Warga memberikan paket makanan untuk warga yang menjalani isolasi mandiri di rumahnya di Jalan Gunung Batu, Sukaraja, Kota Bandung, Selasa (6/7/2021). Penting memaknai ekonomi kurban di tengah kedaruratan pandemi Covid-19. | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Opini

'Berkurban' Mengakhiri Pandemi

Pertanyaan krusialnya, bagaimana memaknai ekonomi kurban di tengah kedaruratan pandemi Covid-19?

IMRON ROSYADI, Peneliti pada PSEI-FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kurang dari dua pekan lagi, umat Islam akan menunaikan ritual kurban. Tampaknya tidak berbeda dengan tahun lalu, ibadah kurban tahun ini akan digelar masih dalam suasana keprihatinan nasional. Lantaran pandemi Covid-19 belum terlihat tanda-tanda berakhir.

Bahkan, jumlah warga terinfeksi Covid-19 melonjak tajam hingga mencapai 2,3 juta jiwa serta telah merenggut lebih dari 63 ribu jiwa. Sehingga tidak berlebihan, andaikan 2021 disebut sebagai tahun berkabung nasional.

Alhasil, pemerintah menetapkan keadaan darurat Covid-19 di sejumlah daerah, terutama wilayah Jawa-Bali, dalam kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, yang berlaku efektif 3-20 Juli 2021.

Pertanyaan krusialnya, bagaimana memaknai ekonomi kurban di tengah kedaruratan pandemi Covid-19?

 
Pertanyaan krusialnya, bagaimana memaknai ekonomi kurban di tengah kedaruratan pandemi Covid-19?
 
 

Berbagi Beban

Inti ibadah kurban adalah penyembelihan hewan kurban seperti, kambing, domba, sapi/kerbau pada hari Idul Adha, ditambah tiga hari tasyriq. Setiap hewan yang disembelih, menuntut “pengorbanan” harta. Misalnya, kambing Rp 2 jutaan, dan sapi seharga 21 jutaan.

Berarti, berkurban identik “berkorban”. Sebab, pekurban hanya memperoleh sebagian kecil manfaat daging kurban dibandingkan ‘pengorbanan’ uang untuk pengadaan hewan kurban tersebut (An-Nahl [16]: 5).

Singkatnya, dalam setiap pemotongan hewan kurban, terdapat nilai pengorbanan (Al-Hajj [22]: 37). Karena itu, ibadah kurban di masa pandemi diharapkan menjadi  motivasi kaum muslimin turut aktif bersama pemerintah dalam mengakhiri pandemi.

Keadaan negara darurat pandemi Covid-19, menuntut kaum muslimin saling berbagi beban dan kepayahan (Al-Kahfi [18]: 95), juga warga bangsa turut meringankan beban negara. Sebaliknya, pemerintah pun dituntut amanah menggunakan anggaran belanja.

 
Karena itu, ibadah kurban di masa pandemi diharapkan menjadi  motivasi kaum muslimin turut aktif bersama pemerintah dalam mengakhiri pandemi.
 
 

Hal lebih urgen, pemerintah harus sanggup membebaskan rakyatnya dari cengkeraman pandemi Covid-19 yang mengancam jiwa, sebagaimana tujuan bernegara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pembukaan UUD 1945).

Pandangan ini sebangun dengan perintah agama untuk merawat kehidupan umat manusia (al-Maidah [5]: 32). Karena itu, program penanggulangan krisis kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional oleh pemerintah harus terselenggara secara terukur dan efektif.

Setidaknya terdapat sejumlah ragam pengorbanan yang bisa dilakukan secara serentak. Pertama, bagi pemerintah, berkorban menjaga keseimbangan antara kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.

Maknanya, sektor kesehatan pada masa darurat pandemi, harus menjadi panglima. Pemulihan krisis kesehatan menjadi prioritas strategis, di saat sama, pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, dan tidak mematikan geliat ekonomi rakyat.

Kedua, pemerintah 'berkorban' demi rakyat paling terdampak PPKM Darurat. Berarti, stimulus fiskal berupa bantuan sosial (bansos) tunai dijamin tepat sasaran dan tidak bocor.

Ini mengingat, berdasarkan hasil LKPP BPK (2020) terjadi kebocoran dana bantuan langsung tunai (BLT) UMKM senilai Rp 1,18 triliun, dan total penerima salah sasaran mencapai 414.612 penerima.

 
Pemulihan krisis kesehatan menjadi prioritas strategis, di saat sama, pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, dan tidak mematikan geliat ekonomi rakyat.
 
 

Ketiga, berkoban tidak memperkaya diri dan kelompoknya. Bagi pejabat tinggi dan aparatur negara, berkomitmen tidak menyalahgunakan anggaran. Sebab, anggaran belanja negara menanggulangi pandemi dan PPKM Darurat, sangat menggiurkan.

Kemenkeu (2021) mencatatat, anggaran belanja untuk perlindungan sosial, seperti PKH, kartu sembako, bansos tunai dan lainnya mencapai 149,08 triliun. Untuk melaksanakan PPKM Darurat, dibutuhkan Rp 225,4 triliun.

Keempat, bagi korporasi, menutup perkantoran selama masa PPKM Darurat merupakan pengorbanan.

Sebab, kesadaran dan kesediaan perusahaan non-esensial/kritikal menutup kantornya atau WFH memang di satu sisi menurunkan kinerja perusahaan, tetapi efektif menghambat penyebaran Covid-19 dari sisi hulu (tempat kerja).

Mengingat, hingga hari ke-6 PPKM Darurat, banyak perusahaan yang masih ngotot memberlakukan WFO bagi karyawannya sehingga mobilitas masyarakat tetap tinggi. Imbasnya, penularan Covid-19 di komunitas masyarakat dan keluarga semakin melonjak.

Per-8 Juli 2021 dilaporkan, kasus masyarakat terinfeksi Covid-19 bertambah 34.379 orang.

 
Terakhir, untuk menyudahi pandemi Covid-19 di Tanah Air, mustahil pemerintah berperan sendirian.  Namun, harus bersatu padu antara pemerintah, korporasi, perkantoran dan semua elemen masyarakat.
 
 

Kelima, bagi masyarakat PPKM darurat adalah pengorbanan meninggalkan kenyamanan, dan kesenangan di luar rumah. Kesadaran masyarakat membatasi mobilitasnya, sangat membantu menurunkan angka penularan Covid-19.

Selain itu, kesadaran masyarakat mematuhi protokol kesehatan secara ketat dan kesediaan mengikuti vaksinasi merupakan wujud berbagi beban dengan negara, dan sesama warga bangsa.

Terakhir, untuk menyudahi pandemi Covid-19 di Tanah Air, mustahil pemerintah berperan sendirian.  Namun, harus bersatu padu antara pemerintah, korporasi, perkantoran dan semua elemen masyarakat.

Misalnya, untuk menjamin ketersedian sarana kesehatan dari hulu ke hilir, seperti APD, obat-obatan, tabung oksigen, alat deteksi virus dan lainnya, pemerintah melibatkan korporasi, UMKM dan perguruan tinggi. Selamat berkurban dan berkorban. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat