Koin dinar emas Wakala produksi Antam. Bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan merupakan prinsip dasar dalam syariat Islam. | REPUBLIKA/ YOGI ARDHI

Fatwa

Bolehkah Perempuan Menerima Warisan Lebih Banyak?

Bolehkah bila harta waris lebih banyak diberikan kepada anak perempuan dengan kondisi tertentu?

 

OLEH ANDRIAN SAPUTRA, ALI YUSUF

Pembagian harta waris telah diatur dalam syariat Islam. Salah satu prinsip dasar dalam hukum waris adalah ketentuan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian waris lebih besar daripada anak perempuan atau bagian anak laki-laki setara dengan bagian dua orang anak perempuan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa ayat 11. 

Namun, bolehkah bila harta waris lebih banyak diberikan kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dengan kondisi tertentu? Semisal dengan alasan si anak perempuan telah banyak berkorban baik morel maupun materiel untuk orang tua, sedangkan anak laki-laki tidak pernah mengurus orang tua? 

Berkaitan dengan masalah itu, Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga pimpinan Pondok Pesantren Ilmu Quran Al Misbah, Jakarta, KH Misbahul Munir mengatakan, bagian (harta waris) anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan (lidzakari mitslu haddzil untsayain, petikan surah an-Nisa ayat 11) merupakan prinsip dasar dan awal atau ketentuan yang baku dalam syariat Islam. Karena itu, dia menilai, ketetapan tersebut jangan sampai diubah. 

Akan tetapi, dia menjelaskan, apabila setelah harta waris dibagikan kemudian ahli waris laki-laki bersepakat dengan ikhlas memberikan hartanya sehingga sama rata atau lebih besar yang diberi kepada ahli waris perempuan karena telah banyak berkorban baik morel maupun materiel, hal tersebut diperbolehkan.

Sebab, setiap ahli waris telah memperoleh haknya dengan tanpa mengubah hukum awal atau prinsip dasar dalam pembagian harta waris dan setiap ahli waris pun telah bersepakat dan mengikhlaskan. 

"Misal si perempuan lebih banyak berjasa menggunakan hartanya (berkorban untuk pewaris), tentu dihitung. Setelah dihitung, diberikan haknya. Jadi, saran saya, prinsip itu tidak berubah, bahwa laki-laki itu dua (bagian), perempuan itu satu (bagian). Namun, harus dihitung dari sisi biaya yang telah dikeluarkan. Itu butuh kesepakatan keluarga. Tetapi, jangan mengubah ketentuan yang baku," kata Kiai Misbahul kepada Republika, beberapa waktu lalu.

 
Kalau setelah memegang haknya masing-masing itu mau diberikan atau disedekahkan, itu terserah.
 
 

Karena itu, dia menilai, dalam pembagian harta waris diperlukan musyawarah sehingga terjadi kesepakatan, terlebih untuk saling mengerti dan membantu sesama anggota keluarga. "Kalau setelah memegang haknya masing-masing itu mau diberikan atau disedekahkan, itu terserah. Kebaikan itu penting, apalagi saling bantu-membantu antara keluarga, jangan sampai mengubah prinsip awal,” ujar dia.

Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat Sirajuddin Sailellah menerangkan, bisa saja anak perempuan mendapatkan porsi sama dengan anak laki-laki, tetapi hal itu kasuistis. Misalnya, anak perempuan selama pewaris (ayah atau ibu) hidup banyak berkorban, baik secara materiel maupun morel, sementara anak laki-lakinya tidak. Padahal, anak laki-laki yang seharusnya menanggung hidup orang tuannya.

"Sehingga dalam masalah ini perlu ada keadilan dengan menetapkan porsi yang sama kepada anak perempuan," kata Sirajuddin beberapa waktu lalu ketika menjawab pertanyaan Republika tentang alasan mengeluarkan putusan sengketa waris yang membagi rata jatah anak laki-laki dan perempuan. 

Sirajuddin mengakui, ia pernah memutus sengketa waris antara suami dan istri. Hukum positif di dalam UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menjelaskan, suami-istri mendapat masing-masing separuh harta ketika bercerai.

 
Saya mengeluarkan putusan istri mendapat lebih banyak dari suami karena istrinya yang memberi nafkah anaknya dari kecil, sementara suaminya tidak.
 
 

"Tapi, saya mengeluarkan putusan istri mendapat lebih banyak dari suami karena istrinya yang memberi nafkah anaknya dari kecil, sementara suaminya tidak. Padahal, yang wajib menafkahi anak adalah suami," katanya.

Menurut dia, hukum waris merupakan muamalah, bukan ibadah mahdhah atau ibadah yang sudah ditentukan syarat dan ketentuannya dalam syariat Islam. Menurut dia, hukum dalam praktiknya ketika mendapat kasus tertentu bisa berubah demi menjunjung tinggi prinsip keadilan.

"Jadi, yang dikedepankan itu bukan prinsip kepastian, tapi prinsip keadilan," kata Sirajuddin sambil mengutip salah satu ayat dalam surah al-Maidah ayat 8, yaitu Allah berfirman bahwa keadilan lebih dekat kepada ketakwaan. "Dasar hukumnya di dalam Alquran, berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa," kata dia.

Ia mengatakan, dibaginya harta antara anak laki dan perempuan secara rata tidak bisa disamakan ketika dalam kondisi normal. Jika dalam keadaan normal maka hukum waris dibagi sesuai yang telah ditetapkan Allah SWT di dalam surah an-Nisa.

"Jadi, jangan digeneralisasi putusan itu (wanita mendapat sama dengan bagian laki-laki), itu karena ada kasus di mana anak perempuan banyak berkorban untuk orang tua yang sebenarnya harus anak laki-laki. Kalau tidak ada kasus, dibagi sesuai syariat Islam," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat