Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Penyampai Berita Duka

Adakah cara terbaik menyampaikan kabar duka? Rasanya tidak ada.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA 

Adakah cara terbaik menyampaikan kabar duka? Rasanya tidak ada. Betapa pun keras kita memutar otak, tetap sulit menemukan cara terbaik menyampaikannya.

Apalagi jika berita tersebut berupa kabar berpulangnya seseorang terkasih dan harus disampaikan bukan hanya kepada teman, sanak saudara jauh, melainkan kepada keluarga terdekat, orang-orang yang paling menyayangi. 

Dan entah bagaimana, sejak belasan tahun lalu, di antara kami tiga saudara, saya ditunjuk untuk menyampaikan berita duka cita kepada Mami. Perempuan yang melahirkan kami memiliki hati paling lembut, paling penyayang.

Beliau bisa menceritakan tontonan menyentuh di televisi dengan berurai air mata. Jika mami menyaksikan di Youtube, kakek atau nenek tua yang harus berjalan puluhan kilometer menjual arang, hanya untuk beberapa ribu rupiah, mami akan terisak-isak lalu meminta anak-anaknya mencari tahu di mana kakek atau nenek tersebut tinggal.

 
Dan entah bagaimana, sejak belasan tahun lalu, di antara kami tiga saudara, saya ditunjuk untuk menyampaikan berita duka cita kepada Mami.
 
 

Mami bisa tidak makan jika mengetahui ada tetangga atau kenalan yang tidak punya beras. “Kamu tahu, mami pernah ke panti balita, teman-teman mami suka menitipkan uang ketika mereka ada rezeki. Jadi suatu hari mami ke sana.”

“Kasihan tidak ada yang memeluk mereka. Mami terbayang bagaimana jika hujan lebat dan petir menyambar.” Semalaman mami nangis, membayangkan anak-anak kecil  begitu banyak, tapi mungkin tidak ada yang memeluk, ketika mereka terkejut.

Perempuan keturunan Tionghoa itu sering turun dari kendaraan umum, jika melihat ada yang kesusahan. Ia selalu merasa hidupnya lebih baik dan karenanya harus banyak menolong orang. “Alah Mahabaik. Allah banyak mengabulkan doa-doa Mami.” 

Walau mualaf dan beberapa hal dalam Islam dipahami dengan lugu, Mami pandai bersyukur kepada Allah. “Allah mengabulkan doa mami!” Pekiknya sambil segera sujud syukur, akhirnya kami memiliki rumah sendiri. 

Perempuan terkasih itu tidak melihat betapa kami harus melalui hidup yang sulit, sampai sempat tinggal di samping rel kereta api atau waktu 20 tahun yang terentang sebelum Allah mengabulkan doanya. 

 
Walau mualaf dan beberapa hal dalam Islam dipahami dengan lugu, Mami pandai bersyukur kepada Allah. 
 
 

Terkait doa, walau masih terbatas yang dihafalnya, tapi mami selalu khusyu, apalagi bila ada pihak yang menitipkan nama untuk didoakan. 

Jika mami bisa menangis mengetahui berita kebakaran, banjir, gempa dan musibah lain yang melanda Tanah Air, spontan mengucurkan air mata saat tetangga atau kenalan baik sakit atau meninggal. Bagaimana ketika orang tua, kakak atau adik kandungnya sendiri yang berpulang? 

Adik saya sering memberikan ide-ide unik, bagaimana mengabari mami, saat sebuah berita duka menyapa. “Pura-pura saja ada yang keceplosan.”

Lain waktu dia usul, “Gimana kalau ada yang telepon dekat mami, jadi mami tidak sengaja mendengarnya?”

Bahkan sempat menanyakan apakah ide baik jika menitipkan berita duka tersebut pada anak bungsunya yang merupakan cucu mami paling kecil? 

Kedukaan mami selalu paling pekat, linangan air matanya paling meruah setiap kami menyampaikan kabar kematian orang-orang yang Mami sayang. Walau di antara air mata itu terucap istighfar, dan permohonan ampun, juga doa agar Allah membantunya mengikhlaskan dan menambah kesabaran. 

 
Kedukaan mami selalu paling pekat, linangan air matanya paling meruah setiap kami menyampaikan kabar kematian orang-orang yang Mami sayang.
 
 

Berat rasanya menyampaikan, sungguh. Ketika abang tertua mami meninggal, tepat di hari ulang tahun putri pertama saya.

Lalu ketika kakak tertua dipanggil Allah, saat mami harus kehilangan ibunya. Setahun ini saja tiga berita duka, tetangga paling dekat yang sudah seperti adik, lalu keponakan tersayang, terakhir adik laki-laki mami yang berpulang empat bulan lalu. 

Makin lama makin iba rasanya melihat mami berjuang dengan kesedihan. Makin bingung pula menyampaikannya sebab kondisi kesehatan beliau. Selain penyakit jantung, ada masalah paru-paru, lambung, empedu, ginjal dan darah tinggi.

Tidak pernah ada cara terbaik menyampaikan kabar duka. Di tengah korona yang kian meraja lela, saya yakin sebagian besar kita kerap menjadi utusan berita sedih, yang menghancurkan hati kita bahkan sebelum menyampaikannya. 

Sore tadi, kembali sebuah berita duka tersemat di pundak saya. Saya pastikan mami berada di tempat tidur, sudah makan dan minum obat. Sebuah tabung oksigen berada di sisinya.

 
Semoga mami dan kita semua yang saat ini diuji dengan kedukaan, mampu melaluinya dengan sabar dan ikhlas, tanpa kehilangan prasangka baik kepada Allah. 
 
 

Sambil berdoa semoga Allah memfasihkan lisan saya saat harus menyampaikan bahwa adik mami paling kecil, salah satu om tersayang, baru saja dipanggil Allah setelah belasan hari berjuang. 

Berbagai skenario yang saya susun, menguap saat menatap mata perempuan yang melahirkan saya. Saya genggam tangannya,  lalu mengawali dengan kalimat yang akhir-akhir ini sangat sering diucapkan beliau. 

“Allah Mahabaik ya, Mi?” Kabar saya sampaikan. Tangisnya pecah. Perjuangan antara kesedihan dan keikhlasan dimulai. Kedukaan begitu pekat di sekitar kita sejak wabah merebak. Lingkar kehilangan makin lama kian dekat.

Semoga mami dan kita semua yang saat ini diuji dengan kedukaan mampu melaluinya dengan sabar dan ikhlas, tanpa kehilangan prasangka baik kepada Allah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat