yang begitu tinggi juga patut untuk selalu diteladani. Begitu pula dalam hal ketekunan beribadah dan kegigihan menyebarkan Islam di tengah masyarakat.

Selama terjun di dunia pendidikan, Anregurutta Muhammad As’ad telah mendidik dan mencontohkan bahwa pendidikan akan sukses ketika keikhlasan dan kesungguhan diterapkan. Namun, pendidikan akan rusak jika motif-motif duniawi sudah mendominasi dunia pendidikan.

Setelah lama berdakwah lewat pendidikan, Anregurutta Muhammad As’ad akhirnya dipanggil Allah SWT pada 12 Rabiul Akhir 1372 H/ 1952 M di usianya yang ke-48 tahun. Sesaat sebelum wafat, ia sempat berwasiat agar madrasah dan pesantren yang didirikannya dilanjutkan pembinaannya oleh dua santri seniornya yang bernama AGH. Daud Ismail dan AGH. M. Yunus Martan.

Telah banyak jasa-jasa Anregurutta Muhammad As’ad terhadap negara dan bangsa ini. Karena itu, pada 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepadanya.

Mengenai kehidupan rumah tangganya, Anregurutta Muhammad As’ad menikah sebanyak empat kali selama hidupnya. Pertama, ia menikah dengan seorang gadis bernama Sitti Hawan di Makkah saat usianya 17 tahun. Dari penikahannya ini, ia dikarunia dua anak.

Setelah pulang ke Tanah Air, ia menikah untuk kedua kalinya dengan seorang gadis Bugis bernama Syahri Banon dan melahirkan seornag putra bernama Muhammad Yahya. Pada 1933, ia menikah lagi dengan seorang wanita dari Pancana Baaru yang bernama Daeng Haya dan dikaruniai 10 anak. Sedangkan istrinya yang terakhir bernama Sitti Nuriyah dan tidak dikaruniai anak.

photo
ILUSTRASI Seorang jamaah memotret bagian dari sebuah masjid di Makassar, Sulawesi Selatan. Daerah berjuluk Tanah Bugis ini merupakan tempat kelahiran banyak ulama besar, termasuk anregurutta Muhammad Asad al-Bugisi. - (DOK ANTARA Abriawan Abhe)

Simpul utama jaringan ulama Nusantara

Anregurutta Muhammad As’ad adalah pendiri As’adiyah, salah satu organisasi keislaman berhaluan ahlussunnah wal jamaah (aswaja) di Sulawesi. Selain itu, dia juga merupakan pendiri Pesantren As’adiyah yang terletak di Wajo, Sulawesi Selatan. Keilmuannya tidak diragukan lagi di kalangan ulama nusantara.

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Makassar (UIM), M Nasir Baharuddin dalam artikelnya bahkan menyebut Muhammad As’ad sebagai salah satu kunci utama jaringan intelektual ulama Sulawesi-Nusantara-Timur Tengah di awal abad ke-20. Artinya, kata dia, para ulama Nusantara saling mengakui dan mengambil banyak manfaat dari karya-karya ulama pendahulu atau sezaman dengan mereka.

Salah satu karya As’ad yang dijadikan rujukan ulama Nusantara adalah Mahya’ al-Taisir fi ‘ilm al-Tafsir. Kitab ini dikutip oleh Ulama asal Rembang, KH Bisri Musthafa dalan kitabnya yang berjudul Al-Iksir fi Tarjamah ‘Ilm al-Tafsir.

Salah satu peneliti Ulama Nusantara, Zainul Milal Bizawie menyampaikan bahwa terdapat informasi menarik yang disampaikan oleh KH Bisri Musthafa terkait salah satu rujukan yang ia gunakan dalam kitab Al-Iksir, yaitu Mahya’ al-Taisir fi ‘Ilm al-Tafsir.

Selama berdakwah di Tanah Air, sang anregurutta Muhammad As’ad memang memiliki kebiasaan menulis. Selama hidupnya ia telah menghasilkan sekitar 24 kitab. Kitab-kitab tersebut menggambarkan sisi kemapanan intelektualnya dalam berbagai bidang ilmu agama.

 
Selama hidupnya ia telah menghasilkan sekitar 24 kitab. Kitab-kitab tersebut menggambarkan sisi kemapanan intelektualnya dalam berbagai bidang ilmu agama.
 
 

Salah satu kemapanan intelektual Anregurutta As’ad dapat dilacak dari kitabnya yang berjudul Al-Ajwibah al-Mardiyyah. Di dalamnya, ia mengutip pendapat puluhan ulama dan mematahkan pendapat ulama-ulama yang tidak mewajibkan bahasa Arab dalam khutbah Jumat.

Sedangkan karyanya yang membuktikan As’ad sebagai seorang mufassir adalah Tafsir Surah al-Naba’. Sementara, karyanya tentang ushul tafsir termuat dalam kitab al-Kaukab al-Munir yang memberi isyarat bahwa Anregurutta As’ad sangat menguasai metodologi tafsir.

Selain itu, Anregurutta As’ad juga bisa dibilang seorang penulis syair yang ulung. Karena, beberapa karyanya ditulis dalam bentuk syair (nadzm). Ia juga menulis banyak buku berbahasa Bugis, sehingga umat Islam dapat dengna mudah menerima ajaran Islam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat