Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Obat Kuat yang akan Membuat Indonesia Lemah

Jika Belanda terlibat Perang Eropa, keberadaan Hindia Belanda sebagai wilayah koloni akan terancam.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Ribut-ribut soal anggaran pengadaan “alutsista” ternyata juga pernah terjadi pada 1940. Saat itu, tentu belum disebut alutsista yang merupakan kependekan dari alat utama sistem senjata.

Pengadaan “alutsista” tiga kapal penjelajah (slagkruiser) pada 1940 oleh koran-koran dan kalangan nasionalis anggota Volksraad disebut program pembelaan negeri. Anggarannya mencapai 283,2 juta gulden. Dari jumlah tersebut, 236,2 juta gulden ditanggung Belanda, 47 juta gulden ditanggung Hindia Belanda.

Pengadaan kapal dan pembagian anggaran ini memunculkan pujian lantaran Belanda terlihat baik: Memperhatikan pertahanan laut dan bersedia menanggung sebagian besar anggaran yang diperlukan. Untuk mendukung rencana itu, Hindia Belanda masih mempunyai tugas menanggung biaya eksploitasi sebesar 16,3 juta gulden per tahun setelah kapal penjelajah mulai dioperasikan, yaitu pada 1944-1945.

Ini dinilai memberatkan karena rakyat Indonesia tidak mampu. Menurut Soekawati, anggota Volksraad, tak ada yang tahu kemampuan keuangan pada lima tahun berikutnya, ketika kapal penjelajah itu mulai dioperasikan.

 
Pengadaan kapal dan pembagian anggaran ini memunculkan pujian lantaran Belanda terlihat baik
 
 

Kapal penjelajah itu akan dibuat di Belanda dengan pekerja orang Belanda pula. Ini dianggap sebagai sejarah baru bagi Belanda, mengulang sejarah baru Belanda ketika pada Mei 1594 tiga kapal Belanda berlayar ke Hindia Timur (kemudian menjadi Hindia Belanda).

Dengan begitu, pengadaan kapal penjelajah ini dinilai kalangan nasionalis bukan untuk kepentingan Hindia Belanda (Indonesia), melainkan untuk kepentingan Belanda. Saat itu, di Indonesia masih ramai soal gerakan Indonesia Berparlemen yang dimotori Gabungan Politik Indonesia (Gapi) sejak Juli 1939. Gerakan ini menuntut adanya parlemen sendiri bagi rakyat Indonesia yang pada gilirannya memiliki pemerintahan sendiri.

Pada Maret 1940 Eropa sedang kisruh. Belanda sempat memprotes Inggris dan Jerman lantaran pesawat Inggris melanggar wilayah Belanda. Setelah pesawat Inggris, muncul pesawat Jerman yang juga melanggar wilayah Belanda.

Jerman-Norwegia sedang berperang dan Inggris membantu Norwegia. Belanda memang terancam, hingga pada Mei 1940 Ratu Belanda memindahkan pemerintahan ke London, ketika Jerman sudah menduduki wilayah Belanda.

Kemudian, diluncurkanlah program pembelaan negeri. Jika Belanda terlibat Perang Eropa, keberadaan Hindia Belanda sebagai wilayah koloni akan terancam. Maka, keberadaan Hindia Belanda perlu dilindungi, sehingga dimunculkan rencana pengadaan tiga kapal penjelajah. Namun, masa pembuatannya diperkirakan memakan waktu empat sampai lima tahun.

 
Rencana pengadaan tiga kapal penjelajah itu membuat heboh Indonesia.
 
 

Rencana pengadaan tiga kapal penjelajah itu membuat heboh Indonesia. Sebelum Volksraad membahasnya, media-media telah membahasnya. Judul tulisan ini merupakan subjudul di koran Pemandangan, 2 April 1940. Judul utamanya “Di sekitar soal 3 slagkruiser”. 

Anggota Volksraad dari kalangan Indonesia menyoroti pengadaan kapal penjelajah ini dalam sidang Volksraad 22-23 April 1940. Muh Yamin, anggota dari Fraksi Golongan Nasional Indonesia (Goni), menyatakan, hanya jika tersangkut dengan masalah internasional maka orang mempunyai perhatian kepada masalah itu.

Orang Indonesia memikirkan suasana internasional yang sedang hangat, yaitu Perang Eropa. Oleh karena itu, juga peduli terhadap rencana Angkatan Laut melakukan pengadaan tiga kapal penjelajah.

Namun, Yamin mengkritik bahwa pemerintah tidak mengurus semua wilayah, hanya mengurus Jawa. Ia juga mengkritik pemerintah yang menolak perekrutan tenaga pribumi di Angkatan Laut, padahal pegawai pribumi akan lebih cakap bekerja di Angkatan Laut di bumi tropis ini dibanding pegawai Eropa.

 
Pegawai pribumi akan lebih cakap bekerja di Angkatan Laut di bumi tropis ini dibanding pegawai Eropa.
 
 

Yamin juga menyinggung hubungan pembelaan negeri dan politik. Janji Belanda pada 1918 belum juga terbukti, yaitu memiliki parlemen. Soangkoepon dari Goni juga senada dengan Yamin. Pemberian hak-hak dalam pemerintahan negeri perlu bagi pribumi. Parlemen harus benar, petisi Indonesia Berparlemen, menurut dia, harus diperhatikan Belanda.

Soangkoepon juga menyatakan, penguatan Angkatan Laut perlu didukung oleh penguatan pegawai pribumi. Ia juga menilai, jumlah balatentara yang belum memadai. Tanah seberang pun belum dijaga. Maka, direkrutnya pribumi menjadi bagian dari Angkatan Laut, menurut dia, selaras dengan program pembelaan negeri lewat pengadaan kapal penjelajah ini.

MH Thamrin dari Fraksi Nasional mengajukan mosi, menuntut secepatnya diberikan perubahan kedudukan rakyat Indonesia melalui pemerintahan sendiri. Dalam mosinya, Thamrin juga menyinggung perlunya perekrutan pegawai pribumi yang lebih besar untuk armada Angkatan Laut, terkait dengan rencana pengadaan kapal penjelajah itu.

M Tabrani, di koran Pemandangan menulis, “Yang dibutuhi oleh Indonesia pada waktu ini bukan tiga slagkruiser, melainkan satu parlemen.” Ia lantas menyebut pepatah Belanda: Geen lastenzonder lusten. Tiap-tiap beban harus disertai ganjaran.

“Dengan tiga slagkruiser, Nederland memikulkan beban yang mahaberat pada Indonesia. Tapi, di samping itu, Nederland tidak memberi ganjaran apa-apa. Indonesia olehnya dibiarkan dalam kedudukannya seperti sekarang, yaitu selaku negeri yang tidak menguasai sendiri alias jajahan. Dari itu; yang dibutuhi oleh Indonesia menuju keselamatannya bukan tiga slagkruiser dan sebagainya, tetapi satu parlemen yang tulen,” tulis pemimpin redaksi Pemandangan itu di tajuk rencana.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat